"Bahkan teratai yang indah pun tumbuh di air keruh. Namun, apakah aku bisa menjadi seperti itu, Teja?"
Bandung sore itu basah oleh hujan yang turun sejak siang. Teja menatap langit yang perlahan memudar ke arah senja dari balik kaca jendela kafe. Ia mengaduk kopinya tanpa semangat, pikirannya melayang pada seorang gadis yang tengah menatap pemandangan yang sama di tempat lain.
"Aku ingin kita berhenti, Teja," suara Lestari menggema di ingatannya. Suara lembut namun tegas itu mengiris hatinya lebih dari apapun.
"Kenapa?" tanyanya kala itu, suaranya tercekat.
Lestari menunduk, jemarinya memainkan ujung jilbab yang terjuntai. "Karena aku tak sanggup."
Teja ingat bagaimana ia ingin memeluk gadis itu, memintanya tetap tinggal. Tapi yang keluar dari mulutnya adalah, "Apa kamu nggak percaya sama aku?"
"Aku percaya, Teja. Tapi aku nggak percaya sama diriku sendiri."
Lestari adalah seperti teratai di mata Teja. Indah, namun rapuh. Ia bertemu gadis itu di sebuah seminar pendidikan dua tahun lalu, saat Lestari menjadi salah satu pembicara. Teja langsung tertarik pada kecerdasan dan kelembutan yang terpancar dari setiap kata yang diucapkannya.
Pertemuan itu berubah menjadi pertemanan, dan pertemanan itu, perlahan namun pasti, menjadi cinta.
Teja selalu mengingat senyum pertama Lestari saat mereka berjalan di sepanjang Jalan Braga. "Kamu tahu, Teja, aku suka sekali teratai," katanya, matanya berbinar.
"Kenapa teratai?"