"Pak, minta uang untuk membeli buku paket," pintaku di tahun ajaran baru.
"Pak, minta uang untuk jajan," rengekku sebelum berangkat ke sekolah.
"Pak, minta uang untuk bayar SPP bulan ini," ujarku setelah ditegur pegawai sekolah bagian Tata Usaha (TU).
"Pak, minta uang untuk mengerjakan tugas kelompok," kataku di saat mau membeli bahan-bahan untuk tugas mata pelajaran Kesenian itu.
Kegiatan sehari-hari yang kulalui memang banyak membutuhkan uang. Sehingga aku begitu sering meminta uang kepada Bapak. Namun, Bapak tidak pernah langsung memberi uang kepadaku.
Selang satu atau dua hari biasanya uang baru diberikan karena Bapak harus mencari pinjaman terlebih dahulu. Saat itu aku tidak mau ambil pusing memikirkan hal tersebut. Yang aku tahu adalah Bapak memberiku uang dan aku bisa memakainya untuk memenuhi semua kebutuhanku.Â
 Bapak bukan seorang pengusaha. Bapak juga bukan pejabat yang banyak uangnya. Bapak hanya seorang buruh pabrik di kawasan industri Jababeka. Ijazahnya yang hanya sampai SMP menyebabkan karir kerjanya mentok sampai di situ saja.
Bapak harus membanting tulang mencari nafkah siang dan malam. Tak kenal panas tak peduli hujan. Semua dilakukannya demi menghidupi 8 orang nyawa yang menjadi amanahnya. Dirinya sendiri, ibuku, aku, dan kelima orang adikku. Bisa dibayangkan betapa berat tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Bapak membeli sebuah rumah yang harus dicicil selama tiga puluh tahun. Rumah tipe 21 yang sangat sederhana, namun dibeli dengan penuh perjuangan. Bapak sampai menjual barang-barangnya untuk membayar uang muka rumah.
Aku bersyukur setidaknya sudah ada tempat berlindung bagi keluargaku. Selain itu, Bapak juga membeli sebuah sepeda motor yang tentunya dicicil juga. Kata Bapak supaya berangkat kerja bisa lebih mudah, cepat, dan hemat. Jadi, uang lebihnya bisa disimpan dan digunakan untuk kepentingan keluarga lainnya.
Bapak kadang-kadang marah sama anaknya karena saling berantem satu sama lain. Berebutan mainan, berebutan pakaian, berebutan sepeda, pokoknya apa saja yang ada di rumah bisa menjadi bahan rebutan. Maklum namanya juga enam bersaudara. Kalau sudah berkelahi, masing-masing orang sudah ada tandemnya. Tak ubahnya Perang Dunia Ketiga.
Namun, Bapak tidak pernah marah sama ibu. Memang ibu punya satu permintaan kepada Bapak. Ibu ikhlas jika harus hidup apa adanya. Yang penting Bapak jangan pernah memarahi ibu. Permintaan yang sangat sederhana, namun sarat makna.
***
Hari ini adalah pengumuman kelulusanku dari SMA. Alhamdulillah, aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Lumayan sebagai modal awal untuk mendaftar kuliah ke perguruan tinggi. Setidaknya membuatku lebih percaya diri dalam menghadapi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) nanti.
"Pak, Bu, Rino mau kuliah ya," pintaku kepada kedua orangtua yang kebetulan sedang duduk-duduk santai di teras rumah.
"Memang kamu mau kuliah di mana, Nak?" tanya ibu.
"Kuliah di IKIP, Bu. Aku mau jadi guru," kataku seraya mendekat dan duduk di samping mereka berdua.
 "Kamu itu anak yang pintar. Dari SD sampai SMA selalu mendapatkan peringkat 3 besar. Sayang sekali kalau tidak dilanjutkan ke bangku kuliah. Kapan pendaftarannya?" tanya Bapak.
"Besok sudah bisa, Pak. Jadi...," sambungku, "Jadi, Rino boleh kuliah, Pak?"
"Kalau memang itu baik untukmu. Jalani saja," kata Bapak.
"Terimakasih, Pak. Sekarang kalau ibu sendiri bagaimana?" tanyaku kepada ibu yang duduk di sebelah Bapak.
"Ibu ikut keputusan Bapak saja. Bapak pasti sudah mempertimbangkan baik buruknya. Kamu juga kalau nanti sudah kuliah, maka kuliahlah yang rajin. Raih prestasi sebaik mungkin. Jangan mengecewakan bapak dan ibumu," jawab ibu.
"Insya Allah, Bu." Aku bersyukur dalam hati.
"Rino ke rumah Rahman dulu ya. Mau minta formulir pendaftaran." Aku minta izin pergi dan langsung mencium tangan bapak ibu. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaykumussalam." Bapak dan ibu menjawab salam dengan serempak.
Selepas aku pergi, ternyata ibu masih mempertanyakan keputusan bapak.
"Masalah uang tidak usah dipikirkan, nanti Bapak akan bekerja lebih giat lagi. Bapak kan bekerja memang untuk memberi nafkah untuk keluarga, termasuk memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita." Bapak pun mencoba untuk meyakinkan ibu.
***
Hari ini pengumuman SPMB. Aku membeli koran Pos Kota yang memuat pengumuman tersebut. Kubuka halaman demi halaman koran dengan pelan-pelan. Hatiku deg-degan tak karuan. Harap-harap cemas. Aku cari namaku di antara ribuan nama yang tertera di situ. Sudah lima belas menit lamanya aku mencari. Namun, namaku tak jua ditemukan. Ya Allah, luluskanlah hamba-Mu ini.
Setelah aku hampir putus asa mencari, akhirnya namaku ditemukan.
MUHAMMAD RINO BASTIAN
Sekali lagi aku coba baca ulang nama itu. Takut salah lihat. Tetapi tidak. Itu memang benar namaku! Kuhaturkan syukur yang mendalam kepada Allah Swt. yang telah mengabulkan doaku. Aku serasa menemukan setitik cahaya terang di balik kegelapan malam. Bapak ibu juga merasa senang atas keberhasilanku lulus SPMB. Aku sudah membayangkan kuliah di kampus IKIP, markas pencetak kader para guru.
Esok harinya aku bersama Bapak langsung menuju kampus IKIP untuk melakukan pendaftaran ulang. Sepeda motor milik Bapak menemani kami berdua menyusuri lika-liku jalan di Jakarta. Aku yang mengendarai motornya dan Bapak yang membonceng di belakang sebagai penunjuk jalan.
Sesampainya di sana ternyata sudah banyak calon mahasiswa yang sedang melakukan pendaftaran ulang. Aku dan Bapak ikut mengantri ambil bagian. Setelah sampai giliranku, bagian administrasi daftar ulang mengecek kembali persyaratan yang telah kubawa. Persyaratan sudah lengkap, tetapi aku diharuskan membayar daftar ulang sebesar lima juta Rupiah.
Kontan!
Padahal Bapak hanya membawa uang satu juta Rupiah saja dan hanya itu uang yang dimilikinya. Bapak pun melobi kepada bagian administrasi. Meminta keringanan dengan cara mencicil pembayaran.
Namun, permintaan Bapak tidak dapat dipenuhi. Bagian administrasi hanya memberikan perpanjangan waktu pembayaran daftar ulang. Aku merasa bingung dan sedih. Akhirnya Bapak mengajakku pulang ke rumah. Bapak mencoba untuk menghiburku di sepanjang perjalanan.
***
 "Bapak minta maaf sama kamu. Sepertinya kamu tidak jadi kuliah." Bapak memulai pembicaraan di ruang tamu malam itu.
"Bapak sudah bilang kalau membolehkan Rino kuliah dan Bapak juga yang telah meluluhkan hati ibu sehingga ibu juga mendukungku untuk kuliah. Sekarang kenapa Bapak malah bilang begitu?" Aku tidak terima dengan pernyataan Bapak.
"Bapak sudah berusaha mencari pinjaman untuk menalangi kekurangan biaya pendaftaran ulang, tetapi Bapak tidak berhasil mendapatkannya. Waktu tiga hari bukanlah waktu yang lama, Nak. Sekali lagi Bapak minta maaf." Raut muka Bapak memperlihatkan penyesalan yang mendalam.
"Bapak bohong. Katanya Bapak mau Rino kuliah. Sekarang kenapa jadi begini. Rino sudah bilang ke semua teman-teman kalau Rino akan kuliah. Rino sudah membangga-banggakan diri di depan mereka. Sekarang apa? Sekarang cuma malu yang tersisa! Mau ditaruh dimana muka Rino kalau ketemu mereka nanti!"
Aku membentak Bapak. Seorang Bapak yang sangat sabar dan jarang sekali marah padaku. Namun, kini aku telah memarahinya.
"Maafkan Bapak ya, Nak." Bapak tak kuasa menahan tangis. Aku tak peduli. Kekesalanku mengalahkan nalar sehatku. Aku pergi meninggalkan Bapak dan membanting pintu dengan keras.
***
Hari ini adalah hari terakhir daftar ulang dan aku tidak bisa melupakan kejadian tempo hari. Rasa kesal masih ada di dalam dada. Mimpiku untuk kuliah dan menjadi sarjana pupus begitu saja. Bagaikan debu yang hilang ditiup angin senja. Aku melamun tidak jelas. Ragaku di rumah, tetapi jiwaku entah berada di mana.
"Rino... Rino..." Tiba-tiba ada suara yang mengagetkanku. Bapak memanggilku sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
"Ada apa, Pak?" Aku menjawab dengan malas. Malas untuk keluar dan malas untuk bicara dengan Bapak.
 "Keluarlah sebentar, Nak. Ada hal penting sekali yang mau Bapak sampaikan."
  Aku pun merasa penasaran dan akhirnya memutuskan untuk keluar kamar.
 "Ini uang lima juta untuk daftar ulang." Bapak menyodorkan amplop berisi uang cash lima juta Rupiah.
Aku pun kaget dan melongo cukup lama dengan rasa penasaran yang semakin bertambah. "Kemarin katanya Bapak tidak punya uang. Ini uang darimana, Pak?"
"Alhamdulillah Bapak dapat rezeki. Sekarang cepat kamu daftar ulang. Ini hari terakhir kan? Tetapi, maaf Bapak tidak bisa menemani kamu."
Aku menerima uang tersebut dan bergegas pergi menuju kampus untuk daftar ulang. Aku mengambil persyaratan daftar ulang dan keluar rumah. Sejurus kemudian aku mendadak kaget karena motor tidak ada di halaman rumah seperti biasanya.
Aku bertanya kepada Bapak, "Motor kita mana, Pak?"
"Motornya lagi Bapak sekolahin. Memangnya kamu saja yang mau pintar. Sekarang kamu daftar ulangnya naik kendaraan umum saja ya," jawab Bapak.
Astaghfirullah. Aku langsung tersadar dan mengetahui darimana uang ini berasal. Uang yang kupegang sekarang adalah uang hasil gadai motor milik Bapak. Ternyata inilah rezeki yang dimaksud oleh Bapak. Aku merasa sangat berdosa karena marah sama Bapak tempo hari dan menuduhnya sebagai seorang pembohong.
Tidak!
Bapak bukan pembohong. Bapak telah menepati janjinya meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Aku menjadi malu atas perbuatan yang kulakukan kepada Bapak. Air mata pun tak kuasa kubendung dan mengalir begitu saja.
Aku langsung teringat perkataan Bapak tempo hari, "Maafkan Bapak ya, Nak." Bapak tidak salah, aku yang salah. Seharusnya aku yang bilang ke Bapak, "Maafkan aku, Pak." Kusampaikan permintaan maafku dengan pelukan erat sembari mengharap maaf dari Bapak.
"Sudah nggak apa-apa. Bapak nggak marah sama kamu kok. Cepat berangkat sana, keburu pendaftarannya tutup."
Padahal Bapak adalah sosok pemimpin keluarga yang paling baik sedunia. Bapak mau berkorban apa saja demi kebahagiaan keluarga. Mulai saat ini aku berjanji kepada diriku sendiri. Kelak suatu hari nanti aku harus menjadi seorang Bapak yang baik seperti dirimu.
#latepost
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H