Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Lagi-lagi Drama Skripsi: Episode Rencana Wawancara Narasumber Tak Semulus Jalan Tol

9 November 2023   19:50 Diperbarui: 9 November 2023   20:05 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melakukan wawancara dengan narasumber. (Pexels/Vlada Karpovich)

Setiap mahasiswa yang menjalani perjalanan akademiknya pasti akan menyadari bahwa skripsi adalah bagian yang tak terhindarkan dan penuh dengan drama. 

Seiring dengan proses tersebut, banyak pengalaman berharga yang tak terlupakan, dan kali ini saya ingin berbagi pengalaman saya tentang sebuah episode dalam proses penelitian skripsi saya.

Melanjutkan episode sebelumnya tentang wawancara narasumber pertama, kali ini saya berhasil melakukan wawancara untuk narasumber kedua yang tentunya perjalanannya tak semulus jalan tol.

Eh, tergantung jalan tol di negara mana dulu, karena mungkin saja ada jalan tol yang tak semulus itu bukan? Hehe. Lanjut ke topik.

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya memiliki tanggung jawab untuk menyusun tesis sebagai salah satu syarat kelulusan. 

Sebagai informasi, topik penelitian saya adalah penggunaan teknik Open-Source Intelligence (OSINT) di dalam salah satu startup media. 

Proses ini melibatkan banyak aspek, termasuk wawancara dengan narasumber yang merupakan seorang manajer di perusahaan media yang saya teliti. 

Rencana wawancara ini seolah menjadi tahap yang menentukan kesuksesan seluruh penelitian saya, secara khsusu bagi yang memutuskan skripsi kualitatif dengan metode pengumpulan data wawancara.

Bermula dari beberapa bulan yang lalu, saya telah berusaha menghubungi narasumber ini. Namun, kenyataannya tidak sesederhana yang saya harapkan. 

Banyak hambatan yang harus saya lewati dalam mencapai tujuan ini, dan saya merasa bahwa pengalaman ini mungkin juga berguna bagi mahasiswa lain yang sedang menyusun skripsi kualitatif.

Terutama jika kalian meneliti subjek yang melibatkan korporasi atau perusahaan.

So, kira-kira awal pekan lalu, saya dan narasumber akhirnya menyepakati waktu untuk melakukan wawancara. Waktu yang sudah ditentukan adalah pukul 19.00 WIB di hari tersebut. 

Saya telah mempersiapkan semuanya, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang akan saya ajukan, dan bahkan sudah menyiapkan link GMeet untuk melakukan wawancara. 

Semuanya tampak siap, tapi ternyata rencana tak selalu berjalan mulus seperti jalan tol ya sobat mahasiswa.

Pukul 19.00 WIB tiba, tapi narasumber tak kunjung muncul. Tentu saja, dalam situasi seperti ini, saya mencoba untuk berpikir positif. 

Mungkin saja narasumber memiliki kesibukan atau urusan kantor yang mendesak. Oleh karena itu, malam itu saya memutuskan untuk memberi pesan untuk me-reschedule wawancara. 

Keesokan harinya, saya menerima pesan dari narasumber melalui WhatsApp (WA) yang menanyakan mengapa saya tidak langsung melakukan panggilan via WA.

Saya merasa bingung dengan usulan tersebut, sebab selama ini saya terbiasa melakukan wawancara secara formal melalui platform seperti GMeet atau Zoom Meeting. 

Usulan untuk melakukan wawancara melalui WA tampak asing bagi saya. Namun, saya memahami bahwa dalam dunia kerja, komunikasi yang lebih santai melalui WA mungkin lebih umum, dan narasumber mencoba mengakomodasi cara ini.

Saya menjawab dengan sopan bahwa saya merasa ragu untuk melakukan panggilan langsung, mengingat posisi penting narasumber dalam perusahaan media tersebut. 

Saya beralasan bahwa narasumber mungkin memiliki banyak urusan kantor yang harus ditangani. 

Akhirnya, setelah beberapa percakapan, kami sepakat untuk merencanakan ulang wawancara dan menyepakati waktu selang dua hari berikutnya, pukul 17.00 WIB.

Hari yang telah lama saya nantikan akhirnya tiba. Saya siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun dan siap menjalani wawancara dengan baik. 

Saya bersemangat, dan tepat pada pukul 17.00 WIB, saya langsung menelepon narasumber sesuai dengan cara dan pengalaman sebelumnya.

Narasumber menjawab panggilan dengan suara pelan seperti berbisik, "Mas, saya masih di acara, nanti kita lanjut di jam 8 malam ya." 

Saya merasa terkejut, sebab kami sudah menyepakati waktu wawancara pada pukul 17.00 WIB. Saya dengan hormat meminta maaf atas kebingungannya, menganggap bahwa narasumber memang memiliki kesibukan yang tak terduga.

Akhirnya, kami sepakat untuk melanjutkan wawancara pada pukul 20.00 WIB. Saya menunggu dengan sabar dan berharap bahwa waktu tersebut akan menjadi yang terakhir untuk perencanaan ulang.

Namun, ketika saya menelepon narasumber pada pukul 20.00 WIB, panggilan pertama tak diangkat, dan panggilan kedua pun masih belum membuahkan hasil. 

Tepat di panggilan ketiga, narasumber akhirnya menjawab dengan suara yang terdengar berbeda, seolah-olah berada di dalam mobil. 

Dugaan saya ternyata benar, narasumber masih dalam perjalanan. Dia menyampaikan permintaan maaf atas keterlambatannya dan kami sepakat untuk menunggu hingga dia sampai di rumah. Dia juga berjanji untuk menelepon balik.

Saya menunggu hingga pukul 21.00, kemudian hingga pukul 22.00, dan bahkan hingga batas waktu yang saya anggap maksimal, yaitu pukul 23.00. 

Namun, narasumber tidak menghubungi saya. Saya selalu berusaha memahami dan menghormati apa yang sudah disepakati. 

Narasumber telah berjanji untuk menelepon balik, tapi itu tidak terjadi. Saya pun tidak berani menelepon kembali, karena ada rasa segan dan ketidaknyamanan yang muncul dalam situasi seperti ini. 

Saya khawatir akan terlihat tidak sopan dan dapat merugikan citra saya, serta citra kampus saya.

Pagi berikutnya, pada tanggal 9 November 2023, saya memutuskan untuk menghubungi narasumber kembali. 

Dengan penuh kehati-hatian, saya memberikan penjelasan bahwa sebelumnya saya merasa ragu untuk menghubungi narasumber kembali, mengingat janji narasumber untuk menelepon balik.

Dalam waktu yang tak begitu lama, narasumber membalas pesan singkat saya dengan kata "Ok.". 

Saya merasa bingung dengan respons tersebut dan bingung harus bagaimana. Tak berselang lama, saya menerima panggilan masuk dari narasumber.

Saat itu saya terkejut, saya langsung memahami tujuan panggilan tersebut pasti ingin melanjutkan wawancara. Namun, saya belum siap, saya belum mempersiapkan perangkat perekaman dan alat-alat yang diperlukan. 

Saya segera meminta izin untuk mengalihkan panggilan melalui WhatsApp di laptop dan meminta izin untuk merekam percakapan.

Wawancara pun dimulai, walaupun saya merasa tegang karena saya belum siap sepenuhnya. Saya mencoba tetap tenang dan berusaha mengambil kesempatan sebaik mungkin. 

Namun, di tengah wawancara, terdengar suara dari narasumber bahwa dia harus segera masuk ke ruang meeting.

Itu membuat saya merasa terburu-buru, merasa bahwa waktu yang saya miliki terbatas. Saya mencoba menanyakan pertanyaan inti yang sudah saya siapkan, dan narasumber menjawab dengan jelas. 

Namun, di akhir wawancara, ketika saya meminta untuk melakukan video call, narasumber keberatan. Saya merasa bingung dan sedikit kewalahan di situasi ini. 

Namun, dengan keadaan yang sudah terlanjur demikian, saya tetap mencoba menyalakan kamera pribadi saya dengan kamera narasumber yang dimatikan, dan akhirnya saya tetap melakukan screenshot.

Saya mendengar langkah kaki dari sisi narasumber yang menandakan bahwa dia akan segera meninggalkan tempatnya. Dalam keadaan yang semakin mendesak, kami akhirnya memutuskan untuk mengakhiri wawancara tanpa basa-basi.

***

Melalui keseluruhan pengalaman tersebut, saya merasa banyak mendapatkan pelajaran berharga. Saya belajar bahwa dalam penelitian dan pengumpulan data lewat wawancar, kesabaran dan keterampilan bernegosiasi jadwal sangatlah penting. 

Persiapan teknis yang matang sebelum wawancara juga merupakan hal yang tak boleh diabaikan guna menghindari kendala teknis yang tidak terduga.

Situasi yang saya hadapi mengajarkan bahwa dalam kondisi yang tak terduga, fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi sangat diperlukan untuk menyelesaikan tugas dengan baik. 

Selain itu, dalam keadaan yang mungkin tegang, saya juga belajar untuk tetap tenang dan menghadapinya dengan kepala dingin agar tetap bisa menyelesaikan tugas dengan baik.

Skripsi bukan hanya tentang menulis dan mengerjakan tugas akademis, tetapi juga tentang proses pembelajaran yang melibatkan keterampilan komunikasi, kesabaran, dan ketekunan. 

Meski penuh dengan drama dan tantangan, pengalaman ini tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan akademik saya yang akan membekas dalam perjalanan hidup saya ke depan. 

Saya yakin, setiap tantangan yang saya alami saat ini akan menjadi fondasi kuat dalam menghadapi masa depan.

(*B/A)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun