Para politisi masih yakin dengan kesaktian baliho sebagai usaha meraup suara rakyat. Namun nyatanya, meski tanpa baliho sekalipun, suara rakyat tentu akan dituai oleh para politisi.
Memang, kalau pasang baliho orang bakal mengenal dan mencari tahu rekam jejak orang yang terpampang di baliho. Maka, seseorang bakal menentukan politisi mana yang pantas untuk dipilih.
Kontestasi politik sebentar lagi akan digelar. Sebuah panggung besar akan disiapkan, meski situasi ke depan belum dapat dipastikan terbebas dari pandemi.
Banyak partai politik sudah mulai menurunkan kandidatnya di tengah-tengah masyarakat, di pojok kampung, di tengah kota, di sepanjang jalan demokrasi, bahkan menyelimuti angkutan kota. Dengan langkah balapan pasang baliho, mungkin menjadi trend baru lomba 17-an saat ini.
Semakin banyak pasang baliho politik atau kandidat partai, semakin besar meraup suara rakyat.
Tapi gak ada jaminan untuk itu. Saya menyadari betul. Masyarakat sudah bosan dengan baliho politisi, yang hanya muncul kala purnamokrasi (kemunculan ajang demokrasi, pemilu). Selama gak ada pemilu, gak bakal ada baliho politisi nongkrong di sudut perempatan bahkan pertigaan.
Sebelum lanjut, saya punya cerita. Tapi singkat aja ya. Soalnya ini tema politik tapi jatuhnya lingkungan. Apa bisa gitu disebut politik lingkungan?
Dulu 2019, pas pemilu. Kan ada tiga pemilihan. Saya ingatkan ya, maklum ada pembaca golongan tua, kan suka lupa. Malah nama cucu saja lupa, padahal tiap hari gendong cucu.
Pada pemilu 2019, ada pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR RI dan DPRD, dan pemilihan anggota DPD RI dan DPD Provinsi. Kebayang, betapa ambruknya para KPPS. Tapi, saya gak bakal bahas perjuangan dan pengorbanan KPPS.
Untuk pemilihan DPD, baik pusat dan daerah, di wilayah saya, se-kecamatan gak ada tuh baliho politikus calon DPD. Tapi, nyatanya masyarakat memberikan suara kepada salah satu kandidat calon anggota DPD pada surat suara.