Kalau boleh jujur ya, mereka tuh kalau ditanya (masyarakat pedesaan) milih siapa di surat suara DPD, jawabnya tuh bikin kaget. Mereka memilih berdasarkan gambar foto anggota DPD tanpa harus tau nama calon DPD. Yang menarik mata, mereka coblos. Simpel kan?
Semoga artikel ini gak dihapus aja sama admin K.Â
Oke. Ceritanya saya tutup aja. Terlalu bertele-tele. Kasihan yang baca, tulisan ini bahas apa sih?
Pemasangan baliho, spanduk, papan reklame, hingga brosur bahkan striker politisi menjelang kompetisi perebutan suara rakyat marak dilakukan akhir-akhir ini. Apakah saya harus melarang hal tersebut? Tidak. Toh bukan pakai uang saya, ngapain saya harus jingkrak-jingkrak melarang mereka memasang baliho sebagai media promosi.
Namun, saya hanya menyayangkan perilaku politisi yang memasang baliho ataupun papan reklame super besar dan megah tersebut. Ingat, zaman kita udah bukan zaman batu gunting kertas. Ini zaman modern-plus pangkat tujuh enam. Kenapa gak pangkat dua aja, ini kan perayaan kemerdekaan Indonesia ke-76, suka-suka saya lah mau pakai pangkat berapa pun.
Pemasangan baliho dan kawan-kawannya pada saat ini sangat kurang memperhatikan kemajuan zaman. Mereka, para politisi seakan menutup mata bahwa masyarakat Indonesia ini sudah cerdas, canggih, dan cekatan.Â
Kehadiran baliho dkk, sejatinya menjadi sebuah masalah baru di era sekarang. Apalagi kondisi Indonesia tidak baik-baik saja. Sebenarnya masalah tahunan juga sih. Selama promosi politisi masih pakai baliho dkk, maka masalah itu selalu ada.
Memangnya masalah apa sih? Ya, masalah lingkungan.
Sadar gak sih, dengan maraknya pemasangan baliho dkk secara tidak sadar membuat masalah baru bagi lingkungan. Oke, kita langsung terjun ke lapangan ya.
Pemasangan baliho dkk, ambil saja pemasangan banner ukuran 1x2 meter. Ini tuh kadang gak pakai tiang sendiri. Malah dengan seenak jidat, menancapkan paku ke tubuh pepohonan pinggir jalan. Ini pelanggaran, ini tugas Bawaslu melalui panwaslu mencopot banner semacam ini.