Mohon tunggu...
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy.
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy. Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kebijakan Publik, Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

Man Jadda Wa Jadda: Siapa Bersungguh-Sungguh Akan Berhasil## **Alloh Akan Membukakan Pintu Terindah Untuk Hambanya yang Sabar, Meskipun Semua Orang Menutupnya**.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rezeki, Hak Prerogratif Allah

7 Maret 2020   00:01 Diperbarui: 11 Maret 2020   07:23 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Basrowi

Umat Islam memandang agama sebagai sikap hidup manusia di muka bumi. Di dalamnya termasuk cara mengorganisasi aktivitas ekonomi demi kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Isalam di samping memberikan prioritas utama pada kebutuhan spiritual manusia, juga menekankan pentingnya dimensi ekonomi dan materi dalam kehidupan.[1] 

 Secara naluri, manusia cinta dengan harta dan benda. Harta dan benda secara alamiah diperoleh oleh manusia melalui sebuah interaksi ekonomi diantara sesama mereka. Sering kali terjadi persaingan yang tidak fair diantara manusia ketika mereka melakukan interaksi ekonomi sesama mereka.[2]

 Selain itu, manusia adalah mahluk hidup  yang telah diberi keistimewaan oleh Allah Swt. berupa kemampuan akal, budi dan daya pikir guna mengolah dan mengelola alam raya ini untuk  memenuhi pelbagai kebutuhan hidupnya. Karena itu manusia berjuang dan berusaha untuk  mendapatkan aneka barang dan  jasa. Upaya itulah manusia melakukan kegiatan yang disebut dengan kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ini melahirkan pelbagai macam hubungan yang bersifat subyektif, sebab masing-masing berusaha memenuhi kebutuhannya dengan pelbagai konsekuensinya.[3]

 Manusia juga merupakan makhluk ekonomi, dikarenakan transaksi ekonomi bagi manusia dalam kehidupannya merupakan sebuah keniscayaan. Manusia sebagai makhluk ekonomi, dalam artian: tidak ada satupun manusia dalam hidupnya melainkan membutuhkan manusia lain dalam sebuah transaksi ekonomi. Orang kaya membutuhkan orang miskin, demikian pula sebaliknya. Profesi apapun yang digeluti oleh manusia, mesti dia  membutuhkan  manusia  yang menekuni profesi di luar profesinya, seperti: seorang pedagang membutuhkan keberadaan seorang petani, demikian pula sebaliknya.[4]

 Manusia merupakan makhluk ekonomi, dikarenakan cinta dan senang terhadap materi merupakan bagian dari fitrah manusia. Tidaklah benar ketika manusia dilarang untuk menikmati materi, dikarenakan manusia tercipta memiliki dua unsur, unsur materi yang membutuhkan asupan yang bersifat materi, dan unsur immateri yang membutuhkan asupan yang bersifat immateri, sehingga ajaran apapun yang melarang manusia untuk menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berbau materi, merupakan ajaran yang bertolak belakang dengan fitrah manusia tersebut.[5]

 Problema manusia sebagai makhluk ekonomi adalah banyak dari manusia yang berlebihan dalam mencintai materi, sikap berlebihan inilah yang  kerap  melupakan  manusia  dengan menjadikan   materi   sebagai   tujuan   bukan perantara. Tujuan dari hidup manusia sejatinya adalah kehidupan dan kenikmatan ukhrawi yang kekal. Materi sebatas perantara guna mendapatkan tujuan tersebut. Akan tetapi, ketika perantara berbalik menjadi tujuan, akan  kita  dapatkan  tipikal  manusia  yang korup, serakah, manipulatif, monopolistik, dan kikir.[6]

 Untuk meminimalisasi terjadinya pelbagai benturan kepentingan dalam kegiatan ekonomi yang berdampak terjadinya kekacauan, perlu ada tata aturan hukum dalam masyarakat. Karena itu, sebagai sebuah sistem, ekonomi tidak mungkin dapat dipisahkan dari supra sistemnya yaitu Islam, karena ilmu ekonomi adalah satu bagian dari ilmu agama Islam. Dengan demikian tata aturan hukum diharapkan dapat membawa ketenangan dan ketentraman masyarakat.[7] 

 Pada suatu segi Alquran tidak melarang manusia untuk mencari keuntungan dalam tingkah laku ekonomimya, tetapi pada waktu yang sama diperintah- kan  pula  melaksanakan fungsi  sosial dalam  harta kekayaannya. Demikian  pula  halnya  Alquran me- merintahkan golongan kaya untuk  tidak melupakan kaum  miskin, tetapi  pada waktu yang sama kaum miskin juga dilarang untuk memperhatikan status ke- miskinannya dan harus berusaha mengubah nasib dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Alquran juga mengajarkan manusia untuk  menjaga keseimbangan dalam melestarikan nilai-nilai moral dan rohaniah sambil terus melanjutkan usaha masing-masing dalam bidang ekonominya.[8]

 Sebagai contoh: berkaitan dengan sikap korup, Al-Qur'an mewanti-wanti manusia untuk tidak bersikap curang, bahkan Al-Qur'an pun mengancam manusia yang kerap bersikap curang dengan adanya hari kebangkitan, dimana praktek curang yang kerap dilakukan oleh manusia secara sembunyi-sembunyi, pada  hari  kiamat kelak akan  ditampakkan dan kepadanya kemudian ia pun akan diminta pertanggung jawabannya.[9]

 Sejatinya antara manusia sebagai makhluk ekonomi dan manusia sebagai makhluk sosial saling berkaitan. Perintah Al-Qur'an bagi  manusia untuk melakukan ibadah yang bersifat sosial dan ekonomi dalam waktu yang bersamaan,  menegaskan  keterkaitan  antara unsur sosial dan unsur ekonomi dalam diri seorang manusia.[10]

 Sebagaimana Al-Qur'an pun pada ayat yang lain menggunakan istilah ekonomi, ketika hendak memotivasi manusia untuk melakukan sejumlah kebaikan, seperti: membaca Al Qur'an, mendirikan shalat dan berinfak di jalan Allah, bahwasannya prilaku baik semacam ini ketika dilakukan oleh seorang manusia, sejatinya manusia tersebut sedang melakukan sebuah perdagangan  yang tidak akan merugi dengan Tuhan-nya.[11]

 Membaca uraian di atas dapat dipahami bahwa dimensi ekonomi memperoleh posisi khusus dalam kerangka sosial Islam kerena Islam meyakini stabilitas individu dan kehidupan sosial bergantung pada kesejahteraan materi dan spiritual. Islam mendekati dua aspek inisecara integraldalam setiap tindakan dan kebutuhan manusia.[12]

 Hakikat Rizki

 Mengenai hakikat rezeki harus difahami berdasarkan realitas makna lafaz dan syara'nya, baik yang diambil berdasarkan pengertian bahasa maupun syara'. Lafadz ar-Rizq, dalam bahasa Arab berasal dari Razaqa-Yarzuqu-Rizq yang berarti: A'tha-Yu'thiI'tha' (pemberian). Jadi, secara etimologis ar-Rizq berarti pemberian. Adapun menurut terminologis/istilah,"rezeki adalah Apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa dimanfaatkan atau tidak." Definisi "Apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh)" meliputi semua bentuk rizki: halal & Haram, Positif & Negatif, Sehat & Sakit, Cerdas & Tidak cerdas, Cantik & Jelek, dan sebagainya. Semuanya merupakan rizki.[13]

 Dalam al-Qur'an, Allah SWT juga dinyatakan sebagai sebab bagi rezeki manusia.
Allah SWT. Berfirman yang artinya, "Dan di langit ada (sebab-sebab) rezeki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan."[14] 

 Setiap makhluk yang diberikan kehidupan oleh Allah pasti telah Dia tetapkan rizkinya, sebagaimana yang dijelaskan olehAllah SWT yang artinya "Dan tidak ada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rizkinya telah ditetapkan oleh Allah. Dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)".[15]

 Ayat ini secara tegas memaparkan, bahwa tidak satu pun makhluk yang diberi kehidupan oleh Allah, kemudian dibiarkan hidup tanpa jaminan rezeki dari-Nya.

 Rejeki Hak Prerogratif Allah

 Maka, ketika ada orang tua yang takut keturunannya lahir tanpa jaminan rizki, kemudian mereka membunuh keturunannya karena takut akan kelaparan, dengan tegas ketakutan tersebut dibantah oleh Allah. "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar."[16] Allah Juga berfirman "..., dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.[17] demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)."[18]

 Melalui ayat ini, Allah SWT. ingin menjelaskan, bahwa: 1) sebab rezeki ini adalah Allah SWT dan 2) rezeki seorang hamba ada di tangan Allah sebagai ar-Razzq (Maha Pemberi Rizki),

 Dengan demikian, rezeki yang ada dalam diri seorang hamba pada hakikatnya merupakan anugerah Allah swt yang dianugerahkan kepadanya, dengan rezeki tersebut, Allah swt hendak mengujinya, apakah dia bersyukur kepada-Nya atau tidak bersyukur.  Manusia sangatlah tidak tahu diri, kalau ada dalam dirinya penolakan dan pembangkangan atas perintah Allah swt, bagaimana semestinya rezeki-Nya digunakan dan peruntukkan.

 Jadi, meskipun rezeki tersebut ditentukan oleh Allah, dan usaha manusia tidak mempengaruhi besar dan kecilnya rizki, tetapi usaha tetap merupakan faktor yang menentukan halal dan haramnya rezeki yang diberikan oleh Allah SWT.

 Konsep tamlk dalam Alquran dapat ditelusuri dalam pelbagai ayat di antaranya: "Kepunyaan-Nya-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.[19]

  Menurut al-Syawkn substansi ayat di atas menjelaskan bahwa pemilik harta  sesungguhnya adalah Allah.  Karena itu,  segala yang terdapat  di  langit dan di bumi dalam genggaman dan kekuasaan Allah. Kesemuanya ini menunjukan kepada kemahakuasaan Allah atas segala ciptaan-Nya. Dia yang mengadakan sekaligus meniadakannya sesuai dengan  kehendak- Nya.[20]   Manusia hanyalah sebagai pemegang mandat pengelola sebagaimana dalam Al-Qur'an:

 "Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."[21]

 Di ayat lain Alquran menyebut harta kekayaan dengan "khayr" (kebaikan).[22] Ini berarti bahwa harta dinilai sebagai sesuatu yang baik. Harta kekayaan juga disebut sebagai "qiyam"  (sandaran kehidupan).[23] Gagasan tentang Kekayaan dan kesejahteraan diungkap dalam istilah positif lainnya: Fadl Allah, Rahman, Zinat Allah, Tayyibat, Khizanah, ma'ayis, mulk, barakah, dan sebagainya.[24]  

  Kisah Pemberian Rezeki Allah untuk Maryam 

 Maryam merupakan sosok wanita shalehah, jauh untuk dikatakan sebagai seorang wanita pezina sebagaimana yang dituduhkan oleh komunitas Yahudi kepadanya. Kehadiran seorang putra dari dirinya bukanlah atas kehendaknya, melainkan atas kehendak Allah swt, Dzat Yang Maha Kuasa, dimana kelahiran seorang putra dari dirinya "tanpa keberadaan seorang bapak" merupakan karunia baginya dan bagian dari cara  Allah  swt  memperlihatkan  sebagian dari kekuasaan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.[25]

 Ketika Allah swt mengabadikan kisah Maryam dalam Al-Qur'an, bukan saja Allah swt sebatas hendak menegaskan kekuasaan-Nya, hikmah penting lainnya adalah bahwasannya Allah swt juga hendak menegaskan bahwasannya rezeki seorang hamba ada di tangan-Nya.

 Beberapa potongan dari kisah Maryam yang diabadikan oleh Al-Qur'an, sebagai penegasan bahwasannya rezeqi seorang hamba di tangan Tuhan-nya, dan rezeqi seorang hamba merupakan bagian dari hak preograti Tuhan adalah: Pertama, didapati di mihrab yang dijadikan tempat peribadatan Maryam, sejumlah rezeki yang tidak biasa dan tidak pada waktunya, seperti keberadaan buah-buahan musim dingin di saat musim panas, demikian pula sebaliknya. Hal inilah yang mengherankan nabi Zakaria dan mendorongnya untuk bertanya. Maryam pun menjawab, bahwasannya rezeki itu datangnya dari Tuhan, dikarenakan Dia memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya tanpa perhitungan.[26]

  (Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, "Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?" Dia (Maryam) menjawab, "itu dari Allah." Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan).[27]

  Kisah hidangan makanan secara lebih rinci dapat disimak pada ayat berikut:

 112. (ingatlah), ketika Pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?". Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman".

 113. mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati Kami dan supaya Kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada Kami, dan Kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".

 114. Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan Kami turunkanlah kiranya kepada Kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi Kami Yaitu orang-orang yang bersama Kami dan yang datang sesudah Kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah Kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama".

 115. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), Maka Sesungguhnya aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia".[28]

  Kedua, kelahiran Maryam tanpa melalui sebuah proses dan bukan atas kehendaknya melainkan atas kehendak Tuhannya:[29]

  (Dia (Maryam) berkata, "Ya Tuhan-ku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku?" Dia (Allah) berfirman, "Demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan  sesuatu,  Dia  hanya  berkata kepadanya, "jadilah" maka jadilah sesuatu itu).[30]

 Ketiga, rezeki Allah swt pun menyertai Maryam dalam kesendiriannya, ketika dia menghadapi proses persalinannya: "(Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, "Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan. Maka dia (Jibril) berseru kepadanya dari tempat yang rendah, "janganlah engkau bersedih hati, sezungguhnya Tuhan-mu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.   Dan   goyangkanlah   pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak  kepadamu.   Maka  makan,  minum dan bersenanghatilah engkau)."[31]

 Beberapa potongan dari kisah Maryam yang diabadikan oleh Al-Qur'an, sebagai penegasan bahwasannya rezeqi seorang hamba di tangan Tuhan-nya, dan rezeqi seorang hamba merupakan bagian dari hak preogratif Tuhan

Referensi:

1.Zakiyudin, 2006. “Konsep Keadilan dalam Alqur’an”, Disertasi tidak diterbitkan, Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga
2.Yusuf Baihaqi. Dimensi Ekonomi Dalam Kisah Al Qur’an. On-line: di https://media.neliti.com/media/publications/56572-ID-dimensi-ekonomi-dalam-kisah-al-quran.pdf  diakses tanggal 19 November 2018. h.1
3.Zamakhsyari Abdul Maji. Ekonomi dalam Perspektif Alquran. Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016251
4.Lihat Q.S. Az Zukhruf [43]: 32 lihat juga Yusuf Baihaqi...op.cit h. 66
5.Yusuf Baihaqi...op.cit h. 66
6.Ibid
7.A.M. Saefuddin, Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Samudera, 1984), h.11.
8.Zamakhsyari Abdul Maji: Ekonomi dalam Perspektif Alquran. Ahkam: Vol. XVI, No. 2, Juli 2016251 h.10
9.Lihat: Q.S. Al Muthaffifîn [83]: 1-6. Lihat juga Yusuf Baihaqi. Op cit. h. 66
10.Yusuf Baihaqi. Op cit. Hal 66
11.Lihat: Q.S. Fâthir [35]: 29. Periksa juga Yusuf Baihaqi. Op cit. h. 67
12.Zakiyudin, op-cit. H. 1
13.Mengenal Hakikat Rezeki Dalam Islam http://ayat1000dinar.blogspot.com/2013/05/mengenal-hakikat-rezeki-dalam-islam.html
14.Lihat: Q.s. Adh-Dhâriyât; 22-23.
15.Lihat: Q.s. Hûd: 6
16.Lihat: Q.s. Al-Isrâ’[17]: 31
17.Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya
18.Lihat: Q.s. Al-An’âm: 151
19.Lihat: Q.s. al-Syûrâ [42]: 4
20.Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1985), Juz. IX, h.15.
21.Lihat: Q.s. al-Mulk [67]: 15.
22.Lihat: Q.s. al-Baqarah [2]: 215, 272, 273; Q.s. Hûd [11]: 84; Q.S.al- Hajj [22]: 84.
23.Lihat: Q.s. al-Nisâ [4]: 4.
24.Zakiyudin, op-cit, 2
25.Yusuf Baihaqi, op.cit h.68
26.Yusuf Baihaqi, op.cit h.68
27.Lihat: Q.S. Âli `Imrân [3]: 37
28.Lihat: Q.s. Al Ma’idah: 112-115
29.Yusuf Baihaqi, op.cit h.68
30.Lihat: Q.S. Âli `Imrân [3]: 47
31.Lihat: Q.S. Maryam [19]: 23-26.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun