Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

5 Cara Mengatasi Trauma pada Anak

20 Februari 2021   15:50 Diperbarui: 22 Februari 2021   14:22 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi trauma yang dialami anak (Sumber: www.pixabay.com)

Suatu ketika, seorang anak enggan bermain sepeda. Biasanya setiap pagi ia berkeliling kompleks dengan mengayuh sepeda. Mungkin dia bosan, lelah atau sakit. Nyatanya dia tidak sakit. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Coba ingatlah sejenak, apa yang terjadi di antara anak kita dengan sepedanya, apakah terjadi insiden atau tidak. Jika tidak, berarti anak kita memang sedang lelah atau bosan sehingga memilih aktivitas lainnya, misalnya menanam bunga, memberi makan hewan piaraan bahkan hanya menonton televisi. Apabila benar terjadi insiden atau kecelakaan, maka anak kita sedang mengalami trauma.

Ketika anak mengalami trauma, entah karena terjatuh bersepeda yang mengakibatkan anak enggan melakukan aktivitas serupa. Mendengar keributan orangtua di rumah, sering dimarahi oleh orangtua hingga menciptakan ketakutan berlebih. Hal tersebut perlu diwaspadai, bahwa mental atau psikis anak mulai terganggu. 

Anak trauma akibat sering mendengar orangtua bertengkar (foto dari pixabay.com)
Anak trauma akibat sering mendengar orangtua bertengkar (foto dari pixabay.com)
Kebanyakan orangtua terlambat menyadari masalah yang dihadapi anak, sehingga penanganannya pun terkesan percuma. Oleh karena itu, orangtua harus sedini mungkin mengidentifikasi permasalahan trauma pada anak agar mendapat penanganan yang tepat. 

Untuk itu memang sangat penting bagi orangtua, meluangkan waktu untuk anak agar mendapat asupan kasih sayang optimal. Bila hal ini jarang dilakukan. Jangan salahkan anak bila terjadi penyimpangan dari perilaku anak, baik terhadap orangtua maupun orang lain. 

Lantas bagaimana cara orangtua dalam mengatasi masalah anak yang memiliki trauma di masa lalu?

Pertama, anak jangan diperlakukan kasar

Terkadang orangtua mendidik anak dengan cara kasar. Sering membentak, memerintah paksa, memukul bila melakukan kesalahan, dan menghukum anak di luar kemampuannya.

Anak bakal dipukul oleh orang tua (foto dari cosmomom.net)
Anak bakal dipukul oleh orang tua (foto dari cosmomom.net)
Perilaku kasar yang orangtua tunjukan pada anak akan ditangkap oleh anak sebagai suatu bentuk didikan. Karena sejatinya, anak masih memiliki memori kosong dan cepat menangkap apa-apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan sehingga itu menjadi suatu fondasi dalam membentuk perilaku anak.

Oleh karena itu, berperilaku kasar kepada anak sangat tidak disarankan, apalagi yang berlebihan. Artinya keseringan perilaku kasar yang dilakukan terhadap anak akan menciptakan suatu sikap traumatis.

Memarahi anak sebagai hukuman diperbolehkan agar anak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Misalnya dia bermain puzzle dan tidak membereskan mainannya, sehingga kita marah sebagai bentuk nasehat. Namun, marah di sini harus terkontrol agar fokus pada permasalahan yang terjadi kepada anak. 

Berikan gambaran negatif apa yang akan terjadi bila anak tidak membereskan mainannya, seperti potongan puzzle yang hilang, anak akan kesandung puzzle, menimbulkan ketidaktahuan, dan sebagainya.

Artinya ada batasan bagi orangtua untuk marah sebagai bentuk menghukum anak, apabila memang anak berperilaku salah. Namun tidak dianjurkan jika orangtua marah atau berlaku kasar setiap detik kepada anak. 

Kedua, memberikan kasih sayang yang mendalam

Anak-anak sangat memerlukan kasih sayang orangtua, kehangatan dan keharmonisan keluarga. Hal ini diperlukan sebagai bentuk dukungan dalam perilaku anak yang bakal ditunjukkan sebagai cerminan perilaku anak ke depan.

Keluarga yang penuh kasih sayang (foto dari lifestyle.kompas.com)
Keluarga yang penuh kasih sayang (foto dari lifestyle.kompas.com)
Bilamana orangtua kurang memperhatikan kehidupan anak atau sibuk dengan aktivitas pekerjaan di kantor dan hal-hal lain, maka anak akan kesulitan membentuk perilaku sesuai norma kehidupan. Artinya tidak ada yang mengarahkan perilaku baik benar atau salah. Sehingga anak akan berperilaku sesuai keinginannya dan akan membenarkan apa yang yang dipikirkan oleh anak tersebut.

Curahan kasih sayang yang mendalam kepada anak perlu diberikan oleh orangtua. Semisal dengan memberikan waktu luang kepada anak, mengajak anak rekreasi atau aktivitas keluarga lainnya. Sebab kasih sayang yang dibutuhkan anak dari orangtua itu tidak mahal. 

Sederhananya, kehangatan hubungan antara orangtua dan anak. Artinya ada suatu umpan balik antara orangtua dan anak agar tercipta suatu keterikatan hubungan yang mapan.

Dengan mencurahkan kasih sayang yang mendalam kepada anak, nantinya akan menciptakan sebuah kedekatan batin antara orangtua dan anak. 

Di lingkungan sekitar, kita dapat menyaksikan beberapa contoh orangtua yang kurang memperhatikan atau mencurahkan kasih sayang kepada anak. Sering anak terlihat awut-awutan atau kurang kasih sayang, sehingga anak tersebut tidak dekat dengan orangtuanya malah lebih dekat dengan kakek neneknya.

Ketiga, janganlah selalu menakut-nakuti anak

Ketika anak saat bermain sepeda. Mungkin kita sebagai orangtua sering menakut-nakutinya. Mangkane dolanan sepeda tok, deloken catu dengkule.

Anak bersepeda bersama sang ayah (foto dari orami.co.id)
Anak bersepeda bersama sang ayah (foto dari orami.co.id)

Akhirnya, muncul pemikiran dari dalam diri anak bahwa bermain sepeda dapat mencelakai dirinya sendiri. Anak akan trauma dengan perilaku bersepeda. Seharusnya orangtua memberikan sebuah pembelajaran terhadap anak, apabila anak telah mengalami insiden atau belum mengalami insiden dengan tidak menakut-nakuti bahaya yang akan terjadi ketika bersepeda kurang berhati-hati.

Saat orangtua menciptakan ketakutan kepada anak setelah mengalami insiden, berarti orangtua menguatkan sisi traumatis anak terhadap sesuatu hal. 

Perilaku tersebut salah, sebaiknya orangtua memberikan edukasi kepada anak agar anak menjadi lebih berani, dapat menentukan respon cepat apabila akan terjadi suatu insiden.

Misalnya begini, orangtua memberikan pengarahan, bahwa mengayuh sepeda terlalu cepat agar selalu menjaga rem sepeda, terutama rem bagian belakang. Dengan begini anak teredukasi mengenai cara mengoperasikan rem saat bersepeda. Sehingga tidak ada kecerobohan atau kesalahan memegang tuas rem depan ketika bersepeda dalam kecepatan yang tinggi. Selain itu, tidak memperkenankan anak untuk mengayuh sepeda terlalu cepat apabila berada di sekitar kerumunan (banyak orang).

Upaya-upaya tersebut dapat mengurangi trauma dari dalam diri anak, supaya anak memiliki semangat baru dan mencoba kembali aktivitas yang membuat dirinya terjatuh dari sepeda misalnya. Karena anak sendiri sudah memahami cara penggunaan rem sepeda dari arahan yang telah kita berikan. Bukan malah menakut-nakuti anak dengan melarang bermain sepeda. Ojok dolanan sepeda, wedi tibo.

Keempat, menciptakan suasana harmonis dalam keluarga

Orangtua adalah panutan anak, apabila orangtua menunjukkan perilaku yang tidak baik pasti anak akan mengikuti hal tersebut. Maka dari itu diperlukan kehati-hatian bertindak bagi orangtua terhadap anak agar anak memiliki gambaran perilaku baik dalam kehidupannya.

Anak terlalu banyak tugas di luar kemampuannya (foto dari kompas.com)
Anak terlalu banyak tugas di luar kemampuannya (foto dari kompas.com)
Seperti contoh, berperilaku lemah lembut, bertutur kata sopan, mengawali perintah dengan kata "tolong", sering mengucapkan terima kasih ketika menyelesaikan atau menerima sesuatu, dan sesekali tersenyum.

Dengan contoh perilaku sederhana tersebut, maka menciptakan suatu keharmonisan, kehangatan, dan kedekatan antara orangtua dan anak. Sehingga apa yang dilakukan ini bakal menghilangkan sifat traumatis dari dalam diri anak. 

Pada akhirnya, perilaku baik yang terjadi dalam keluarga akan menciptakan suasana lingkungan keluarga yang tenang dan damai. Hal inilah yang diperlukan oleh anak agar tumbuh kembang anak dilandasi dengan fondasi perilaku baik.

Kelima, tidak membebani anak dengan tugas-tugas atau perintah-perintah yang di luar kemampuannya

Sebelum kita memberikan tugas kepada anak. Kita harus tahu dulu. Anak kita usia berapa? Perempuan atau laki-laki? Mampu atau tidak? Setelah semuanya terjawab, maka cobalah untuk memberikan tugas tersebut. Apabila memang belum mampu, jangan diberikan kepada anak, lakukanlah sendiri.

Ada yang mengatakan bahwa, kemandirian anak dapat dibentuk dengan pemberian beban tugas di luar kemampuannya. Pernyataan ini salah. 

Anak bakal sangat kesulitan dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan apabila di luar kemampuannya. Seperti contoh, anak usia lima tahun. Kita suruh untuk mengangkat sebuah meja dari ruang tamu ke dapur. Apakah ia mampu? Jelas tidak mampu. 

Pada saat inilah, benih-benih trauma muncul dalam pikiran anak bahwa dia tidak mampu menjalankan tugas. Terlebih kita selaku orangtua memarahi atas tindakan anak yang tidak dapat menyelesaikan tugas mengangkat sebuah meja ke tempat yang telah kita tentukan. Ini sangat keliru.

Alangkah lebih baiknya, orangtua atau seorang ibu dan anak bergotong royong mengangkat sebuah meja dari ruang tamu ke dapur. Mungkin hal ini akan lebih baik dilakukan, karena sekaligus mengedukasi bahwa kegiatan kerjasama dalam mengangkat atau mengerjakan sesuatu akan lebih mudah dilakukan daripada dikerjakan sendiri. Dengan begitu, pikiran anak memunculkan inisiatif dari dalam dirinya untuk belajar mandiri. Mencoba mengangkat benda-benda yang sesuai kemampuannya secara mandiri. Nah dari sinilah akan tercipta suatu karakter kemandirian pada anak.

Jadi, kurang lebihnya seperti itu dalam menangani masalah trauma atau traumatis pada anak. Mencari awal mula anak yang trauma terhadap sesuatu hal, kemudian melakukan pendekatan dengan memberikan edukasi kepada anak dalam mengerjakan sesuatu hal. Selain itu, ditopang dengan kehidupan keluarga yang damai, tenang, dan harmonis agar tumbuh kembang anak berada di jalur yang benar, perilaku kebaikan.

Baiklah, tuntas sudah tip penanganan masalah traumatis pada anak yang kiranya bermanfaat bagi kita semua. Jadi, sudahkah kita memberikan kasih sayang kepada anak hari ini?

Bayu Samudra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun