Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertanyakan Empati Media pada Kasus "Bundir" Mahasiswa di Semarang

22 Oktober 2023   10:42 Diperbarui: 22 Oktober 2023   10:52 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jurnalis yang baik harus mampu menempatkan diri mereka di posisi orang yang mereka laporkan." -- Tom Brokaw

Kata-kata yang diucapkan oleh Tom Brokaw, penulis dan wartawan senior Amerika Serikat , menunjukkan betapa seharusnya media massa juga harus menempatkan diri di posisi korban.

Media harus sadar bahwa mereka bisa menjadi agen perusak, dan perannya yang negatif dalam fenomena copycat suicide.

Fenomena copycat suicide, atau "Werther Effect" dalam terminologi ilmiah, adalah kejadian di mana seseorang meniru tindakan bunuh diri setelah mengetahui atau terpapar oleh tindakan serupa yang dilakukan oleh orang lain. 

Ini merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian lebih dalam, terutama dalam konteks bagaimana media massa melaporkan dan menggambarkan kasus-kasus bunuh diri.

Media Massa dan Fenomena Copycat Suicide

Sebelum saya akan mencaci media karena sudah terlalu kesal dengan pemberitaan sensasionalnya, mari kita menggali lebih dalam tentang bagaimana media berperan dalam memicu fenomena copycat suicide. 

Dalam banyak kasus, media tidak hanya menjadi penyampai informasi bunuh diri, tetapi juga sering kali menjadi pencipta fenomena ini. 

Mereka terlalu sering lupa akan tanggung jawab sosial mereka dan lebih fokus pada sensasi, perhatian, dan profit.

Salah satu masalah utama yang perlu saya kritisi adalah headline berita sensasional yang kerap digunakan oleh media. 

Ketika sebuah berita tentang bunuh diri muncul, media cenderung menciptakan judul yang mengejutkan dan menciptakan konteks yang salah. 

Mereka seakan-akan menciptakan atmosfer yang mencekam, yang seolah-olah memberikan ketakutan tersendiri.

"Mengapa media begitu terobsesi dengan headline sensasional?" 

Pertanyaan tersebut sering kali muncul di benak saya. Mungkin itu adalah cara bagi media untuk menarik perhatian penonton, meningkatkan tingkat pembaca, dan menjual iklan. 

Namun, harga yang dibayar ketika media mengemas pemberitaan secara sensasional bisa jadi akan lebih buruk. 

Sensasi semacam ini adalah tindakan yang bukan hanya tidak etis, tetapi juga sangat mengkhawatirkan.

Headline sensasional tidak hanya menciptakan perasaan ketakutan atau kengerian tetapi juga bisa memengaruhi individu lain yang sedang rentan.

Selain headline yang sensasional, media juga sering memberikan detail yang berlebihan tentang cara tindakan bunuh diri dilakukan. 

Meida merinci dengan sangat detail bagaimana pelaku bunuh diri melakukan tindakan tersebut. Hal ini sangat berbahaya karena bisa menjadi panduan bagi orang lain yang terpengaruh.

Misalnya, dalam berita mengenai kasus bunuh diri mahasiswi di Semarang, media memberikan detail yang sangat eksplisit.

Mereka mencakup informasi seperti, "Mahasiswa Unnes bunuh diri dari lantai 4 Mal Paragon Semarang, seorang saksi menemukan kepala korban pecah hingga organ tubuhnya berserakan." 

BUAT APA DETAIL SEPERTI ITU!? Detail seperti itu bukan hanya tidak bijak, tetapi juga sangat berbahaya. 

Media harus memahami bahwa mereka memiliki kekuasaan besar untuk membentuk pikiran dan perilaku masyarakat. 

Dengan memberikan detail yang sangat eksplisit tentang tindakan bunuh diri, mereka secara tidak langsung memberikan panduan bagi orang lain yang mungkin berpikir untuk meniru tindakan tersebut.

Selanjutnya, media sering kali tidak memberikan informasi seimbang dalam berita mengenai bunuh diri. 

Mereka sering kali hanya memberikan informasi tentang tindakan bunuh diri tanpa memberikan penekanan yang cukup pada solusi dan bantuan yang tersedia untuk masalah kesehatan mental. 

Media massa adalah sumber utama informasi bagi masyarakat, dan oleh karena itu, mereka memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan informasi yang seimbang dan berguna. 

Terutama ketika membahas tindakan bunuh diri, media harus memberikan informasi mengenai bantuan kesehatan mental yang tersedia, nomor darurat yang dapat dihubungi, dan sumber dukungan lainnya.

Terlalu sering, media lebih fokus pada cerita dramatis dan mengerikan tentang tindakan bunuh diri daripada memberikan informasi yang dapat membantu individu yang sedang mengalami masalah kesehatan mental. 

Mereka memperburuk situasi dengan meninggalkan individu yang sedang berjuang tanpa panduan atau harapan. 

Ketika media hanya memberikan informasi tentang tindakan bunuh diri tanpa menyertakan informasi tentang bantuan dan dukungan, mereka menciptakan situasi di mana individu yang sedang berjuang merasa terisolasi dan putus asa.

Penelitian ilmiah telah memberikan bukti yang kuat tentang dampak negatif pemberitaan media tentang bunuh diri terhadap perilaku bunuh diri di antara masyarakat. 

Studi oleh Phillips pada tahun 1974 menemukan bahwa setiap kali artikel bunuh diri muncul di halaman depan media, jumlah upaya bunuh diri meningkat (Pirkis et al., 2006). 

Fenomena ini lebih kuat terlihat di kalangan generasi muda, yang sering kali lebih rentan terhadap pengaruh media. Dampaknya paling kuat terjadi di wilayah geografis tempat cerita bunuh diri tersebut diterbitkan. 

Penelitian lain dalam Journal of Affective Disorders menunjukkan bahwa hampir 4 dari setiap 10 pasien depresi yang terpapar berita media melaporkan adanya dampak pada perilaku mereka terkait bunuh diri (Cheng et al., 2007).

Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa pasien depresi berat memiliki hampir 8 kali lipat risiko lebih tinggi untuk dipengaruhi oleh pemberitaan media dalam hal perilaku bunuh diri dibandingkan dengan pasien depresi yang tidak dalam keadaan berat. 

Dampak paling besar terjadi pada pasien yang telah melakukan upaya bunuh diri dalam satu bulan sebelum pemberitaan media muncul. 

Mereka memiliki hampir 12 kali lipat risiko lebih tinggi untuk melakukan upaya bunuh diri selanjutnya setelah terpapar berita media. 

Dengan kata lain, media dapat menjadi agen pendorong yang memicu tindakan bunuh diri, terutama di kalangan individu yang sudah dalam keadaan rentan.

Mengubah Pendekatan Pemberitaan Media

Peran media massa dalam fenomena copycat suicide adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Mereka memiliki kekuasaan besar untuk membentuk pandangan dan perilaku masyarakat. 

Namun, dengan kekuasaan tersebut datang juga tanggung jawab besar. Saatnya bagi media untuk mengubah pendekatan mereka dalam melaporkan kasus bunuh diri dan fenomena serupa.

Media harus mempraktikkan etika jurnalistik yang benar, yang seharusnya mengutamakan etika dan kesejahteraan masyarakat. 

Mereka harus memahami bahwa setiap tindakan jurnalistik memiliki dampak mendalam pada masyarakat, dan oleh karena itu mereka harus bertanggung jawab atas informasi yang mereka sampaikan. 

Dalam berita-berita tentang bunuh diri, media harus menghindari headline berita yang sensasional, yang hanya menciptakan atmosfer yang salah. 

Mereka harus memilih kata-kata dengan bijak dan memahami bahwa tindakan bunuh diri adalah peristiwa tragis yang memerlukan sensitivitas dan rasa tanggung jawab.

Selain itu, mereka harus menghindari memberikan detail yang berlebihan tentang cara-cara bunuh diri dilakukan. Detail-detail tersebut bukan hanya tidak etis, tetapi juga berbahaya. 

Media harus memahami bahwa mereka memiliki kekuasaan untuk memberikan informasi yang seimbang. 

Mereka harus menekankan pentingnya sumber daya kesehatan mental yang tersedia, nomor darurat yang dapat dihubungi, dan sumber dukungan lainnya dalam berita-berita mengenai bunuh diri. 

Dengan memberikan informasi ini, media dapat memainkan peran yang lebih positif dalam membantu individu yang sedang mengalami masalah kesehatan mental.

Perlunya Pedoman Pemberitaan Media yang Etis

Mengingat dampak besar media massa dalam fenomena copycat suicide, perlunya pedoman pemberitaan media yang etis dan bertanggung jawab menjadi semakin penting. 

Beberapa negara telah berhasil menjalin kerjasama antara media massa dan lembaga-lembaga terkait untuk mengembangkan pedoman pemberitaan yang bijak tentang bunuh diri. 

Upaya ini telah terbukti efektif dalam mencegah peniruan perilaku bunuh diri. 

Dalam pedoman pemberitaan media ini, harus ada penekanan pada etika jurnalistik yang benar, sensitivitas terhadap masalah kesehatan mental, dan tanggung jawab sosial media massa. 

Media harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Mereka harus memahami bahwa kekuasaan mereka untuk membentuk opini dan tindakan masyarakat adalah anugerah yang besar, dan harus digunakan dengan bijak.

Peran Kita, Masyarakat

Kita, sebagai masyarakat, juga memiliki peran penting dalam mengubah pendekatan media dalam melaporkan kasus bunuh diri. 

Kita harus menjadi konsumen yang cerdas dan kritis terhadap pemberitaan media. Kita harus menuntut pemberitaan yang etis, bijak, dan beretika. 

Kita harus bersuara dan menekan media untuk memainkan peran yang lebih positif dalam masyarakat.

Dalam dunia yang penuh tekanan dan tantangan psikologis, media memiliki peran yang krusial dalam membentuk persepsi masyarakat. 

Mereka harus menjalankan peran ini dengan tanggung jawab dan kesadaran akan dampak besar yang mereka miliki. 

Dengan mengubah tindakan media, kita bisa menjadi bagian dari solusi dalam mengatasi fenomena copycat suicide. 

Media massa bukanlah musuh, tetapi mereka harus menjadi teman dalam perjuangan melawan dampak negatif fenomena copycat suicide.

Referensi:

  • Cheng, A. T. A., Hawton, K., Chen, C., Yen, A. M., Chang, J., Chong, M. Y., Liu, C. Y., Yu, L., Teng, P. R., & Chen, L. C. (2007). The influence of media reporting of a celebrity suicide on suicidal behavior in patients with a history of depressive disorder. Journal of Affective Disorders, 103(1--3), 69--75. https://doi.org/10.1016/j.jad.2007.01.021
  • Pirkis, J., Burgess, P., Francis, C., Blood, R. W., & Jolley, D. (2006). The relationship between media reporting of suicide and actual suicide in Australia. Social Science & Medicine, 62(11), 2874--2886. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2005.11.033

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun