"Karena dia tetap indah meski tumbuh di air keruh. Aku ingin seperti itu. Tapi..." Lestari menghentikan langkahnya, wajahnya berubah muram. "Kadang aku merasa air keruh itu terlalu pekat untukku."
Teja tak pernah memahami maksud kata-kata itu sepenuhnya, hingga ia mengenal Lestari lebih dalam. Di balik senyumnya yang selalu cerah, ada trauma yang tak pernah sembuh.
"Kamu tahu, Teja," Lestari berkata suatu malam, "Ayahku meninggalkan kami saat aku masih kecil. Ibuku bekerja siang malam untuk membesarkan aku dan adikku. Kadang, aku takut menjadi seperti ayahku---meninggalkan orang-orang yang aku sayangi."
Teja memegang tangan Lestari erat. "Kamu bukan ayahmu, Lestari. Kamu jauh lebih kuat."
"Tapi bagaimana kalau aku menyakitimu? Bagaimana kalau aku menjadi beban?"
"Kamu tidak akan pernah jadi beban untukku."
Namun, cinta saja seringkali tidak cukup.
Lestari mulai menjauh perlahan. Ia menolak ajakan Teja untuk bertemu, jarang membalas pesan, dan ketika Teja mencoba bertanya, ia hanya menjawab, "Aku sibuk."
Hingga sore itu di sebuah taman kecil di daerah Dago, Lestari akhirnya jujur.
"Aku terlalu takut, Teja. Takut gagal, takut menyakitimu, takut menjadi beban seperti yang pernah aku lihat dalam hidupku. Aku pikir cinta ini tidak cukup untuk mengalahkan ketakutan itu."
Teja terdiam lama sebelum akhirnya berkata, "Lestari, aku mencintaimu apa adanya. Aku akan ada untukmu, apapun yang terjadi."