Mohon tunggu...
BEM Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
BEM Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Mohon Tunggu... -

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Selamat Datang, Indonesia Sehat Jiwa! - Pengesahan RUU Kesehatan Jiwa

16 Desember 2014   14:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:13 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Oleh: Departemen Kajian Strategis

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 2014



ABSTRAK KAJIAN

“Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”

Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa adalah sebuah kebijakan publik yang berfungsi sebagai payung hukum bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. RUU ini juga mengatur hak, kewajban, dan jaminan bagi Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan jiwa, termasuk psikolog. Sebagai manusia, sudah selayaknya kita mengetahui legalitas hukum yang menjadi landasan penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa, baik bagi orang tergolong mengalami gangguan maupun yang masih sehat jiwanya. RUU Kesehatan Jiwa dirancang pada tahun 2009 dan terus diperjuangkan hingga saat ini agar disahkan. Namun, pada tanggal 18 Juni 2014 lalu dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ selaku Ketua Panitia Kerja RUU Keswa dan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, diberhentikan oleh fraksi partai yang menaunginya. Beliau justru diberhentikan di saat RUU Keswa sudah hampir selesai. Lalu, bagaimana nasib RUU ini?

APA ITU RUU KESEHATAN JIWA?

RUU Kesehatan Jiwa adalah suatu rancangan undang-undang yang meregulasi kebijakan terkait upaya pelayanan kesehatan jiwa. Upaya pelayanan kesehatan jiwa tersebut ditujukan bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang tergolong sebagai ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) maupun orang yang tergolong masih sehat jiwanya. Dalam RUU ini, Kesehatan Jiwa didefinisikan sebagai kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan spiritual seseorang secara optimal serta selaras dengan perkembangan orang lain, yang memungkinkan orang tersebut hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sedangkan Upaya Kesehatan Jiwa adalah serangkaian kegiatan yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan bagi perorangan, keluarga, dan masyarakat melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

MENGAPA RUU KESEHATAN JIWA PENTING?

Memiliki hidup yang sehat adalah keinginan setiap orang. Kita pasti selalu ingin menjalani hidup dengan kondisi yang baik, sehingga kita dapat menjalani hidup dengan lebih optimal. Namun, kesehatan bukan hanya tentang kondisi fisik, melainkan juga kondisi psikis atau sering disebut dengan kesehatan jiwa.

Sayangnya, kesehatan jiwa masih belum begitu diperhatikan di Indonesia. Padahal, permasalahan terkait kesehatan jiwa masih mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar tahun 2007, ditemukan sebanyak 11,6% individu yang berumur 15 tahun ke atas melaporkan bahwa mereka memiliki gangguan emosional. Pada tahun 2013, dr Edduar Idul Riyadi, SpKJ, Kasubdit Kelompok Berisiko Ditjen Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes RI bahkan menyatakan bahwa penderita gangguan jiwa berat atau sering disebut dengan “orang gila” berjumlah satu juta orang pada tahun 2013 dan hanya 10 persen saja yang melakukan pengobatan di rumah sakit jiwa atau fasilitas lainnya. Fakta yang lebih mengejutkan lagi adalah tujuh provinsi dari 34 provinsi di Indonesia bahkan belum memiliki rumah sakit jiwa (Merdeka, 2013). Jumlah psikiater yang hanya 720 orang sampai saat ini juga masih termasuk kecil dibandingkan jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia (Tempo, 2013).

Pemasungan juga masih terjadi di Tanah Air. Pejabat Direktorat Bina Kesehatan Jiwa (Binkeswa) Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, dr. Geraid Mario Semen mengatakan bahwa sampai saat ini ada 18.000-20.000 orang dengan gangguan jiwa yang dipasung di Indonesia. Fenomena ini tentu mengkhawatirkan. Kemudian, angin segar datang dari Komisi IX DPR yang mengajukan RUU Kesehatan Jiwa. Dalam RUU ini dijamin bahwa orang dengan gangguan jiwa akan mendapatkan perlakuan yang manusiawi serta dijamin kebutuhan obat- obatannya di rumah sakit jiwa. Ketika RUU ini disahkan, maka setiap provinsi akan memiliki rumah sakit jiwa, sehingga orang-orang dengan gangguan jiwa akan terjamin pengobatannya. Selain itu, apabila UU ini berhasil disahkan, maka akan diberikan beasiswa kepada mahasiswa yang akan menjadi SDM kesehatan jiwa.

Tidak hanya berfokus pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), RUU ini juga membahas tentang pentingnya menjaga kesehatan jiwa bagi orang yang tergolong masih sehat jiwanya. Keluarga dan masyarakat juga dilibatkan dalam upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk menciptakan kesehatan jiwa kita semua. Begitu banyak manfaat yang akan kita dapatkan ketika RUU ini disahkan. Namun, cita-cita dari RUU ini tidak akan

terlaksana sampai RUU ini berhasil disetujui di sidang paripurna. Oleh sebab itu, mari kita dukung niat baik dari RUU ini, sehingga bangsa kita akan menjadi bangsa yang sehat raga, sehat jiwa!

DAMPAK RUU KESEHATAN JIWA PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT

Salah satu dampak apabila RUU Kesehatan Jiwa tidak disahkan adalah rendahnya perhatian pemerintah terhadap masalah gangguan kesehatan jiwa itu sendiri. Dari 1.678 rumah sakit umum yang terdata, hanya sekitar 2 persen yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Hanya 15 rumah sakit dari 441 rumah sakit umum daerah milik pemerintah kabupaten/kota yang memiliki layanan psikiatri (Kompas, 2012). Hal itu menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa belum menjadi perhatian serius. Salah satu penyebab kejadian tersebut dari ketidakjelasan masalah kesehatan jiwa dalam ranah formal. Pemerintah seakan tidak memiliki payung kebijakan yang mewadahi masalah kesehatan

jiwa.

Apabila tidak ada UU Keswa, ODGJ akan tetap menjadi hal yang belum memiliki konsep yang baik. Mulai dari hak-hak ODGJ, kewajibannya, penanganannya, bahkan pengertian dari ODGJ itu sendiri. Salah satu contohnya adalah tingginya angka kesalahan penanganan ODGJ di Indonesia, Menurut dr. Geraid Mario Semen Pejabat Direktorat Bina Kesehatan Jiwa (Binkeswa) Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, sampai saat ini ada

18.000-20.000 orang dengan gangguan jiwa yang dipasung di Indonesia. Pemasungan yang dilakukan pun terkadang cenderung tidak mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan. Sayangnya, selama ini hal tersebut dianggap suatu yang biasa dan wajar. Wajar saja, hal ini karena penanganan yang baik dari penderita ODGJ belum menjadi perhatian oleh pemerintah. ODGJ tidak memiliki hak-hak nya sebagai manusia seutuhnya.

Selanjutnya, dampak negatif dari apabila RUU Keswa tidak disahkan datang dari ranah sosial. Salah satunya adalah potensi munculnya stigma negatif, diskriminasi, dan hal hal yang melecehkan penderita ODGJ yang semakin meningkat. Kita lihat dengan tidak adanya RUU ini, penderita ODGJ akan semakin dipandang sebagai “Orang Gila” bahkan sering tidak dilihat hak haknya sebagai manusia lagi. Inilah penyebab ketidakjelasan dari sebuah keberadaan dari ODGJ tersebut. Selain itu, tersebarnya stigma negatif mengenai gangguan jiwa dapat membuat masyarakat malu untuk datang ke fasilitas kesehatan untuk

memeriksakan diri. Apabila kondisi ini dibiarkan, akan semakin banyak kasus bunuh diri, adiksi zat psikoaktif, kekerasan, gelandangan, hingga pemasungan penderita (Jurnal Parlemen, 2013).

Sebaliknya, juga terdapat beberapa dampak yang dapat muncul apabila RUU ini disahkan. Yang pertama, fokus penekanan pentingnya kesehatan tidak lagi hanya bergerak pada kesehatan raga atau kesehatan fisik, namun juga mulai memerhatikan pentingnya kesehatan jiwa seseorang. Selanjutnya, adanya jaminan pelayanan yang terstruktur bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Hal ini tertuang dalam pasal 4 ayat 1 draft RUU Keswa Oktober 2012. Pasal ini menjelaskan berbagai macam hak bagi ODGJ, seperti mendapat pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau (huruf a), mendapat jaminan ketersediaan obat-obatan sesuai dengan kebutuhannya (huruf c), memperoleh informasi yang jujur dan lengkap data kesehatan jiwanya (huruf e), serta mendapat perlindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan, dan eksploitasi (huruf f).

Dalam RUU Keswa pasal 15 ayat 2 disebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan jiwa harus memiliki sumber daya manusia kesehatan jiwa. RUU ini sendiri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sember daya manusia kesehatan jiwa itu adalah tenaga kesehatan dan tenaga lainnya, dimana salah satu tenaga lainnya itu memasukkan profesi psikolog dan sarjana psikologi ke dalamnya. Tentu saja ini merupakan pertanda baik bagi masa depan profesi psikolog dan psikiater untuk ke depannya. Widiyani (2013) menjelaskan bahwa Indonesia hanya memiliki 450 psikolog klinis dan 650 psikiater (Kompas, 2013). Jumlah tenaga profesional ini sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 230.000.000 jiwa. Padahal, idealnya, seorang ahli kesehatan jiwa, baik itu psikolog maupun psikiater, menangani 30.000 hingga 50.000 orang. Namun, dengan jumlah yang sangat minim tersebut, di Indonesia, seorang tenaga kesehatan jiwa harus menangani lebih dari 190.000 orang.

Dorongan untuk memperbanyak tenaga kesehatan jiwa seperti psikolog dan psikiater harus didukung dengan peningkatan teknologi dan pendidikan di bidang kesehatan jiwa itu sendiri. Hal ini berbanding lurus untuk menciptakan tenaga ahli kesehatan jiwa yang profesional di bidangnya. Selain untuk menciptakan tenaga ahli, pendidikan mengenai kesehatan jiwa juga penting untuk dikembangkan kepada masyarakat luas agar mengubah

paradigma negatif mengenai ODGJ. Rendahnya pengetahuan masyarakat serta buruknya pandangan terhadap ODGJ berdampak pada banyaknya kasus pemasungan yang terjadi di Indonesia. Kementerian Kesehatan memperkirakan sebanyak 20.000 penderita gangguan jiwa menjadi korban pemasungan. Faktor yang umum terjadi adalah karena ketidaktahuan, kemiskinan, serta kekhawatiran apabila penderita gangguan jiwa akan melukai orang lain (BBC Indonesia, 2011).

Selain fungsinya yang juga kuratif, RUU Keswa juga menekankan pentingnya pendekatan promotif dan preventif. Kedua pendekatan ini ditujukan kepada mereka yang tidak mengalami ganguan kesehatan jiwa sebagai bentuk upaya pencegahan. Upaya pelayanan kesehatan jiwa berdasarkan aspek preventif dan promotif memang tidak dibahas sebanyak dan sedetil aspek kuratif dan rehabilitati. Akan tetapi, kedua pendekatan di dalam RUU ini dapat menjadi landasan kuat bagi peraturan turunan nantinya. Dengan pencegahan, diharapkan jumlah penderita gangguan jiwa semakin berkurang. Berkurangnya jumlah penderita gangguan jiwa, baik yang ringan maupun berat diharapkan dapat berpengaruh terhadap peningkatan pembangunan ke depannya. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa kesehatan mental seseorang memiliki dampak terhadap proses pembangunan di suatu negara (WHO, 2010).

Munculnya kemiskinan, kesenjangan sosial antara mereka yang tidak menderita gangguan jiwa dengan yang menderita gangguan jiwa, menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat, dan beragam permasalahan lainnya. Dengan banyaknya dampak negatif tersebut, tentu kita menginginkan adanya suatu tindakan pencegahan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pengesahan RUU Keswa tadi. Diharapkan dengan adanya RUU Keswa, Indonesia bisa memiliki payung hukum yang jelas dalam menangani setiap permasalahan kesehatan jiwa. Selain itu, upaya ini juga bersifat promotif dan preventif, agar stigma yang buruk serta pencegahan dini dapat dilakukan di masyarakat.

RUANG LINGKUP KESWA YANG BELUM TERCAKUP DI DALAM RUU

Ruang lingkup kesehatan jiwa sangat luas. Sharma (2006) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Abnormal Psychology bahwa kesehatan jiwa mencoba memahami penyembuhan dari kerusakan mental, penyakit, dan abnormalitas serta pemeliharaan

kesehatan mental/jiwa dari seseorang. Artinya, kesehatan jiwa melingkupi seluruh aspek kehidupan dari individu itu sendiri, baik saat berada dalam lingkungan keluarga, sekolah, bahkan tempat bekerja.

Dalam draft RUU Kesehatan Jiwa Oktober 2012 telah dibahas upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang akan diterapkan kepada masyarakat. Namun, sayangnya ruang lingkupnya masih terbatas di keluarga, terutama di bagian promotif dan preventifnya. Hal ini dapat dilihat di beberapa pasal yang ada, misalnya dalam pasal 41 (bagian promotif) yang berbunyi, “Upaya promotif kesehatan jiwa dilaksanakan di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat”.

Selain itu, lingkungan keluarga yang dimaksud juga belum jelas, apakah lingkungan keluarga penderita ODGJ ataukah keluarga secara keseluruhan. Demikian juga dengan rincian dari lingkungan masyarakat. Masyarakat apakah yang dimaksud? Akan lebih mudah dalam penerapannya jika lingkungan masyarakat ini dipecah lagi menjadi lingkungan masyarakat di sekolah atau di tempat kerja. Sekolah adalah salah satu tempat dimana upaya promotif dan preventif sangat diperlukan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kejadian yang dapat memicu terjadinya ODGJ seperti bullying. Tempat kerja pun mendapatkan prioritas yang sama karena banyak hal yang dapat memicu stress di kantor.

PERKEMBANGAN RUU KESEHATAN JIWA SAAT INI

Sejak dirancang tahun 2009, RUU Kesehatan Jiwa terus diperjuangkan hingga saat ini agar segera disahkan oleh DPR. Pemberitaan tentang isu kesehatan jiwa sendiri selama ini belum terlalu masif, baik di media maupun kalangan masyarakat umum. Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan dihelatnya acara Simposium Kesehatan Jiwa oleh Departemen Kajian Strategis BEM IKM Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 2013. Acara yang diadakan tahun lalu ini mengundang mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia, lembaga-lembaga yang bergerak di bidang psikologi, akademisi, dan masyarakat umum untuk membahas isu kesehatan jiwa di Indonesia. Setiap peserta akan menyampaikan pandangannya terhadap isu kesehatan jiwa. Kemudian peserta akan menyatukan pandangan dan menuangkannya ke dalam bentuk draft rekomendasi yang kemudian akan diserahkan kepada Panitia Kerja RUU Kesehatan Jiwa untuk memperkaya perspektif dalam penyusunan RUU tersebut.

Setelah Simposium selesai, pembumian isu kesehatan jiwa tidak berhenti sampai di situ. Kesehatan Jiwa menjadi isu yang terus digalangkan hingga saat ini, baik di dalam internal fakultas maupun ke masyarakat luas. Departemen Kastrat BEM Fakultas Psikologi UI

2013 dan 2014 juga terus memantau perkembangan RUU Kesehatan Jiwa. Tujuannya sama, yakni memastikan RUU Keswa berhasil disahkan. Namun, pada pertengahan Juni kemarin, muncul pemberitaan bahwa Noriyu (sapaan akrab Nova Riyanti Yusuf) selaku Ketua Panitia Kerja RUU Keswa diberhentikan dari DPR RI dan otomatis juga diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua Panja. Padahal, perumusan RUU Keswa sudah 95% hampir selesai. Lalu, bagaimana kelanjutan nasib RUU Kesehatan Jiwa ini?

Sejak masuk Program Legislasi Nasional, RUU Keswa telah melalui berbagai proses dan tahapan untuk bisa disahkan. Sebelum masuk ke dalam posisi RUU Keswa saat ini, perlu diketahui alur pengesahan sebuah undang-undang. Alur sederhananya dapat dilihat pada bagan berikut:

Berdasarkan kabar yang kami dapat dari Pak Ari, staff Komisi IX DPR RI, pada tanggal 30 Juni 2014, RUU Keswa sudah disetujui oleh pemerintah melalui empat kementerian

(Kesehatan, Sosial, Hukum & HAM, dan Dalam Negeri) dan sembilan fraksi di Komisi IX. Pada tanggal 25 Juni, diadakan rapat tim perumus RUU Keswa hingga akhirnya pembahasan tim perumus dan sinkronisasi RUU Keswa selesai sudah. Kemudian pada tanggal 30 Juni, RUU Keswa masuk ke dalam Rapat Akhir Pembicaraan Tingkat I. Rapat ini merupakan rapat kerja Komisi IX dengan Pemerintah, yakni empat kementerian yang sudah disebutkan di atas. Menteri Kesehatan, tujuh fraksi yang hadir, dan dua fraksi tertulis sepakat untuk menyetujui RUU Kesehatan Jiwa. Dengan begitu, status RUU Kesehatan Jiwa saat ini sudah resmi ditandatangani oleh Menteri Kesehatan dan perwakilan sembilan fraksi di Komisi IX.

Maka dari itu, Komisi IX dan Kementerian Kesehatan menyepakati bahwa RUU Keswa akan dibawa ke Rapat Akhir Pembicaraan Tingkat II alias Sidang Paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Akhirnya, saat-saat yang ditunggu itu tiba. Pada tanggal 8 Juli 2014 (H-1 Pemilihan Presiden), RUU Kesehatan Jiwa dibahas dalam Sidang Paripurna DPR RI. Sidang paripurna dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso. Semua fraksi menyatakan setuju RUU Kesehatan Jiwa disahkan menjadi Undang-Undang. Terhitung sejak 8 Juli 2012, RUU Kesehatan Jiwa RESMI DISAHKAN menjadi Undang-Undang.

RUU Kesehatan Jiwa hanya tinggal menunggu ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. RUU Keswa akan diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perjalanan RUU Keswa sudah menuju puncaknya. Setelah ditandatangani presiden, UU Kesehatan Jiwa sudah legal untuk diterapkan di seluruh pelosok Tanah Air. Landasan hukum terkait kesehatan jiwa siap diterapkan melalui peraturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan sejenisnya.

Setelah ini, maka seperti tujuan yang tercantum dalam RUU, Indonesia mempunyai payung hukum yang jelas untuk menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa; memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi ODGJ berdasarkan hak asasi manusia; menjamin ketersediaan dan keterjangkauan Sumber Daya di Bidang Kesehatan Jiwa; meningkatkan mutu upaya kesehatan jiwa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan memberikan kesempatan kepada ODGJ untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia.

KESIMPULAN

Menimbang penjelasan di atas, Kastrat BEM Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengambil sikap sangat setuju dan mendukung pengesahan RUU Kesehatan Jiwa. Kami juga mengajak seluruh mahasiswa -khususnya mahasiswa Fakultas Psikologi-, akademisi, lembaga yang bergerak di bidang kesehatan dan psikologi, serta masyarakat luas untuk terus memantau perkembangan isu ini. Kita perlu terus memantau dan mengawal implementasi dari lahirnya UU Kesehatan Jiwa. Bersamaan dengan momentum Pemilihan Presiden 2014, mari kita kawal pelaksanaan upaya pelayanan kesehatan jiwa yang nantinya akan diatur di dalam peraturan turunan, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan lain-lain. Sebab kesehatan jiwa merupakan hak setiap orang tanpa terkecuali, baik yang sudah tergolong dalam gangguan maupun yang masih sehat jiwanya. Perkembangan tentang UU Kesehatan Jiwa akan terus diinfokan melalui akun @BEMPsikoUI dan dapat dilihat di media massa nasional. Selamat datang, Indonesia Sehat Jiwa!

DAFTAR PUSTAKA

BBC Indonesia. (2011). 20 ribu penderita sakit jiwa dipasung. Retrieved from http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/10/111004_mental6.shtml

Detik.com. (2013). Penderita gangguan jiwa di Indonesia ada 1 juta hanya 10 persen yang berobat. Diakses pada 4 Juli 2014, pk. 12:38 W.I.B, pada laman: http://health.detik.com/read/2013/05/20/152457/2250832/763/penderita-gangguan-jiwa-di-

indonesia-ada-1-juta-hanya-10-yang-berobat

Jurnal Parlemen. (2013). Penderita Gangguan Jiwa Tak Tertangani Medis, Ini Sebabnya. Diakses pada 4 Juli

2014, pk. 21;05 W.I.B, pada laman: http://www.jurnalparlemen.com/view/6780/penderita-gangguan- jiwa-tak-tertangani-medis-ini-sebabnya.html

Kompas. (2012). Gangguan Jiwa Masih Diabaikan. Diakses pada 4 Juli 2014, pk. 21;05 W.I.B, pada laman:

http://lipsus.kompas.com/aff2012/read/2012/02/11/07363466/gangguan.jiwa.masih.diabaikan

Liputan6.com. (2013). 20 ribuan penyandang gangguan jiwa di Indonesia dipasung. Diakses pada 4 Juli 2014, pk. 12:38 W.I.B, pada laman: http://news.liputan6.com/read/767314/20-ribuan-penyandang-ganguan-

jiwa-di-indonesia-dipasung

Merdeka.com. (2013). Di Indonesia, ada 18 ribu penderita gangguan jiwa berat dipasung. Diakses pada 4 Juli

2014, pk. 12:38 W.I.B, pada laman:

http://www.merdeka.com/peristiwa/di-indonesia-ada-18-ribu-penderita-gangguan-jiwa-berat-dipasung.html

Sharma, R. (2006). Abnormal Psychology. UK: Atlantic Publishers & Distributors Pvt Ltd.

Tempo.co. (2014). Pemerintah ragukan riset penderita Skizofrenia. Diakses pada 4 Juli 2014, pk. 12:38 W.I.B, pada laman: www.tempo.co/read/news/2014/03/28/060566006/Pemerintah-Ragukan-Riset-Penderita-

Skizofrenia

WHO. (2010). Mental health and development: Targeting people with mental disability as a vulnerable group.

Geneva: WHO.

Widiyani, R. (2013). Indonesia Kekurangan Psikolog dan Psikiater. Retrieved from http://health.kompas.com/read/2013/05/21/17202298/Indonesia.Kekurangan.Psikolog.dan.Psikiater

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun