"Motornya lagi Bapak sekolahin. Memangnya kamu saja yang mau pintar. Sekarang kamu daftar ulangnya naik kendaraan umum saja ya," jawab Bapak.
Astaghfirullah. Aku langsung tersadar dan mengetahui darimana uang ini berasal. Uang yang kupegang sekarang adalah uang hasil gadai motor milik Bapak. Ternyata inilah rezeki yang dimaksud oleh Bapak. Aku merasa sangat berdosa karena marah sama Bapak tempo hari dan menuduhnya sebagai seorang pembohong.
Tidak!
Bapak bukan pembohong. Bapak telah menepati janjinya meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Aku menjadi malu atas perbuatan yang kulakukan kepada Bapak. Air mata pun tak kuasa kubendung dan mengalir begitu saja.
Aku langsung teringat perkataan Bapak tempo hari, "Maafkan Bapak ya, Nak." Bapak tidak salah, aku yang salah. Seharusnya aku yang bilang ke Bapak, "Maafkan aku, Pak." Kusampaikan permintaan maafku dengan pelukan erat sembari mengharap maaf dari Bapak.
"Sudah nggak apa-apa. Bapak nggak marah sama kamu kok. Cepat berangkat sana, keburu pendaftarannya tutup."
Padahal Bapak adalah sosok pemimpin keluarga yang paling baik sedunia. Bapak mau berkorban apa saja demi kebahagiaan keluarga. Mulai saat ini aku berjanji kepada diriku sendiri. Kelak suatu hari nanti aku harus menjadi seorang Bapak yang baik seperti dirimu.
#latepost
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H