Dalam RUU Keswa pasal 15 ayat 2 disebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan jiwa harus memiliki sumber daya manusia kesehatan jiwa. RUU ini sendiri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sember daya manusia kesehatan jiwa itu adalah tenaga kesehatan dan tenaga lainnya, dimana salah satu tenaga lainnya itu memasukkan profesi psikolog dan sarjana psikologi ke dalamnya. Tentu saja ini merupakan pertanda baik bagi masa depan profesi psikolog dan psikiater untuk ke depannya. Widiyani (2013) menjelaskan bahwa Indonesia hanya memiliki 450 psikolog klinis dan 650 psikiater (Kompas, 2013). Jumlah tenaga profesional ini sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 230.000.000 jiwa. Padahal, idealnya, seorang ahli kesehatan jiwa, baik itu psikolog maupun psikiater, menangani 30.000 hingga 50.000 orang. Namun, dengan jumlah yang sangat minim tersebut, di Indonesia, seorang tenaga kesehatan jiwa harus menangani lebih dari 190.000 orang.
Dorongan untuk memperbanyak tenaga kesehatan jiwa seperti psikolog dan psikiater harus didukung dengan peningkatan teknologi dan pendidikan di bidang kesehatan jiwa itu sendiri. Hal ini berbanding lurus untuk menciptakan tenaga ahli kesehatan jiwa yang profesional di bidangnya. Selain untuk menciptakan tenaga ahli, pendidikan mengenai kesehatan jiwa juga penting untuk dikembangkan kepada masyarakat luas agar mengubah
paradigma negatif mengenai ODGJ. Rendahnya pengetahuan masyarakat serta buruknya pandangan terhadap ODGJ berdampak pada banyaknya kasus pemasungan yang terjadi di Indonesia. Kementerian Kesehatan memperkirakan sebanyak 20.000 penderita gangguan jiwa menjadi korban pemasungan. Faktor yang umum terjadi adalah karena ketidaktahuan, kemiskinan, serta kekhawatiran apabila penderita gangguan jiwa akan melukai orang lain (BBC Indonesia, 2011).
Selain fungsinya yang juga kuratif, RUU Keswa juga menekankan pentingnya pendekatan promotif dan preventif. Kedua pendekatan ini ditujukan kepada mereka yang tidak mengalami ganguan kesehatan jiwa sebagai bentuk upaya pencegahan. Upaya pelayanan kesehatan jiwa berdasarkan aspek preventif dan promotif memang tidak dibahas sebanyak dan sedetil aspek kuratif dan rehabilitati. Akan tetapi, kedua pendekatan di dalam RUU ini dapat menjadi landasan kuat bagi peraturan turunan nantinya. Dengan pencegahan, diharapkan jumlah penderita gangguan jiwa semakin berkurang. Berkurangnya jumlah penderita gangguan jiwa, baik yang ringan maupun berat diharapkan dapat berpengaruh terhadap peningkatan pembangunan ke depannya. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa kesehatan mental seseorang memiliki dampak terhadap proses pembangunan di suatu negara (WHO, 2010).
Munculnya kemiskinan, kesenjangan sosial antara mereka yang tidak menderita gangguan jiwa dengan yang menderita gangguan jiwa, menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat, dan beragam permasalahan lainnya. Dengan banyaknya dampak negatif tersebut, tentu kita menginginkan adanya suatu tindakan pencegahan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pengesahan RUU Keswa tadi. Diharapkan dengan adanya RUU Keswa, Indonesia bisa memiliki payung hukum yang jelas dalam menangani setiap permasalahan kesehatan jiwa. Selain itu, upaya ini juga bersifat promotif dan preventif, agar stigma yang buruk serta pencegahan dini dapat dilakukan di masyarakat.
RUANG LINGKUP KESWA YANG BELUM TERCAKUP DI DALAM RUU
Ruang lingkup kesehatan jiwa sangat luas. Sharma (2006) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Abnormal Psychology bahwa kesehatan jiwa mencoba memahami penyembuhan dari kerusakan mental, penyakit, dan abnormalitas serta pemeliharaan
kesehatan mental/jiwa dari seseorang. Artinya, kesehatan jiwa melingkupi seluruh aspek kehidupan dari individu itu sendiri, baik saat berada dalam lingkungan keluarga, sekolah, bahkan tempat bekerja.
Dalam draft RUU Kesehatan Jiwa Oktober 2012 telah dibahas upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang akan diterapkan kepada masyarakat. Namun, sayangnya ruang lingkupnya masih terbatas di keluarga, terutama di bagian promotif dan preventifnya. Hal ini dapat dilihat di beberapa pasal yang ada, misalnya dalam pasal 41 (bagian promotif) yang berbunyi, “Upaya promotif kesehatan jiwa dilaksanakan di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat”.
Selain itu, lingkungan keluarga yang dimaksud juga belum jelas, apakah lingkungan keluarga penderita ODGJ ataukah keluarga secara keseluruhan. Demikian juga dengan rincian dari lingkungan masyarakat. Masyarakat apakah yang dimaksud? Akan lebih mudah dalam penerapannya jika lingkungan masyarakat ini dipecah lagi menjadi lingkungan masyarakat di sekolah atau di tempat kerja. Sekolah adalah salah satu tempat dimana upaya promotif dan preventif sangat diperlukan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kejadian yang dapat memicu terjadinya ODGJ seperti bullying. Tempat kerja pun mendapatkan prioritas yang sama karena banyak hal yang dapat memicu stress di kantor.
PERKEMBANGAN RUU KESEHATAN JIWA SAAT INI