Mohon tunggu...
Bekti Cahyo Purnomo Syah
Bekti Cahyo Purnomo Syah Mohon Tunggu... Penulis - Menulis adalah caraku melukis keindahan lewat rangkaian aksara manja tak bernyawa.

Penulis Freelance, bloger, Novelis, email; bekticahyopurnomo@gmail.com Ig/twitter, Yutube: @belajarbersamabisa fbgroup; Belajar Bersama Bisa dan Bebebs.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ulin Putri Meranti Delima (Bagian 1)

16 September 2018   09:56 Diperbarui: 7 Februari 2019   07:17 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar (istimewa) negerihamesha.blogsport,com

Gadis kecil berlari telanjang kaki dengan riang hati, melompat kesana-kemari bersama angin bersama hujan menyapa mentari.
Rambut lurus mengkilau, berkulit putih bercahaya bagai embun pagi. Siapa memandangnya? Selalu tinggalkan hati berseri. Siapa sangka ternyata gadis kecil itu mengalir darah siluman kuyang.

Kata mereka dirinya selalu dimanja, kata mereka dirinya selalu dipuja. Memang ayu cantik wajahnya. Ulin Putri Meranti Delima namanya. Gadis kecil imut mempesona, penebar cinta penuh misteri.

Kecerian gadis kecil ini selalu menebar kebahagiaan bagi orang dan makhluk sekitarnya. Walaupun tanpa kasih sayang seorang ibu yang melahirkan, ia tetap bahagia. Alina menyayangi Ulin melebihi dirinya sendiri. 

Rico laki-laki yang sangat ia cintai kini hidup dalam putri kecil itu. Kelembutan hati Delima yang selalu bersinar kini menjadi cahaya dalam warisan, Ulin Putri Meranti Delima.

Teringat masa-masa indah saat bersama tanpa sadar Alina terhanyut dalam lamunan rindu kenangan. Dari tatapan mata, milik Delima, dari senyumnya milik Rico sedang hati  adalah Alina lah pemiliknya.

"Mama menangis?"
"Tidak sayang. Sini!" Alina memeluk gadis kecil itu seraya menciumi kening Ulin dengan pelukan erat akan kasih sayang seorang mama pada putrinya. 

Sebuah perasaan yang begitu kuat, begitu dalam, membuat gadis kecil itu tidak akan kekurangan kasih sayang dari seorang mama.  Kini tujuan hidupnya hanya untuk putrinya itu.

Lubang di hati yang kosong selalu terisi dengan senyum kebahagiaan, dari canda-tawa Si Putri kecil tercinta.

Ulin terus berlari bermain pasir di bibir pantai,  sementara Alina masih hanyut dalam lamunan. Air laut seolah terbuka dengan sendirinya. Sang Putri kecil itu penasaran kemudian berjalan menuju laut. 

Setiap kaki putri kecil itu melangkah, air itu membuka memberikan jalan. 

Gadis kecil itu terus berjalan menuju tengah laut. Alam semesta bersahabat dengannya. 

Tanpa sadar ia telah masuk dimensi lain. Sebuah dimensi kehidupan tak kasat mata pada dunia sebelah.

Cahaya putih begitu terang seolah memanggil.  Benar, sebuah kerajaan jin ia telah masuki.

Memang benar adanya pengetahuan kuyang selalu dianggap negatif oleh masyarakat. Selalu dianggap ilmu hitam yang jahat. Padahal sesungguhnya pengetahuan itu tidak ada yang baik atau buruk. Manusialah yang menjadikannya baik atau buruk.

Manusia selalu ingin menang sendiri. Berbagai cerita fitnah mereka terbakar untuk menghakimi golongan para jin dan siluman. Bukankah jin dan siluman juga ciptaan yang Maha Kuasa sama seperti manusia. Walaupun Ulin Putri Meranti Delima memiliki darah siluman kuyang bukan berarti ia jahat. Kekuatan yang tersembunyi dalam tubuhnya adalah murni anugrah Alam Semesta.

"Kemarilah, Putriku," sapa Ratu Jin penguasa laut. "Alam semesta telah memilikimu, kelak kau akan menjadi duta besar perdamaian antara Jin, Siluman dan Manusia," lanjutnya.

"Anda siapa?" tanya Ulin yang tidak mengerti dan paham apa yang sebenarnya terjadi. 

Di peluklah Ulin dengan kasih sayang oleh Ratu Penguasa Laut . Sang Ratu tau jika jalan hidup Ulin kedepanya tidaklah mudah. Namun seperti namanya "Ulin"  yang berasal dari nama kayu ulin atau kayu besi. Semakin lama ia dipendam. Semakin kuat kayu itu.

***

Debur ombak angin laut menampar-nampar rambut yang jatuh menutupi wajah Alina menyadarkanya dari lamunan. Mengetahui putrinya terlepas dari pandangan mata, Alina semendadak angin menjadi panik.

"Nak..  Dimana kamu Ulin!" teriak Alina melengking memecah udara hingga terdengar oleh seluruh orang yang berada di Pantai Kubu.

Seperti ada yang mengomando, satu persatu warga seketar berdatangan kemudian ikut serta mencari keberadaan Ulin yang seolah hilang ditelan bumi.. Sudah berjam-jam, mencari dan terus mencari tidak jua ditemukan.

"Putriku dimana kamu, Nak?" tangis Alina panik.

 Mata yang penuh cinta itu kini nanar dan berkata-kaca.

"Tenangkan dirimu, Alin. Kita pasti menemukan Ulin," kata lelaki di sebelahnya itu menenangkan.

Rahman tadi baru sebentar pergi untuk membeli makanan dan minuman ringan. Tidak tau jika Ulin pergi dan main sendirian.

Sama halnya Alina,  Rahman bukan juga ayah kandung Ulin, sedangkan  ikatan kasih sayang pada Ulin terlahir karena ikatan kenangan masa lalu. 

Masa lalu cinta Rahman yang masih menunggu Alina menerima cintanya. Hingga kini, hanya  persahabatan mereka lah yang terbaik.

"Jika sampai terjadi sesuatu dengan Ulin, aku tidak akan memaafkan diriku, Man."
"Aku juga sayang sama  Ulin, kamu juga tau ia seperti putriku sendiri." 

Bagaimanapun, Rico ayah kandung Ulin tetaplah sahabat terbaiknya.

Alina dan Rahman terus mencari kesana-kemari menyusuri bibir pantai mencari Ulin dengan membawa kecemasan dan ketakutan.

"Kenapa aku begitu bodoh membiarkannya bermain sendirian?" sesalnnya dengan tangisan kepedihan.

 Sesuatu menggumpal memenuhi dalam dada kemudian seolah ada tali melilit mengikat semakin kuat membuat Alina sesak bernafas. 

***

"Sampai ia berusia 18 tahun penting melindunginya, jangan sampai pengaruh jahat menguasai Ulin," kata  Sang Ratu memerintahkan pada  dua Panglimanya untuk menjaga Ulin. Seleksi alam semesta seperti ini jarang terjadi.

ilustrasi gambar (istimewa)www.m.inilah.com
ilustrasi gambar (istimewa)www.m.inilah.com
Walaupun Ulin belum bisa memahami akan semua itu. Yang ia tau Sang Ratu penguasa laut itu menyayanginnya. Cahaya putih terang itu masuk ke tubuh gadis kecil itu.

***
Angin berhembus menyapa, nyiur melambai-lambai. Ombak laut bergulung makin tenang seolah tersenyum dengan cahaya jinga merona di langit sana. Tanda senja pun tiba. Namun Ulin belum di temukan juga.

Alina yang sedari tadi mencarinya, kini tinggal lelah lemas terkapar tidak berdaya. Hatinya hancur pilu membiru putrinya entah hilang kemana.

"Apa yang harus aku katakan pada Rico dan Delima nantinya jika kita bertemu di alam sana? Aku bahkan tidak bisa menjaga peninggalan yang paling berharga dari mereka, " pekik Alina.

"Ayo kita pulang, besok pagi kita cari lagi,"  rayu Rahman  menenangkan
"Besok katamu? Tidak. Apapun yang terjadi kita harus menemukannya."
"Iya.. Aku tau. Setidaknya makanlah dulu atau minum air. Nanti kita cari lagi," balas Rahman seraya menuntun Alina menuju ke mobil untuk istirahat sebentar. Ia tau tubuh wantita itu sudah tidak memungkinkan lagi.

Sesampainya di mobil, waktu membuka pintu itu. Terlihat Ulin sedang tertidur pulas. Alina yang melihat itu langsung memeluk si cantik dengan erat. Hatinya yang sedari tadi sesak kini menjadi lega. Air mata yang menetes bukan lagi kesedihan namun kebahagiaan. Hampir-hampir saja ia putus asa di buatnya.

"Mama kenapa menangis?" tanya Ulin heran.
"Tidak sayang.. Ayuk kita pulang," balas lirih Alina yang tidak mau melepaskan pelukannya.

"Om Rahman kenapa ikut menangis?"
"Gak sayang... Mata Om tadi kemasukan pasir,'' ucapnya sembari mencium kepala gadis kecil berambut lurus itu.

"Kita seperti keluarga kecil yang bahagia,'' bisik Rahman di telinga Alina.
"Maumu kan, Man?" balas Alina mencebik.

"Mama sama Om Rahman menikah saja. Nanti kan Ulin punya mama dan papa,'' pinta Ulin dengan lugu.
"Mulai sekarang panggil om Rahman dengan panggilan Papa aja,'' kata Rahman.
"Benar, Pa?"
"Iya sayang... " sahut Alina dan Rahman bersamaan.

Sepertinya hari itu adalah hari yang terindah mereka. Cinta dan kasih sayang yang tulus dan kuat mengalahkan segala masa lalu. Mendung gelap hitam kini menjadi awan yang cerah meski itu di waktu senja.

Next 

By, Bekti Cahyo Purnomo Seruyansyah 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun