Aku bertanya kepada angin yang datang dan berlalu:
Di manakah tempat awan dan hujan datang berbagi?
Kulihat kabut asap putih mengepung di segala penjuru
Nyanyian musim kering bergema keras di angkasa pagi
Bebukit telanjang menari dan meratap memanggil hujan
Terkulai pucuk helai Ilalang menyesali kesombongannya
Kutilang terbang menempuh angkasa terkurung asap
Lelah sayap mencari pohonan tempat berharap makan
Dilihatnya ulat dan serangga tiada satu pun di pepohon
Dalam kesedihannya, seekor induk Kutilang bernyanyi:
“Kutempuh anugrah hari dengan segenap rasa harapku
Namun Tuhan masih memberiku kesempatan ‘tuk hidup
Sepasang sayap kecil ini tak pernah berhenti berharap
Tetap kunyanyikan lagu syukur saat fajar hari merekah
Meski sorga di atas bumi ini binasa di tangan pemiliknya”
Seekor Kutilang jantan datang merasakan kepedihannya
Terbayanglah nasib generasi penerusnya di kemudian hari
Punah, pilihan hidup yang tak pernah terbayangkan olehnya
Dalam kesedihannya Kutilang jantan pun ikut bernyanyi:
“Andaikan kuharus hidup di sangkar emas yang kau buat
Nyanyian riang menyambut datangnya hari hilang makna
Kicauanku itu indah, kalau ia kunyanyikan di alam terbuka
Engkau boleh memilki tubuhku, di dalam sangkar emasmu
Namun kepak sepasang sayap mengarungi langit kebebasan
Bahagianya, tak bisa tergantikan oleh sejuta kasih sayangmu!”
Lalu sepasang burung Kutilang itu pun bernyanyi bersama:
“Biarkan daku terbang mengarungi hijaunya khatulistiwa
Tanah sorga penuh dengan pepohonan besar yang menjulang
Lihatlah pucuknya mengejar arah datangnya matahari pagi
Reranting merentang lebar berbagi kebahagian pada sesama
Di bumi hijau segar ini tempat kutemukan nafas kehidupanku!”
Btm, 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H