Mohon tunggu...
Bayu Adi
Bayu Adi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Cogito Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perubahan Peran Agama di Masyarakat dalam Aspek Politik Ditinjau dari Teori Modernisme

24 Juni 2021   07:00 Diperbarui: 24 Juni 2021   12:40 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

I. PENDAHULUAN

Politik merupakan salah satu aspek terpenting yang berada di masyarakat. Politik identik dengan kekotoran yang ada di dalamnya khususnya yang berada di Indonesia. Politik berasal dari nama suatu judul buku Plato bernama “Politea” dan dilanjutkan oleh Aristoteles melalui karyanya bernama “Politica”.

Menurut Aristoteles, manusia ialah makhluk politik sehingga Aristotle menyebut manusia sebagai zoon politicon. Maksudnya ialah bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling mempengaruhi satu sama lain melalui interaksi mereka. Hal ini menurut Aristotle merupakan relasi politik. Aristotle menekankan “pengaruh” dalam pengertiannya. 

Manusia saling mempengaruhi satu sama lain dalam rangka memenuhi tujuannya masing-masing. Ketika seseorang mengajak orang lain untuk bergabung terhadap kelompok tertentu, hal itu bisa dibilang sebagai praktik politik oleh Aristotle. Politik merupakan suatu langkah untuk mendapatkan kekuasaan melalui konstitusional dan non-konstitusional. Dalam hal ini, upaya suatu individu/kelompok untuk mendapatkan kekuasaan bisa melui berbagai cara, baik bersih maupun kotor.

 Agama atau kepercayaan merupakan suatu peraturan yang dipegang oleh suatu individu dalam rangka baktinya terhadap Tuhan yang mereka percayai masing-masing. Fungsi agama tentunya agar membuat individu tidak salah dalam memilih arah hidup dan juga agar tidak menyimpang. Di dalam agama, terdapat suatu kitab yang digunakan sebagai pedoman mereka dalam menjalani hidupnya masing-masing. 

Sama halnya dengan kepercayaan, kepercayaan lain menggunakan media-media tertentu sebagai alat kepercayaan yang membuktikan baktinya terhadap Tuhannya pula. Tetapi bagaimana jika, suatu agama atau kepercayaan memiliki peran yang akhirnya membuat terobosan baru untuk memenangi suatu ajang politik tertentu? Hal ini mengakibatkan suatu perubahan sosial khususnya yang ada di Indonesia. Hal ini akan dibahas melalui fenomena agama yang akan dijelaskan nanti.

 Perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dari berbagai aspek yang ada masyarakat, dimulai dari sistem sosial yang di dalamnya berisi nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku hidup masyarakat. Aspek tersebut bisa dimulai dari sosial, ekonomi, transportasi, komunikasi, pendidikan, pemerintahan, ataupun norma. Namun, pada pembahasan yang akan disampaikan disini ialah politik. Karena aspek politik memiliki daya tarik yang unik agar aspek ini bisa dianalisis secara rinci.

 Modernisme merupakan suatu hal yang berbau modern. Modernisme merupakan hal-hal pembaharuan berbau modern. Berbeda dengan modernisasi, modernisme lebih menekankan terhadap aspek dan aliran-aliran keagamaan yang berasal dari doktrin umat kristiani dalam menyesuiakan pemikiran modern dan diimplemantasikan terhadap berbagai agama yang ada di dunia seperti Islam, Hindu, Buddha, dan Yahudi. Teori ini digunakan dalam pembahasan tentang agama karena Modernisme memiliki makna lain dari suatu hal bernama pembaharuan khususnya jika membahas hal yang bernama politik.

II. PEMBAHASAN

 Politik dan Agama

Setiap individu/kelompok dalam memenangkan atau ingin mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan contohnya melalui persaingan politik seperti Pemilu, Pilkada, Pilpres maupun Pilgub bisa menggunakan cara konstitusional ataupun non-konstitusional. Konstitusional merupakan cara resmi atau bersih yang biasa dilakukan seperti mengikuti alur yang ada, berkampanye, menyebarkan poster, mempromosikan diri melalui media cetak maupun digital sesuai dengan peraturan yang ada. 

Sedangkan cara non-konstitusional merupakan cara yang kotor dan tidak resmi seperti sogokan, bingkisan, hadiah, ataupun hak suara. Lantas, terkait judul tulisan diatas, dimanakah posisi agama? Apakah itu merupakan cara konstitusional atau non-konstitusional sehingga memunculkan istilah baru selain “politik uang” yaitu “politik agama”

Indonesia memiliki masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Dengan fakta ini, ada beberapa oknum tertentu yang secara tidak langsung memanfaatkan situasi yang ada di Indonesia untuk dijadikan suatu power baru dalam ajang persaingan politik nanti. Tentu, politik merupakan ajang kebebasan berpendapat bagi semua warga negara bahkan berkesempatan ikut andil dalam menyukseskan dan menentukan hasil keputusan politik nantinya. 

Ajang-ajang seperti Pemilu dan sebagainya merupakan wujud demokrasi yang diterapkan ke Indonesia, karena Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, agama, masyarakat, suku, ras, dan etnis. Apakah dengan hal ini, bergabungnya agama merupakan hal yang salah? Atau dengan begitu, setiap negara yang memiliki mayoritas agama tertentu bisa menjadikan alat untuk mencapai kekuasaan dengan mudahnya nanti jika lawannya merupakan agama minoritas yang ada pada negara tersebut?

Modernisme

Modernisme merupakan gerakan pemikiran yang melibatkan Islam ke dalam persoalan politik khususnya yang ada di Indonesia. Walaupun Modernisme pada dasarnya merupakan pemikiran barat, tetapi implementasinya dalam Islam masih menyesuaikan dan menyocokkan nilai-nilai yang sesuai dengan Islam. Tetapi dalam tantangannya, modernisme dihadapkan oleh beberapa tantangan. 

Pertama, golongan konservatif yaitu golongan yang tidak menerima adanya suatu perubahan atau kemajuan. Kedua, golongan sekuler, yaitu menganggap bahwa adanya pemisahan antara agama dan negara. Ketiga,  golongan pengkritik seperti Fazlur Rahman dan Ahmad Wahib bahwasannya modernisme Islam sebagai boomerang bagi Islam itu sendiri. Modernisme Islam pada akhirnya melupakan nilai-nilai yang ada bahkan meninggalkan nilai yang terkandung dalam Islam dan sepenuh berorientasi dengan barat. 

Terlepas dari itu, menurut Hassan Hanafie bahwa tulang punggung modernisme terletak pada rasionalisme, kebebasan demokrasi, pencerahan dan humanisme. Rasionalisme didasarkan pada bahwasannya setiap individu memiliki pilihan yang seharusnya ia ambil dalam keadaan tertentu agar ia bisa survive. Kebebasan demokrasi didasarkan bahwa modernisme membuat hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dahulu, hanya para raja-raja yang bisa memutuskan suatu tanpa berkompromi dengan rakyatnya. Hal itu merupakan cara kuno. 

Di zaman modern seperti ini, hal tersebut harus diubah dengan disesuaikan dengan keadaan yang ada dan sampailah pada kebebasan demokrasi akibat pengaruh modernisme yang merambat ke suatu ideologi, sistem pemerintahan ataupun sistem sosial. Pencerahan menandakan bahwa pemikiran kuno-kuno mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemikiran modern yang maju, berpengetahuan dan rasional. Humanisme menunjukkan bahwa masyarakat terdiri dari berbagai macam suku, ras, etnis, agama yang menjadikan masyarakat tersebut plural.

 Semua hal tersebut sesuai dengan pernyataan oleh Muhammad Abduh tentang modernisme Islam, dimana Islam tidak mengenal kekuasaan atas dasar agama. Pertama, Islam tidak memberikan mandat kepada siapapun untuk menindak orang lain atas nama agama atau Tuhan. Kedua, Islam tidak membenarkan campur tangan penguasa dalam urusan agama, Ketiga, Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan penafsirannya tentang agama. Jika disesuaikan, dengan agama-agama lain ataupun pada realita masyarakat yang ada, pembenaran atas agama tidak dibenarkan. Karena hal itu, bisa membuat konflik dan disfungsi agama sebagai peraturan yang menuntun manusia untuk berkehidupan sehari-hari berdasarkan pedoman kitab-kitab dari masing-masing agama.

Hubungan Agama, Politik dan Modernisme

 Modernisme membuat agama ikut serta dalam rangkaian politik yang terjadi, khususnya yang ada di Indonesia. Dalam tujuannya, Modernisme menginginkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan senantiasa bergerak ke arah yang lebih baik atau maju baik dalam hal pemikiran ke arah akal yang rasional dan logis, khususnya dalam politik. Tetapi, efek samping yang akhirnya membuat demokrasi di Indonesia menurut saya akhirnya tercederai dengan adanya politik agama yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta 2017 antara Basuki Tjahja Purnama dengan Anies Baswedan. 

Pada saat itu, agama dijadikan suatu power untuk menarik dukungan, simpati dan dorongan agar memenangkan calon nanti. Basuki memiliki agama Kristen yang merupakan agama minoritas yang terdapat di Indonesia, sedangkan Anies memiliki agama Islam yang merupakan agama mayoritas. Hal ini yang akhirnya membuat Anies secara fakta menang melawan Basuki dengan perolehan suara 57,95% berbanding 42,05%.

 Saat itu, masyarakat secara tutup mata atau tidak pastinya tidak bisa lari dari realita bahwa kasus kriminalisasi ulama yang dilakukan oleh Basuki membuat namanya akhirnya pudar di mata masyarakat, terlebih lagi ia memiliki agama yang minoritas. Anies merupakan orang yang akhirnya menjadi pilihan rakyat saat itu, karena selain ia memiliki pasangan yang humble dengan rakyat, yaitu Sandiaga Uno, mereka berdua memiliki agama Islam. Secara langsung bahwa, kampanye dilakukan atas dasar agama yang dimiliki oleh masing-masing paslon saat itu, bukan lagi berdasarkan visi dan misi dari maisng-masing paslon tersebut.

 Akhirnya, modernisme menuai kritik dari beberapa orang yang mulai percaya bahwa agama dan negara apalagi urusannya dalam politik harus dipisahkan karena bisa menimbulkan konflik yang ada. Pada dasarnya, agama dan politik merupakan hal yang saling berhubungan karena zaman dahulu, orang-orang yang beragama tidak menjadikan agama sebagai tameng ataupun power mereka dalam politik, tetapi agama digunakan sebagai panduan berpolitik agar tetap ingat etika dan norma yang sesuai dan dapat membedakan dengan yang tidak sesuai.

 Jadi, Apa Hubungannya dengan Perubahan Sosial di Masyarakat?

Perubahan peran agama yang tadinya membuat orang hidup sesuai dengan ketentuan yang ada di agama agar tidak tersesat dan menyimpang, pada akhirnya mulai merubah pada Pilgub DKI 2017. Jika dibandingkan dengan Pilgub DKI 2012, yang saat itu terseleksi hingga menyisakan Fauzi Bowo dengan lawannya yaitu Joko Widodo, saat itu bisa agama tidak sebagai suatu fondasi, melainkan masih murni dari visi dan misi mereka dalam membuat Jakarta berubah menjadi lebih baik. 

Tetapi dengan adanya Pilgub DKI 2017, agama pada akhirnya dijadikan sebagai Politik Agama yang mencederai demokrasi yang ada. Hal ini berkelanjutan ke Pilpres 2019, dimana saat itu Joko Widodo berpasangan dengan Maruf Amin. Hal ini menuai prasangka dan kritik terhadap beliau, karena lagi-lagi disini peran Maruf Amin bukan sebagai pendamping Joko Widodo, tetapi sebagai orang yang mewakili agama yang mayoritasnya yaitu Islam.

 Pada akhirnya, Modernisme tidak sampai menyampaikan maksudnya yang sebenarnya. Modernisme seakan-akan salah dimaknai oleh masyarakat. Modernisme menginginkan masyarakat yang intelek dengan membuat agama ikut ke dalam politik di masyarakat. Hal ini sesuai dengan Aristotle bahwa manusia adalah makhluk sosial bahkan bisa dibilang sebagai makhluk politik. Masyarakat pada akhirnya bisa dibuat memiliki pemikiran maju, logis dan rasional, apalagi dalam pemilihan-pemilihan seperti Pilpres, Pilgub, Pemilu ataupun Pilkada. Masyarakat ingin dibuat kritis pemikiran dalam membuat politik di Indonesia khususnya menjadi lebih baik dan bersih.

 Tetapi hal itu menjadi boomerang yang sangat sulit untuk dicari penyelesaiannya. Pada akhirnya nanti, agama hanya dijadikan suatu power bahkan ideologi bernama politik agama. Politik agama juga akhirnya memiliki kesalahan makna. Politik agama merupakan berpolitik berdasarkan ajaran agama yang diterapkan ke politik dalam membantu manusia untuk berpikir secara logis. Bukan agama dijadikan media sebagai alat bantu untuk memenangkan politik tertentu. 

Masyarakat akhirnya percaya bahwa tidak hanya politik uang yang bertindak atas kemenangan suatu paslon, melainkan politik agama yang saat ini memiliki kekuatan utama untuk memenangkan persaingan di ajang politik kedepannya. Kesannya, politik yang sudah identik kotor dengan menggunakan politik uang, akan ditambah tercemar lagi dengan politik agama.

III. PENUTUP

Agama merupakan peraturan yang membuat manusia hidup dalam keseharian yang sesuai dengan norma masyarakat. Baik agama atau kepercayaan apapun, pastinya mengajarkan hal-hal baik serta toleransi umat beragama agar tidak menimbulkan konflik yang terjadi. Politik merupakan alat untuk mencapai kekuasaan tertinggi. 

Untuk mencapai kekuasaan tersebut, ada beberapa cara yang harus dilewati oleh individu/kelompok baik secara resmi ataupun tidak resmi. Modernisme merupakan gerakan pemikiran yang memasukan unsur agama ke dalam politik. Modernisme menginginkan dengan masuknya unsur agama ke dalam politik, membuat masyarakat menerapkan ajaran-ajaran agama untuk dipakai dalam berpolitik baik dari tingkat kecil, menengah dan atas.

Tetapi, peran agama berubah pada akhirnya yang mempengaruhi perubahan sosial yang ada di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa dengan agama, apalagi itu mayoritas, membuat mereka bisa memenangkan dan membenarkan segala hal. Pada akhirnya, agama akan mengalami suatu disfungsi, dimana yang tadinya berpolitik atas dasar bimbingan agama berubah menjadi agama dijadikan suatu tiang kokoh atau tameng dalam rangka memenangkan persaingan di politik. 

Dengan begitu, modernisme yang tadinya akan membuat masyarakat maju secara modern dari hal berpikir secara akal rasional dan logis, jadinya tidak berhasil menyampaikan maksudnya. Politik akhirnya yang tadinya sudah tercemar akibat politik uang dan tangan kotor lainnya, kembali tertimbun akibat kesalahan konsep agama yang dituangkan ke dalam politik untuk kepentingan pribadi individu/kelompok  dan perubahan sosial terjadi dalam aspek politik di masyarakat.

REFERENSI:

Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012.

Orum, Anthony. Introduction to Political Sociology. New Jersey: Pretince-Hall, inc. 2015

Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group. 2007.

Firdaus. “Modernisme.” Jurnal Al-Qalam Vol. 10 No.1 (2018): 41-55

Fitria, Vita. “Menilik Perkembangan Pemikiran Politik Islam Masa Modern: Sebuah Pembacaan    Awal.” Jurnal Humanika Vol. 14 No. 1 (2014): 1-11

Hamidah. “Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid-K.H Abdurahman Wahid: Memahami Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam.” Jurnal Miqot Vol. 35 No. 1 (2011): 78-93

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun