Mohon tunggu...
Bayu Muhammad Noor Arasy
Bayu Muhammad Noor Arasy Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Menulis tentang isu-isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang sedang berkembang di tanah air.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Indonesia Harus Bersuara mengenai Ketegangan Laut di Tiongkok Selatan

23 Mei 2024   12:32 Diperbarui: 23 Mei 2024   16:08 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sengketa di Laut Tiongkok Selatan (LTS) menjadi panas baru-baru ini di perairan Filipina. Beberapa waktu terakhir, kapal penjaga pantai Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menunjukkan sikap yang agresif terhadap kapal-kapal Filipina di Beting Scarborough yang bersengketa. Hal itu meningkatkan ketegangan di wilayah yang mana ketenangan dan kedamaian sangatlah rapuh dan seharusnya dijaga oleh semua pihak.

Sejak akhir 2023, Filipina terlibat dalam serangkaian insiden dengan RRT yang menunjukkan sikap agresif di LTS. Kapal-kapalnya telah ditembak senapan air dan ditabrak oleh kapal penjaga pantai Filipina. Lanjut ke bulan-bulan pertama 2024, kapal-kapal Filipina yang berlayar di sekitar Beting Scarborough dan Second Thomas terus diusik oleh kapal-kapal penjaga pantai RRT.

Wilayah perairan tersebut diklaim oleh RRT sebagai bagian dari Sembilan Garis Terputus (SGT) yang merupakan kawasan tradisional penangkapan ikan oleh nelayan-nelayan mereka. Sebenarnya, klaim tersebut sudah ditolak oleh pengadilan internasional di The Hague ketika melakukan arbitrase antara Filipina dan RRT pada 2016 silam. SGT dinilai tidak sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982 yang mengatur pergaulan internasional di laut.          

Dengan menempatkan kapal-kapal penjaga pantainya dalam posisi agresif, RRT ingin mengubah status quo yang tengah dipertahankan Filipina, yaitu wilayah yang disengketakan tidak berada di bawah kekuasaan mereka. Beijing menyadari tidak mungkin bisa mengambil alih wilayah yang mereka klaim sebagai SGT secara legal. Di sisi lain, perang dengan Filipina bukanlah suatu opsi. Sehingga, mereka mengganggu kapal-kapal Filipina dengan harapan membentuk suatu fait accompli, dan membuat Filipina mengakui keberadaan mereka di LTS secara de facto.  

Tindakan-tindakan RRT telah mengakibatkan kerusakan kapal-kapal Filipina. Beberapa awak kapal Filipina juga mengalami luka-luka.

Insiden-insiden tersebut, yang terjadi secara berulang kali hingga bulan-bulan berikutnya telah diprotes Filipina. Presiden Filipina, Ferdinand 'Bongbong' Marcos Jr. menyebutkan negaranya perlu sudut pandang baru dalam menghadapi sengketa di LTS. Manila juga telah melayangkan 'protes terberat' mereka kepada Beijing. Diplomat RRT sudah dipanggil untuk membahas kejadian-kejadian yang melibatkan senapan air dalam ketegangan antara kapal-kapal Filipina dengan RRT.

Beriringan dengan itu, Filipina juga semakin menunjukkan sikap yang lebih tegas menghadapi ancaman terhadap keagresifan RRT. Mereka telah memperkuat perjanjian pertahanan bersama dengan Amerika Serikat (AS). Filipina juga melakukan berbagai latihan gabungan dengan AS, Australia, dan Jepang.

Kendati memanasnya keadaan di sana, tidak banyak pihak di kawasan yang terdampak bersuara. Sejauh ini, hanya Manila yang menyampaikan protes keras terhadap sikap RRT. Suara mereka bagaikan kebisingan di tengah-tengah kesunyian yang dalam. Negara-negara tetangganya, yang menjadi bagian dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menunjukkan ketidakacuhan yang sulit untuk diabaikan.

Jalan Buntu Diplomasi

Sebetulnya, pemerintah Indonesia telah berkomentar. Tapi tanggapan mereka jauh dari sikap tegas yang membela posisi Filipina dalam ketegangan yang terbaru dengan RRT. Jakarta hanya menekankan pentingnya semua pihak untuk menyepakati code of conduct (CoC) di LTS. Dan pentingnya membangun kepercayaan semua pihak dalam rangka menangani konflik di kawasan tersebut.

CoC yang dimaksud merupakan suatu mekanisme yang dikembangkan dari Code for Unplanned Encounters at Sea (CUES). Dahulu, hal tersebut dibentuk untuk menyediakan hotline komunikasi yang akan digunakan apabila terjadi keadaan panas di LTS. Sempat tertunda karena pandemi Covid-19, CoC kini terus dibahas oleh ASEAN dan RRT.

Awal bulan ini, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia, Hadi Tjahjanto, seorang mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), menyerukan semua pihak untuk menahan diri melakukan aksi-aksi yang provokatif.

"Kita harus terus menyerukan agar semua pihak menahan diri dari aksi yang dapat memicu insiden, menjaga status quo, serta menggunakan cara-cara non-kekerasan dan perundingan damai yang berdasarkan norma hukum internasional, utamanya UNCLOS 1982," ujarnya dalam acara Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bulan Maret tahun 2024.

Tapi, Jakarta belum memberikan respons yang lebih tegas terkait dinamika persengketaan Filipina dan RRT yang sedang memanas di LTS.

Posisi tersebut memang konsisten dengan posisi Indonesia, terutama seperti yang diungkapkan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia. Pejambon telah berulang kali menekankan bahwa Indonesia bukanlah negara yang memiliki sengketa di LTS, atau non-claimant. Salah satunya disampaikan oleh Menlu Retno Marsudi ketika Indonesia bersitegang dengan RRT pada 2016 silam.

Mirisnya, pernyataan Retno keluar menanggapi insiden masuknya sejumlah kapal nelayan asal RRT ke ZEE Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan ilegal selama beberapa bulan. Seolah-olah, Beijing tidak mempedulikan status Indonesia sebagai non-claimant state.

Pihak berwenang Indonesia langsung mengambil tindakan dengan menyita kapal nelayan RRT dan menahan awaknya. Tapi dalam satu kejadian terjadi kontak fisik ketika kapal penjaga pantai RRT ikut campur dan menabrak kapal nelayan yang sedang dibawa ke Pulau Natuna untuk dibebaskan dari penahanan Indonesia. Aksi pihak RRT dikecam Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebagai tindakan yang arogan.

Sementara itu, RRT memprotes penangkapan nelayan-nelayan mereka yang telah menangkap ikan secara ilegal di ZEE Indonesia. Dalam kasus ini, RRT menegaskan nelayan mereka memancing di wilayah tradisional penangkapan ikan mereka dan tidak masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia.

Protes-protes dari pemerintah disusul dengan kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pulau Natuna untuk mengadakan rapat kabinet di atas kapal perang. Setelahnya, aktivitas Angkatan Laut (AL) Indonesia berpatroli menghadapi infiltrasi-infiltrasi kapal RRT di perairan Natuna meningkat. Sebuah tindakan dramatis untuk mempertegas kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut.

Insiden Terus Berlanjut

Tidak berhenti di situ, RRT juga melanggar kedaulatan Indonesia di tengah-tengah pandemi Covid-19. Pada akhir 2020, Kapal penjaga pantai RRT memasuki dan berkeliaran dalam ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.

Keadaan menjadi tegang ketika kapal Bakamla, KN Pulau Nipah-321 mencoba untuk mengusir kapal berbendera RRT tersebut. Alih-alih langsung meninggalkan kawasan, mereka malah mengklaim sedang berpatroli atas wilayah tradisional RRT sesuai dengan SGT.

Sebagai respons atas insiden tahun 2020, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengeluarkan nota keberatan terhadap RRT. Sekaligus, Indonesia menegaskan Indonesia menolak klaim SGT Tiongkok karena bertentangan dengan UNCLOS 1982.

Jadi, penegasan kalau Indonesia merupakan non-claimant state atas LTS tidak ada artinya secara de facto. Dan kedaulatannya di perairan Natuna Utara tetap dilanggar oleh RRT yang masih berkukuh kepada klaimnya.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Indonesia bersama Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bernegosiasi dengan RRT untuk membuat CoC Framework. CoC tersebut merupakan pengembangan dari CUES yang dibuat untuk mengadakan hotline komunikasi. Hal itu akan digunakan apabila terjadi keadaan darurat di LTS melibatkan pihak-pihak yang bersengketa.

Sempat tertunda karena pandemi Covid-19, CoC kini terus dibahas oleh ASEAN dan RRT. Pada 2023, mereka sepakat untuk mempercepat proses negosiasi CoC, tapi belum juga rampung hingga kini.

Kendati perkembangan tersebut, Indonesia tidak bisa berlindung terus di balik statusnya sebagai non-claimant state. Dan harus merespons pelanggaran-pelanggaran kedaulatan oleh RRT secara tegas.

Bukan karena pelanggaran-pelanggaran RRT kini terjadi atas wilayah sengketanya dengan Filipina, maka Indonesia bisa merasa aman dari konflik yang terjadi jauh dari perbatasannya. Sebab, pelanggaran RRT terhadap kedaulatan Filipina juga mengancam kedaulatan Indonesia.

Belajar dari Ukraina

Jika ada satu pelajaran terpenting yang diberikan oleh invasi Rusia ke Ukraina 2022 silam, maka itu adalah dampak dan keterhubungan konflik tersebut dengan keamanan negara-negara di sekitarnya.

Satu kesamaan yang menjadikan serbuan Rusia ke Ukraina bisa dibandingkan dan dipelajari oleh pihak-pihak di Asia Tenggara dalam menghadapi sikap agresif RRT adalah penyebab terjadi perangnya.

Konflik antara Rusia dengan Ukraina bisa dilacak sampai 2014, ketika Moskow menggunakan taktik-taktik gray zone dengan mendukung separatis-separatis di wilayah Timur Ukraina untuk merebut dan menduduki Semenanjung Krimea. 

Rusia mengklaim telah menguasai Krimea lebih lama daripada Ukraina. Presiden Vladimir Putin dalam pidatonya pada 2014 menekankan wilayah tersebut merupakan 'sumber spiritual' bangsa dan negara Ukraina. Ia mempertegas hubungan kerohanian itu dengan mengungkit pembaptisan Pangeran Vladimir di Herson pada zaman dahulu. Sehingga, Moskow membenarkan penyerbuannya ke Ukraina sebagai upaya reunifikasi untuk memperbaiki pemisahan Krimea dari Rusia yang dianggap tidak adil. Salah satunya dengan menerjunkan pasukan khusus Rusia yang tidak menggenakan seragam atau tanda pengenal militernya, mereka dikenal sebagai 'little green men,'untuk bajunya yang berwarna hijau.

Taktik serupa dilakukan oleh RRT yang mengerahkan kapal-kapal penjaga pantainya, sebuah kekuatan non-militer untuk mengganggu negara-negara di LTS demi mengubah status quo perbatasan yang ada di kawasan tersebut. 

Dalam rangka merebut Krimea, Moskow tidak menggunakan kekuatan milite Rusia secara langsung. Tapi seperti yang telah disinggung, mereka mendukung gerakan-gerakan separatis di Ukraina. 

Seperti Rusia, RRT juga memajukan klaim mereka atas wilayah di LTS berdasarkan klaim-klaim historis yang bertentangan dengan hukum internasional dan perbatasan negara-negara modern. Beijing memandang bahwa wilayah-wilayah di LTS yang jatuh ke dalam SGT, seperti Beting Scarborough dan sebagian dari Laut Natuna Utara merupakan kawasan tradisional penangkapan ikan nelayan-nelayannya.

Pada 2022, Rusia meningkatkan skala konfliknya menjadi operasi spesial yang sebenarnya merupakan serbuan penuh terhadap Ukraina. 

Aksi tersebut dibenarkan oleh Rusia, salah satunya, untuk menentang masuknya Ukraina ke dalam aliansi militer Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Ini merupakan satu lagi kemiripan antara persengketaan antara Rusia dengan Ukraina dan RRT dengan beberapa negara di LTS. Ukraina yang semakin merasa terancam oleh sikap Rusia mewacanakan untuk bergabung dengan NATO, jika terwujud maka akan mengamankan Kiev tapi membuat Moskow merasa terancam. Di LTS, Filipina yang semakin merasa terancam memperbarui pakta pertahanan mereka dengan AS. Pakta tersebut mengizinkan Washington untuk membangun dan menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Filipina untuk keperluan militer.

Kini, perang di Ukraina telah berlangsung selama lebih dari dua tahun. Sampai dengan Februari 2024, Kantor Pengawasan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Ukraina telah merekam kematian lebih dari 30 ribu warga sipil dalam konflik tersebut. Serbuan Rusia juga telah mengakibatkan kerusakan sebesar $152 miliar di Ukraina sejak dimulai.

Tapi perang tersebut tidak hanya berdampak kepada Ukraina. Negara-negara di sekitarnya turut merasakan ancaman dari agresi Rusia yang sedang berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, kekhawatiran akan perang di Ukraina meluas nyaris menjadi kenyataan.

Salah satunya ketika misil Rusia masuk ke wilayah udara Polandia selama beberapa saat sebelum kembali mengarah ke Ukraina pada akhir tahun 2023. Pemerintah Polandia memanggil perwakilan Rusia untuk meminta keterangan.

Perang tersebut juga membuat khawatir ibu kota-ibu kota di Eropa akan sejauh apa dan mana agresi Rusia untuk memenuhi ambisi perluasan wilayahnya.

Beberapa negara di Eropa Timur dan kawasan Baltik khawatir mereka akan menjadi korban berikutnya dari serbuan Rusia jika Moskow dibuat lebih berani oleh keberhasilan mereka di Ukraina.

Presiden Polandia, Andrzej Duda memperingatkan Rusia bisa menyerbu negara-negara lainnya jika mereka memenangkan perang di Ukraina.

"Kami adalah negara yang telah diperbudak Rusia beberapa kali. Jika Rusia menang perang di Ukraina, ia akan menyerang sekali lagi. ia akan menyerang negara-negara lain," kata Duda. Oleh karena itu, "Mereka harus dihentikan. Mereka harus dihalangi. Mereka harus dihukum," lanjutnya.

Indonesia Juga Terancam

Melihat adanya kemiripan antara kasus sengketa Rusia-Ukraina yang berujung dengan serbuan Rusia pada 2022 dan sengketa RRT dengan beberapa negara di kawasan LTS, kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa negara-negara di LTS, termasuk Indonesia akan terancam oleh ketegangan-ketegangan yang terjadi di wilayah tetangganya. 

Tidak ada jaminan kalau ketegangan antara Beijing dengan Manila semakin besar maka baik kapal RRT maupun Filipina tidak akan mengganggu keamanan dan mengancam kedaulatan Indonesia di kawasan perairan terdekatnya, yaitu Laut Natuna Utara. Konfrontasi-konfrontasi antara mereka akhir-akhir ini menjadi petunjuk yang suram akan potensi sengketa RRT dan Filipina semakin memanas di kemudian hari. Dan seperti Polandia, Indonesia mungkin sewaktu-waktu harus menghadapi insiden-insiden bersifat militer di dalam perbatasannya.

Dan menimbang adanya klaim RRT atas sebagian wilayah di Laut Natuna Utara, Indonesia juga sebetulnya tidak mengetahui sejauh apa dan mana Beijing akan mendorong agenda perluasan teritorialnya. Masuknya kapal-kapal RRT pada 2016 dan selama Covid-19 ke Laut Natuna Utara sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa Beijing ingin membangun kehadiran di wilayah tersebut. Jadi, Indonesia tidak bisa tidak melihatnya sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara di wilayah yang disengketakan.

Oleh karena itu, kurangnya respons yang tegas dan berarti dari negara-negara di sekitar Filipina menyikapi insiden yang terjadi akhir-akhir ini, seperti yang disinggung di awal, sangatlah mengkhawatirkan.

Tidak adanya respons yang diharapkan dari ibu kota negara-negara di kawasan LTS bukanlah masalah dalam dirinya sendiri. Tapi dampak dari diamnya tersebut terhadap sikap RRT yang menentukan bagaimana permasalahan yang ada akan berkembang ke depannya.

Satu pesan yang diberikan oleh kesunyian yang melanda negara-negara di kawasan LTS terhadap sikap agresif dan pelanggaran-pelanggaran RRT adalah bahwa mereka menerima fait accompli Beijing. Negara-negara di kawasan, yaitu anggota ASEAN, termasuk Indonesia memperlihatkan diri menerima, atau sekurang-kurangnya tidak mampu menghadapi tantangan RRT. Oleh karena itu, RRT bisa terus menjalankan agenda perluasan wilayahnya, meskipun itu dilakukan secara de facto melalui taktik-taktik gray zone.

Lagi-lagi, banyak negara di Eropa telah menunjukkan bahwa respons bersama untuk menjaga keamanan di kawasan dan kedaulatan masing-masing negara sangatlah penting. Tapi mereka baru menyadari itu ketika Rusia menginvasi Ukraina setelah bertahun-tahun menciptakan ketegangan dengan menduduki Krimea. Apakah Indonesia dan negara-negara lainnya di kawasan LTS harus menunggu RRT menginvasi Filipina terlebih dahulu untuk menyadari itu?             

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun