Jakarta tepat hampir tiga tahun atau lebih tepatnya 2 tahun lebih 5 bulan atau para mahasiswa lebih kenal dengan sebutan akhir-akhir semester dan karena itu ada jadwal genting karena aku harus masuk pagi ini agar tidak dapat nilai yang lebih baik daripada tahun lalu. Bisa dibayangkan tapi menurutku jangan dibayangkan karena ini bukan prestasi, matakuliah Penghantar Ilmu Komunikasi dan yang jadi masalahnya aku kuliah di salah satu Institusi di Jakarta Selatan dan tepatnya Jurusan Ilmu Komunikasi. Tidak logis dan tidak aneh, bukan karena aku bodoh tapi karena adanya masalah klasik mahasiswa dengan agenda telat, tidak kerjakan tugas, tidur di kelas, dan bolos. Mungkin itu saya masih terbawa masa SMA tapi sekarang masih terbawa juga sedikit.
Melihat status Jakarta pagi ini aku tidak yakin akan bisa sampai tepat pukul 7 pas. Bagaimana mungkin aku bisa sampai, Ini sudah jam 5 Â pagi, sementara jarak dari kost ku di Bintaro ke kampusku sekitar 30 Km dan itu tidak jauh jika tidak MACET!! Lagi. Kalau udah seperti ini maka pasti keluar ide dari dalam diri dan konon katanya manusia itu akan mengeluarkan segala macam ide dan kreatif ditasnya jika lagi kepepet.
"Nabillah!! Keluar lama kali lo di dalam," busyet dah baru juga masuk.
"Iya Vin! Baru juga masuk, 5 menit saja," sahutku
"Iya deh kutunggu lima menit yak!" dasar cewek pikun dalam hatiku berkata, sudah berapa lama dia berteman dengan ku bukan sehari atau dua hari tetapi sudah 3 tahun dan dia masih saja lupa jika aku mandi waktu 30 menit itu patokan standart jika lagi terburu-buru.
Waktu udah lewat lima menit dan dia tidak ada teriak maka dapat dipastikan dia ketiduran di ruang makan. Aku lanjutkan terus mandiku hingga selesai dan tiba-tiba aku tersentak bahwa aku masuk jam 7 , pikun si Vina seakan berpindah ke otakku. Aku menyelesaikan mandiku lebih cepat dan ini pertamanya aku mandi di bawah waktu 30 menit, hal ini seharusnya di catat dalam rekor dunia atas nama pribadiku Nabillah Amandla, seandainya katagori itu ada pastilah aku juaranya.
"Hei! Dasar cewek bangkong, ku kerjain lo," ku kerjain si Vina dengan menggelitik lubang hidungya dengan bulu pembersih.
Â
"Haaacciimmm... haaacciimmm ah lo Bil sukanya ngerjain orang aja," wajahnya yang seperti ini sangat familiar bagiku saat pertama kali datang ke Jakarta dan dia adalah temanku pertama di kampus.
"Habis, lo kok malah molor lagi, katanya mau nunggu aku siap mandi,"
"Apa sih Bil, gue masih ngantuk. Gue sebenarnya tidak ada jadwal masuk hari ini tapi itu si Bowo ngajak gue keluar pagi-pagi ini, gila kan??" ujarnya seperti orang berceloteh dalam mimpi.
"Ciiee, romantis nye... Aku saja yang sudah 3 tahun belum ada tuh yang dekatin,"
Â
"Siapa yang mau dekatinmu, lihat saja gayamu, pakai rok bukan musik rock Bill,"
"Iya, sudah sekarang bangun cepat mandi sana," ku tarik dia langsung ke kamar mandi agar tidak banyak bicara ini anak.
Kadang-kadang benar juga apa kata Vina tadi tidak seperti wanita lainnya yang mahir berdandan dan hanya bedak dan parfum non alkohol yang ada di mejaku. Lipstik? Shadow? Atau tata rias lain akan menjadi aneh jika aku yang menggunakannya dan lebih baik aku tidak pakai alat itu. Lihat saja pagi ini seperti biasa aku memakai pakaian dinas ku, bukan pakaian PNS atau satpam. Ya apa itu, kaos dan celana jeans sebagai paket seragam utamanya dan kadang-kandang juga di selingin sweater tipis atau kemeja lengan panjang, sementara itu peralatan terakhir saat keluar rumah adalah sepatu kets putih dan karet gelang untuk mengucir rambutku.
"Wah... udah pukul 6 ni, bisa terlambat," Seperti ada roket ditubuhku gerakanku menjadi lebih lihai kalau sudah seperti ini. Aku bingung mau naik apa biar tidak telat, sejenak ku ingat si Vina tidak pakai mobil klasiknya pagi ini. Tapi sama saja menurutku terjebak macet juga, kalau menggunakan metromini sudah pasti telat.
Kerut dagu, menggaruk kepala, dan kerut dahi hanya itu yang kulakukan agar bisa keluar ide. Secepat kilat menyambar ide hasil kerutan dahi memutuskan perkara sidang pagi ini untuk sampai ke kampus sebelum Jam 7 tepat adalah dengan menaiki ojek. Pas, entah kenapa si ojek itu singkron dengan pikiran tanpa pikir panjang ku naiki tu ojek.
"Mau kemane neng? Kayaknye buru-buru ni!" ujar si tukang ojek
Â
"Iya ni pak, ke kampus ISIIP bisa sampai sebelum pukul 7 gak?"
"Oke deh, neng"
Tarikan gas si tukang ojek ini langsung melejit sepersekian detik dan si motor bebek berubah layaknya motor balap di sirkuit sentul. Seakan badanku tertarik ke belakang oleh angin karena kecepatan yang begitu tinggi dengan cepat tangan ku memegang besi yang ada di jok motor, betul saja si tukang ojek tidak melewati jalan protokol seperti jalan biasa dan dia melewati jalan tikus di antara lorong-lorong dan dusun dam itu sangat cerdas, mungkin dia sudah ahli didalam bidang kepepet untuk sampai ke lokasi tujuan.
Â
***
Hanya 45 menit aku udah sampai di kampusku, karena takut telat aku lekas beranjak untuk ke kelas tapi pandangan entah kenapa terfokus ke bangku dibawah kantin tempat nongkrong pak satpam tapi seberkas terlihat si Yuda udah nongkrong aja disitu. Kenapa ini anak padahal hari ini setahu ku dia tidak ada masuk kelas, "Yud, pagi. Bukannya lo tidak ada masuk hari ini ya?" wajahnya pagi ini begitu aneh dan tidak seperti biasanya.
Yuda ini merupakan satu geng denganku bukan geng motor tapi geng lupis karena sama-sama pecinta lupis di kantin kampus. Lupis itu makanan pulut berbentuk segitiga dengan perasanya gula merah cair, rasanya gila. Penghuninya ada aku, Vina si pikun asli Jakarta, Yuda penggemar berat Vina, asli Jakarta, dan satu lagi pria lemah gemulai Dora atau di KTP-Nya tercantum nama Dedi Atmaja, katanya sih asli Bali tapi dari namanya gak ada unsur Bali sedikitpun seperti aku juga tidak jelas akan suku hanya Ibuku yang asli Jawa. Ayahku biarpun dari Medan tapi tidak ada Marga dibelakang namanya.
"Bil, Vina mana?" ujar Yuda, pergi sama Bowo.
"Ada apa, kenapa lo?"
"Tidak apa, Cuma..."
"Duluan ya, aku takut terlambat Yud, aku sudah absen 3 kali matakuliah ini," ku samba raja selagi dia garuk-garuk kepala.
***
Â
Siang ini terik matahari begitu menyengat sampai ke kerongkongan, aku segera ke kantin untuk mencari minuman pelepas dahaga sekalian aku ada perlu penting dengan Vina. Aku mutar-mutar di kantin karena kantin samping kampus ku ini merupakan tongkrongan geng aku dan Vina. Semut pun seperti hendak menertawakan ku saat aku sadar bahwa si Vina pergi sama Bowo, kenapa pula aku bisa jadi pelupa gini. Otak ku kali ini harus bekerja ekstra dan ilmu kepepet itu keluar lagi kali ini. Kecepatan angin mungkin kalah dengan kecepatan kerja otakku kalau lagi seperti ini, aku tiba-tiba ingat si Dora. Nah, dia pasti ada di agency modelnya, karena dari tadi tidak ada terlihat dikampus. Aku langsung beranjak ke kantornya. Dora disana sebagai instruktur foto.
"Dora.... Kemana aja lo kok uda jarang ke kampus?"
"Ia ni Bil, lagi banyak deadline foto. Ada apa nek datang kesini? Mau gue dandani?" Ia melirik ke diriku dari atas sampai bawah.
"Enggak enggak mau... jangan lirik gitu napa Dor, aneh ya?"
"Gaya lo dari dulu begini aja, berubah sedikit," Ia mulai mutar-mutar disekelilingku.
"Bentar, ini masalahnya," di tarikknya karet gelang dari rambutku.
"Lo itu cantik, rambut lo bagus. Jangan dikucir pake ginian," aku hanya bisa melihat rambutku jatuh dibahuku.
"Dora! sekarang bukan saatnya untuk dandani aku. Aku lagi buru-buru, keluargaku hari ini datang,"
Â
"Apa nek. Bapak dan Ibu lo datang??"
"Iya, jam 2 ini mereka sampai tapi aku tidak tahu mau jemput pakai apa?" aku hanya bisa tertuduk, dalam hatiku ini adalah trikku karena si Dora sangat anti mobilnya dipakai orang, bukan pelit tapi takut kotor.
"Aduh Bil, kenapa tidak bilang dari tadi. Yaudah pakai mobilku saja. Bawa mereka jalan-jalan sana," dari ekspresinya terlihat dia terkena sentuhan kali ini.
"Betul ini Nek?? Aduh... terima kasih kali ya. Lo memang sahabat yang baik,"
"Tapi ingat, jangan kotor. Kalau kotor tidak ada lagi pinjam-pinjam," masih aneh saja si anti kotor ini.
"Iya deh, yasudah aku cabut dulu,"
Hari ini aku begitu senang, pasalnya ini pertama kalinya mereka kesini, katanya sekalian mengajak adikku liburan. Aku sendiri balik ke Jambi hanya sekali yaitu pada saat lebaran pertamaku menjadi mahasiswa selebihnya hanya telpon untuk berbicara kepada mereka. Biaya juga sedikit menjadi kendala jika pulang tapi sebenarnya aku ingin seperti Ayah, seorang perantau yang berjuang keras dikota pengap ini, begitu juga aku meskipun aku seorang wanita. Ayah pernah berkata "Orang Medan pantang pulang sebelum sukses akan dirinya sendiri, bukan harta," mungkin petisan kalimat itu salah satu bagian semangatku di Ibu kota ini.
Bagiku tidak ada satu pun hal yang ku lakukan tanpa dukungan keluargaku, adikku Mahara dan Cinta seperti kedua bola mataku, tanpa mereka aku tidak dapat melihat indahnya dunia, sedangkan Ayah dan Ibu bagaikan jantung dan darah didalam tubuhku, bagaimana jantung memompa darah untuk dialirkan ke seluruh tubuh. Apabila salah satunya memiliki masalah maka manusia itu diambang kehancuran jiwa. Kesatuan hati ini yang membuatku selalu rindu dengan mereka, didalam malam yang sunyi hatiku hampa, beku, diam seakan ada yang menekan relung hatiku dan jika puncak kerinduan itu datang hanya berdoa kepada sang pemilik rindu itu yang dapat aku lakukan.
Â
***
Â
Perjalanan menuju bandara seperti ada perayaan besar, kemerihan dimana-mana dan aku ditengahnya menjadi objek tontonan, Jakarta disulap dalam sekejap menjadi Disney. Tak ku perhatikan mobil-mobil didepan seakan kalau bisa ada pedal gas untuk terbang, ku terbangkan mobil ini dan jika ada karpet terbang yang bisa dinaiki mobil ku ini akan ku sewa karpet terbang punya aladdin. Semua itu hanya gambaran hatiku yang terlampau senang dan ingin cepat bertemu dengan mereka.
Â
"Ayah, udah sampai bandara?" aku menghubungi Ayah dari telepon.
Â
"Amandla! baru saja ayah sampai. Kamu dimana sekarang?"
Â
"Alhamdulillah, iya kakak lagi dijalan bentar lagi sampai bandara. Oke Yah tunggu kakak disana ya," Â Hanya Ayah dan Ibuku yang fasih dan pas memanggil namaku Amandla, selain dari mereka hanya akrab dengan nama Nabillah. Aku tidak suka teman-teman ku memanggil akhir namaku itu, karena dapat dipastikan salah menyebutkan. Ada yang menyebutnya Amanda kekurangan huruf 'l' dan ada yang menyebutkan 'Amandla' seperti pengucapan bahasa Indonesia sampai ada jahil menyamakan namaku dengan 'amandel', itu kan penyakit. 'Amandla' dengan sedikit aksen Inggris British bukan Amerika, tapi di keluargaku sendiri aku sering dipanggil kakak.
Â
Pria memakai kemeja kotak-kotak yang hampir berkepala lima umurnya dengan seorang bidadari berumur 35 tahun duduk dikursi besi itu dengan malaikat kecilku itu berumur 8 tahun tapi adikku Mahara kok tidak ada disitu apa tidak ikut. Setiap langkahku ke depan seperti ingin memecahkan sebuah bola rindu yang membelenggu hatiku dan ingin segera kulepaskan dan kupecahkan.
Â
"Kakak..... kakak.....," adikku berlari dan mendekat tubuhku.
Â
"Cinta sayang.... Cinta sehat?" saat itu kueratkan tubuhku seakan tidak ingin kulepas genggamanku.
Â
"Amandla... kamu sehat kan nak?" seperti kuatnya akar pohon bakau yang menanjap dipinggir pantai sekan tidak berguna karena genggaman hatiku saat memeluk mereka mampu memecahkan kerusuhan hatiku.
Â
"Kakak sehat kok yah, ibu sehat juga kan?" tidak perlu mereka menjawab sehat atau tidak, karena sesakit apapun mereka hanya kata sehat yang bisa terucap untuk anaknya. "Iya, Ibu dan Ayah sehat kok," cetus Ibu ku saat itu.
Â
"Kakak! Adiknya yang satu ini kok tidak peluk, hah?" saat itu suaranya terdengar seperti Mahara tapi agak berbeda saat aku terakhir mudik 2 tahun lalu. Tiba-tiba tangannya mendekap bahuku dan aku terkejut, kupalingkan wajahku kebelakang dan seorang remaja setinggi ku dengan menunduk dengan topinya. Aku tidak mengenal siapa dia, Mahara tidak mungkin setinggi ini, dia kan masih 15 tahun.
Â
"Treenngg,.. Kakak!! Ini Mahara," saat dia mengangkat wajah dan topinya saat itu seperti rinduku ku pecah seketika, aku sedikit tidak percaya wajahku seperti membeku diam. "Kakak... kok diam. Peluk dong adiknya," tangannya dibuka lebar untuk menyambut pelukan kakaknya.
Â
"Mahara... adikku! Kau nya ini, sehat kau kan dek?" kupeluk dan kupegang wajahnya sambil memiringkan kepalnya seakan masih bingung dia adikku. "Kakak! Iya ini Mahara. Ini lihat tanda lahir adik," tanda lahirnya yang ada dipunggungnya benar ada saat dia membuka kaosnya.
Â
"Iya, kakak udah percaya. Sekarang kita cari makan enak, pada lapar semua kan?"
Â
"Boleh juga, laper aku ini kak," sahut Mahara dengan wajah yang berlagak belum makan 2 hari saja.
Â
To Be Continue....
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H