Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teratai

21 Januari 2025   18:06 Diperbarui: 21 Januari 2025   18:06 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bahkan teratai yang indah pun tumbuh di air keruh. Namun, apakah aku bisa menjadi seperti itu, Teja?"

Bandung sore itu basah oleh hujan yang turun sejak siang. Teja menatap langit yang perlahan memudar ke arah senja dari balik kaca jendela kafe. Ia mengaduk kopinya tanpa semangat, pikirannya melayang pada seorang gadis yang tengah menatap pemandangan yang sama di tempat lain.

"Aku ingin kita berhenti, Teja," suara Lestari menggema di ingatannya. Suara lembut namun tegas itu mengiris hatinya lebih dari apapun.

Baca juga: Langit Laut

"Kenapa?" tanyanya kala itu, suaranya tercekat.

Lestari menunduk, jemarinya memainkan ujung jilbab yang terjuntai. "Karena aku tak sanggup."

Teja ingat bagaimana ia ingin memeluk gadis itu, memintanya tetap tinggal. Tapi yang keluar dari mulutnya adalah, "Apa kamu nggak percaya sama aku?"

"Aku percaya, Teja. Tapi aku nggak percaya sama diriku sendiri."

Lestari adalah seperti teratai di mata Teja. Indah, namun rapuh. Ia bertemu gadis itu di sebuah seminar pendidikan dua tahun lalu, saat Lestari menjadi salah satu pembicara. Teja langsung tertarik pada kecerdasan dan kelembutan yang terpancar dari setiap kata yang diucapkannya.

Pertemuan itu berubah menjadi pertemanan, dan pertemanan itu, perlahan namun pasti, menjadi cinta.

Teja selalu mengingat senyum pertama Lestari saat mereka berjalan di sepanjang Jalan Braga. "Kamu tahu, Teja, aku suka sekali teratai," katanya, matanya berbinar.

"Kenapa teratai?"

"Karena dia tetap indah meski tumbuh di air keruh. Aku ingin seperti itu. Tapi..." Lestari menghentikan langkahnya, wajahnya berubah muram. "Kadang aku merasa air keruh itu terlalu pekat untukku."

Teja tak pernah memahami maksud kata-kata itu sepenuhnya, hingga ia mengenal Lestari lebih dalam. Di balik senyumnya yang selalu cerah, ada trauma yang tak pernah sembuh.

"Kamu tahu, Teja," Lestari berkata suatu malam, "Ayahku meninggalkan kami saat aku masih kecil. Ibuku bekerja siang malam untuk membesarkan aku dan adikku. Kadang, aku takut menjadi seperti ayahku---meninggalkan orang-orang yang aku sayangi."

Teja memegang tangan Lestari erat. "Kamu bukan ayahmu, Lestari. Kamu jauh lebih kuat."

"Tapi bagaimana kalau aku menyakitimu? Bagaimana kalau aku menjadi beban?"

"Kamu tidak akan pernah jadi beban untukku."

Namun, cinta saja seringkali tidak cukup.

Lestari mulai menjauh perlahan. Ia menolak ajakan Teja untuk bertemu, jarang membalas pesan, dan ketika Teja mencoba bertanya, ia hanya menjawab, "Aku sibuk."

Hingga sore itu di sebuah taman kecil di daerah Dago, Lestari akhirnya jujur.

"Aku terlalu takut, Teja. Takut gagal, takut menyakitimu, takut menjadi beban seperti yang pernah aku lihat dalam hidupku. Aku pikir cinta ini tidak cukup untuk mengalahkan ketakutan itu."

Teja terdiam lama sebelum akhirnya berkata, "Lestari, aku mencintaimu apa adanya. Aku akan ada untukmu, apapun yang terjadi."

"Tapi aku tidak bisa ada untukmu, Teja. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku tidak tahu bagaimana caranya."

Teja hanya bisa melihat gadis itu pergi, meninggalkan segalanya---impian mereka, harapan, cinta.

Hari ini, tiga bulan sejak perpisahan itu, Teja masih sering bertanya-tanya apa yang salah. Ia duduk di kursi yang sama di kafe favorit mereka, berharap menemukan jawaban di balik aroma kopi dan hujan.

Sebuah suara yang familier membuyarkan lamunannya.

"Teja."

Ia menoleh, dan di sana Lestari berdiri. Wajahnya masih sama, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada ketenangan yang belum pernah Teja lihat sebelumnya.

"Lestari," katanya pelan, berdiri dari kursinya.

"Boleh aku duduk?" tanyanya, suaranya lembut.

Teja mengangguk. Mereka duduk berhadapan, seperti dulu, namun suasananya jauh berbeda.

"Apa kabar?" Lestari memulai percakapan.

"Baik," jawab Teja singkat. "Kamu?"

"Aku... lebih baik sekarang."

Hening sejenak, sebelum Lestari melanjutkan. "Aku mau minta maaf, Teja. Aku salah karena pergi tanpa memberi kesempatan padamu untuk membuktikan kalau kita bisa melawan ketakutanku bersama-sama."

Teja menatapnya lama. "Apa yang berubah?"

"Aku," jawab Lestari tegas. "Aku akhirnya sadar kalau aku nggak bisa lari dari diriku sendiri. Aku harus menerima masa laluku, menerima rasa takutku, dan belajar memaafkan diriku sendiri. Kamu benar, aku lebih kuat dari yang aku kira."

Teja tersenyum tipis, meski hatinya masih bimbang. "Lalu kenapa kamu ada di sini sekarang?"

"Karena aku ingin mencoba lagi, Teja. Kalau kamu masih mau."

Teja menghela napas panjang. Ia mencintai Lestari, selalu mencintainya. Tapi luka yang ditinggalkan gadis itu belum sepenuhnya sembuh.

"Aku nggak tahu, Lestari. Aku butuh waktu."

"Aku mengerti," jawab Lestari dengan mata berkaca-kaca. "Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku akan menunggu. Sebisa mungkin aku akan membuktikan kalau aku layak untuk mendapatkan cinta kamu lagi."

Teja hanya mengangguk, tidak mampu berkata-kata.

Satu bulan setelah pertemuan itu, Teja berdiri di tepi Situ Patenggang. Lestari memintanya untuk datang ke sana, tempat mereka pernah menghabiskan waktu bersama.

Ketika ia tiba, Lestari sudah ada di sana, memegang seikat bunga teratai.

"Untukmu," katanya, menyerahkan bunga itu pada Teja.

"Kenapa teratai lagi?" tanya Teja, meski hatinya mulai menghangat.

"Karena aku ingin kita ingat bahwa bahkan di air keruh, teratai bisa tumbuh. Dan aku ingin kita seperti itu, Teja. Tumbuh bersama, meskipun keadaan tidak selalu sempurna."

Teja melihat ke dalam mata Lestari, dan untuk pertama kalinya, ia melihat gadis itu sepenuhnya---dengan segala kekurangan dan ketakutannya, tapi juga dengan keberanian dan cintanya.

Ia mengambil bunga itu, lalu menggenggam tangan Lestari erat.

"Kita bisa mencoba lagi, Lestari."

Senyum Lestari mekar seperti bunga teratai di danau itu. "Terima kasih, Teja."

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka merasa utuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun