***
"Sampai ia berusia 18 tahun penting melindunginya, jangan sampai pengaruh jahat menguasai Ulin," kata  Sang Ratu memerintahkan pada  dua Panglimanya untuk menjaga Ulin. Seleksi alam semesta seperti ini jarang terjadi.
***
Angin berhembus menyapa, nyiur melambai-lambai. Ombak laut bergulung makin tenang seolah tersenyum dengan cahaya jinga merona di langit sana. Tanda senja pun tiba. Namun Ulin belum di temukan juga.
Alina yang sedari tadi mencarinya, kini tinggal lelah lemas terkapar tidak berdaya. Hatinya hancur pilu membiru putrinya entah hilang kemana.
"Apa yang harus aku katakan pada Rico dan Delima nantinya jika kita bertemu di alam sana? Aku bahkan tidak bisa menjaga peninggalan yang paling berharga dari mereka, " pekik Alina.
"Ayo kita pulang, besok pagi kita cari lagi,"  rayu Rahman  menenangkan
"Besok katamu? Tidak. Apapun yang terjadi kita harus menemukannya."
"Iya.. Aku tau. Setidaknya makanlah dulu atau minum air. Nanti kita cari lagi," balas Rahman seraya menuntun Alina menuju ke mobil untuk istirahat sebentar. Ia tau tubuh wantita itu sudah tidak memungkinkan lagi.
Sesampainya di mobil, waktu membuka pintu itu. Terlihat Ulin sedang tertidur pulas. Alina yang melihat itu langsung memeluk si cantik dengan erat. Hatinya yang sedari tadi sesak kini menjadi lega. Air mata yang menetes bukan lagi kesedihan namun kebahagiaan. Hampir-hampir saja ia putus asa di buatnya.
"Mama kenapa menangis?" tanya Ulin heran.
"Tidak sayang.. Ayuk kita pulang," balas lirih Alina yang tidak mau melepaskan pelukannya.
"Om Rahman kenapa ikut menangis?"
"Gak sayang... Mata Om tadi kemasukan pasir,'' ucapnya sembari mencium kepala gadis kecil berambut lurus itu.
"Kita seperti keluarga kecil yang bahagia,'' bisik Rahman di telinga Alina.
"Maumu kan, Man?" balas Alina mencebik.