Mohon tunggu...
Basir SH
Basir SH Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Pasca UNMA BANTEN

Saya adalah Mahasiswa Pasca Sarjana pada Perguruan Tinggi Universtitas Matlaul Anwar Banten

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelesaian Perkara Perdata dan Perkara Pidana Dalam Proses yang Bersamaan

31 Mei 2024   23:55 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:10 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DALAM PROSES YANG BERSAMAAN

Disusun Oleh : BASIR, S.H.

 

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Dalam penerapan keadilan atas suatau perkara terkadang terjadi adanya benturan penyelesaian antara Perkara Perdata dan Perkara Pidana. Dalam beberapa kasus adanya perkara pidana yang sedang berjalan namun dengan subtansi yang sama adanya perkara perdata juga yang mesti menjadi pertimbangan atau sebaliknya. Maka dengan demikian dalam menentukan dua perkara tersebut manakah yang didahulukan perkara pidana atau perkara perdata? Atau bagaimanakah dengan proses yang sedang berjalan apakah dapat dihentikan atau tetap berjalan secara bersamaan.

Sepertihalnya sering terjadi adanya perkara perselisihan hak kepemilikan terhadap suatu kebendaan namun atas penguasaan terhadap suatu benda tersebut dianggap menjadi suatu perbuatan tindak pidana. Atau suatu kerugian yang diakibatkan seseorang dalam menuntut hak namun perbuatannya tersebut harus dibuktikan dengan adanya perbuatan tindak pidana.

Contoh dalam suatu permasalahan yang terjadi terkait alas hak kepemilikan atas tanah dan bangunan dengan dihubungkan dengan penguasaannya, yang menjadi permasalahan adalah ketika seseorang yang memiliki alas hak tanah dan bangunan tersebut namun tidak dapat menguasainya dikarenakan adanya hubungan keperdataan terkait sah tidaknya kepemilikan alas hak tanah dan bangunan tersebut, namun pemilik alas hak dengan keyakinannya telah melakukan upaya perkara pidana terhadap yang menguasai obyek, akan tetapi sebaliknya yang menguasai obyek dengan keyakinannya melakukan upaya perkara perdata untuk menguji keabsahan sebagai pemilik yang sah atas suatu obyek tanah dan bangunan tersebut.

Contoh yang lain, ketika orang yang merasa dirugikan atas perbuatan seseorang yang telah mengalihkan suatu obyek kebendaan yang diketahui dalam proses peralihannya dianggap terdapat perbuatan melawan hukum, akan tetapi terkait kepemilikan kebendaan tersebut masih menjadi permasalahan atas kepemilikan bersama, maka manakah yang mesti didahulukan apakah yang harus dibuktikan secara pidana atau diselesaikan secara perdata terlebih dahulu.

 

RUMUSAN MASALAH

  • Apakah perbedaan antara Perkara Perdata dan Perkara Pidana?
  • Bagaimanakah cara menentukan suatu perkara antara Perkara Perdata dan Perkara Pidana apabila bersamaan pada proses hukum yang berjalan?

 

PEMBAHASAN

  • Perbedaan antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana 

Jika kita ingin membedakan antara hukum acara perdata dan hukum acara pidana, maka akan ditemukan banyak sekali perbedaannya, antara lain penulis dapat mengemukakan beberapa di antaranya di bawah ini:

  • Perbedaan dari segi inisiatif pengajuan perkaranya 

Di dalam hukum acara pidana inisiatif untuk mengajukan perkara pidana ke muka persidangan pengadilan adalah jaksa selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan umum, sedangkan dalam hukum acara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara perdata ke muka persidangan pengadilan adalah pihak penggugat (the plaintif) yang mewakili ke pentingannya sendiri secara perorangan. Jadi, dalam hal ini terlihat kepentingan umum pada hukum acara pidana dan kepentingan perseorangan pada hukum acara perdata.

Perbedaan dari segi keterikatan hakim pada alat-alat pembuktian 

Di dalam hukum acara pidana, hakim tidak semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, tetapi disamping terikat pada alat bukti yang sah, hakim harus terikat pada keyakinannya sendiri atas kesalahan si terdakwa. Inilah yang dalam sistem Hukum Anglo Saks dinamakan "beyond reasonable doubt", sedangkan di dalam hukum acara perdata, hakim hanya semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dikatakan bahwa dalam hukum acara perdata cukup dengan "preponderance of evidence" sebagaimana yang dikatakan oleh Mc Cormich,[1] bahwa: "Evidence preponderates when it is more convicing to the trier than the opposing evidence".

Perbedaan dari segi kebenaran yang ingin dicapai 

 Di dalam hukum acara pidana, sebagai konsekuensi dari keterikatan hakim pada keyakinannya sendiri, sehingga dikatakan bahwa hakim dalam perkara pidana bertujuan untuk mencari "kebenaran materi", sedangkan di dalam hukum acara perdata, karena hakim hanya semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dikatakan hanya mencari "kebenaran formal". Dalam hubungan ini ada motto: Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tak salah.

 Perbedaan dari segi pemisahan peristiwanya dan hukumnya 

 Di dalam hukum acara pidana, terdapat perpaduan antara penetapan peristiwa dan penemuan hukum, sedang kan di dalam hukum acara perdata ada pemisahan. Para pihak hanya membuktikan "peristiwa" yang dipersengketakannya saja, sedang soal "hukumnya" adalah menjadi tugas hakim, sesuai asas IUS CURIA NOVIT (hakim dianggap tau akan hukumnya). Jadi, di dalam hukum acara pidana jaksa tidak membuktikan. Jaksa mempunyai inisiatip penuntutan dan dalam tuduhannya menentukan tema ke arah aman proses harus di arahkan, tetapi kemudian untuk selanjutnya jaksa sama kedudukannya dengan pembela, dan hakim dalam diskusi persidangan. Karena itu, menurut Enschede,[2] dalam hukum acara pidana lebih tepat dikatakan bahwa hakimlah yang membuktikan.

Perbedaan dari segi penghentian pemeriksaan perkara 

Di dalam hukum acara pidana, kalau suatu perkara pidana sudah sekali diajukan oleh kejaksaan ke muka persidangan pengadilan, maka diteruskan atau tidaknya perkara itu pada asasnya tidak tergantung atas kehendak dari jaksa atau terdakwa. Pada asasnya kejaksaan tidak berwenang untuk mencabut tuntutannya, sedangkan di dalam hukum acara perdata, pada asasnya para pihak yang berperkara bebas untuk menghentikan pemeriksaan perkara itu sebelum hakim menjatuhkan putusannya. Misalnya, dalam hal ada perdamaian antara penggugat dan tergugat.

Dikatakan pada asasnya, karena ada pengecualian tertentu yang dalam seri hukum acara perdata terbitan berikutnya akan penulis bahas secara khusus.

 Perbedaan mengenai beban pembuktian 

Di dalam hukum acara pidana, masalah beban pembuktian (the burden of proof) tidak sepenting dan seserius dalam hukum acara perdata.

Perbedaan dari segi aktif dan pasifnya hakim 

 Di dalam hukum acara pedata, pada dasarnya merupakan sengketa para pihak, di mana luas ruang lingkup persengketaan itu ditentukan oleh para pihak. Di sinilah terlihat sikap pasif dari hakim (verhanlungs maxim), jadi proses perdata merupakan "penyelesaian persengketaan", sedang kan di dalam hukum acara pidana, bukan penyelesaian persengketaan. Hal in terlihat bahwa di dalam hukum acara pidana, walaupun terdakwa sudah mengadakan pengakuan, hakim tidak boleh meneriman begitu saja pengakuan terdakwa, tetapi harus aktif menyelediki kebenaran pengakuan itu, sedangkan di dalam hukum acara perdata hakim wajib menerima pengakuan tergugat. Di sini, terlihat bahwa dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif (eventual maxim).

 Perbedaan dari segi kepentingan yang dilindungi 

 Dari sudut kepentingan yang dilindungi, maka di dalam hukum acara pidana mengahadapi dua kepentingan: 1. kepentingan umum; 2. kepentingan hukum. Adapun di dalam hukum acara perdata, dua pihak yang berperkara sama bobot kepentingannya, sehingga berlaku asas AUDI ET ALTERAM PARTEM, yaitu baik pihak penggugat maupun tergugat harus diperlakukan sama. 

Dalam arti kata untuk kalah dan menang sama, tergantung nantinya pada pembuktian mereka sehingga keduanya memiliki kepentingan hukum yang sama. Di dalam hukum acara pidana tidak demikian. Kepentingan yang diwakili jaksa adalah kepentingan umum, sedangkan kepentingan yang diwakili terdakwa adalah kepen tingan perseorangan. Kepentingan perseorangan disini membutuhkan kepastian hukum yang menuntut perlindungan hukum. Kepentingan umum menghendaki agar yang salah dihukum, sedangkan kepentingan hukum meng hen daki agar yang tidak salah tidak dihukum.

 Perbedaan dari segi sanksinya 

Di dalam hukum acara pidana, selain sanksi deinitif seperti hukum penjara, denda dan lain-lain dikenal juga ada nya sanksi yang bersifat sementara, misalnya penahanan sebelum vonis dengan pertimbangan untuk memperlancar persidangan atau untuk kepantingan lain, misalnya terdakwa dikhawatirkan melarikan diri atau mengulangi perbuatannya. Adapun di dalam hukum acara perdata tidak dikenal sanksi sementara.

 Perbedaan dari segi sifat hukum 

Di dalam hukum acara pidana, tujuan hukuman adalah dengan sengaja membebankan nestapa kepada sipelaku.[3] Ada pun di dalam hukum acara perdata tujuan hukuman adalah untuk melindungi subjek hukum lain di luar si pelaku. 

 Menentukan Perkara Perdata atau Perkara Pidana yang didahulukan.

Seringkali yang menjadi persoalan ketika suatu putusan pidana dijatuhkan, ternyata setelah vonis tersebut masalah keperdataan, misalnya terkait objek kepemilikan justru dimenangkan oleh orang yang sudah divonis tersebut. Jika konteksnya adalah perkara pencurian misalnya, maka akan menjadi aneh ketika orang yang diputus melakukan pencurian ternyata dalam perkara perdata dinyatakan sebagai pemilik dari objek yang disengketakan. Namun hal ini tidak serta merta menjadikan putusan pidana batal atau tidak berlaku. Dan jelas jadi merugikan orang yang memiliki benda tersebut, namun dihukum karena mencuri benda miliknya sendiri.

Berangkat dari sengketa yang terjadi di tengah masyarakat tersebut, lantas perkara mana yang seharusnya diputus telebih dahulu? Perkara Perdata Didahulukan Pada dasarnya sudah ada peraturan yang mengatur mengenai perkara yang harus didahulukan apabila terjadinya sengketa perdata dan pidana secara bersamaan. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU NO.1/1950) pada Pasal 131 disebutkan bahwa: "Jika dalam jalan pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-Undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan." Didasari hal tersebut, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956). Disebutkan dalam Pasal 1 Perma No.1/1956 bahwa: "Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu."

Sehingga seharusnya sudah menjadi jelas bahwa dalam terjadinya perkara perdata dan pidana, dapat dilakukan pemutusan terlebih dahulu perkara perdata sebelum memutus perkara pidana. C Djisman Samosir, dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, dalam kesempatannya sebagai ahli dalam sidang praperadilan sengketa Henry Jocosity Gunawan (2017) menyampaikan pendapatnya bahwa perkara pidana seharusnya ditunda terlebih dahulu prosesnya, hingga gugatan perdata yang diperiksa memiliki putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Mahkamah Agung (MA) pun pernah menjatuhkan putusan untuk melakukan penundaan perkara pidana dengan terlebih dahulu menunggu penyelesaian perdata. Sebagaimana tertuang dalam Putusan MA No. 628 K/Pid/1984, dimana dalam putusan tersebut MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan memerintahkan untuk menunggu adanya putusan berkekuatan hukum tetap mengenai status kejelasan kepemilikan tanah (perdata). Hal ini dikarenakan, apabila status keperdataan belum memiliki kejelasan, maka perkara pidana tidak dapat dilanjutkan.

Prejudiciel Geschil

Melihat lebih lanjut dari perkara perdata atau pidana yang didahulukan dengan adanya Prejudiciel Geschil. Dalam sistem pengadilan Indonesia mengenal adanya istilah prejudicel geschil. Menurut Kamus istilah hukum Fockema Andrea, prejudiciel geschil adalah sengketa yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan untuk perkara di belakangnya. Ketentuan akan prejudicial geschil ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1980 (SEMA No.4/1980). Dalam SEMA No.4/1980 menyebutkan 2 (dua) ketentuan dari prejudicial geschil yaitu:

 Question prejudicielle a I' action : mengenai perbuatan-perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam KUHP yang antara lain Pasal 284 KUHP. Dimana dalam kasus tersebut diputus terlebih dahulu ketentuan perdata sebelum dipertimbangkan penuntutan pidana.

  • Question prejudicielle au jugement : menyangkut permasalahan dalam Pasal 81 KUHP. Dimana pasal tersebut hanya sekedar memberi kewenangan bukan kewajiban kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan, menunggu putusan Hakim Perdata mengenai persengketaannya.

Sudah sepatutnya dengan adanya prejudiciel geschil tersebut menjadikan pertimbangan hakim dimana sebaiknya memutus suatu perkara pidana dan perdata yang disengketakan secara bersama. Kasus perdata sudah seharusnya untuk didahulukan daripada pidana. Tentunya hal tersebut dapat bermanfaat apabila terjadinya suatu tuntutan pidana, dan disisi lain adanya sengketa kepemilikan suatu hal dengan pihak dan benda yang sama pada perkara pidana.

 Seperti halnya yang terjadi pada contoh kasus Riki Irawan yang didakwa melakukan pencurian pipa besi yang diakui milik dari Pertamina Prabumulih. Pada akhirnya Riki divonis bersalah dengan putusan PN Kayuagung Nomor 159/Pid.B/2015/PN Kag. Sedangkan disaat bersamaan H. Ahmad mengajukan gugatan kepada Pertamina Prabumulih dengan nomor gugatan Nomor 3/Pdt.G/2015/PNBM bahwa kepemilikan pipa besi tersebut bukanlah milik Pertamina Prabumulih tetapi milih H. Ahmad dan Riki Irawan.

Gugatan yang diajukan oleh H. Ahmad tersebut berhasil dimenangkannya. Hal tersebut menjadi pertanyaan keadilan putusan hakim dimana suatu kepemilikan benda masih disengketakan akan tetapi Riki sudah divonis bersalah melakukan pencurian. Dalam pertimbangannya Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung menyatakan bahwa Hakim tidak terikat dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956) sehingga Riki divonis 1 tahun penjara.

 

Lebih lanjut Perma No.1/1956 menyebutkan antara lain dalam Pasal 1 dan Pasal 3 bahwa:

 

  • Pasal 1: Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.
  • Pasal 3: Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi.

Dengan adanya Perma No.1/1956 memunculkan adanya konsekuensi hukum yang bisa memberi kewenangan pada Hakim untuk menunda persidangan pidana ataupun tidak. Tentunya suatu persoalan yang diajukan bersamaan secara perdata dan pidana, lebih baik untuk menunda perkara pidana dan menunggu putusnya perkara perdata, sehingga dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya bagi masyarakat. Pasal 3 Perma No.1/1956 memberikan kewenangan Hakim untuk melanjutkan proses persidangan pidana walaupun adanya sengketa perdata secara bersamaan kasus yang sama.

Selain itu, ada beberapa ketentuan maupun situasional yang dapat mengakibatkan perkara pidana yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie atau biasa disebut Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan Untuk Indonesia menyebutkan :

 Pasal 29 : "Selama dalam proses penuntutan pidana, ditundalah tuntutan perdata mengenai ganti-rugi yang sedang ditangani oleh hakim perdata, dengan tidak mengurangi cara-cara pencegahan yang diperkenankan oleh Undang-Undang"

Pasal 30: "Tuntutan pidana tidak dapat dihentikan atau ditunda dengan mengingat adanya gugatan perdata, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang."

Apabila didasari oleh hal tersebut, tentunya perkara pidana yang seharusnya lebih didahulukan daripada perkara perdata. Karena ganti rugi tidak dapat dimintakan jika perbuatan melawan hukum pidana belum terbukti. Karena ganti rugi dalam konteks ini berkaitan dengan kerugian akibat perbuatan pidana yang dilakukan.

Perma No.1/1956 sudah jelas mengatur bahwa perkara pidana yang perlu adanya putusan perdata akan suatu kepemilikan ataupun hubungan hukum antar pihak dapat dilakukan penundaan akan persidangan pidananya. Akan tetapi, Pasal 3 Perma No.1/1956 memberikan kewenangan pada hakim untuk menilai perlu adanya penundaan atau tidak. Sehingga jelas, mengenai perkara perdata atau pidana yang harus diputus terlebih dahulu menjadi kewenangan Hakim untuk sepenuhnya menilai hal tersebut. Namun setidaknya, benang merah dari keduanya adalah relasi, apakah kerugian perdata yang timbul akibat perbuatan pidana. Atau, perbuatan pidana baru dapat dibuktikan jika tidak ada sengketa keperdataan soal kepemilikan suatu benda.

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan dari sudut pandang prinsip perkara antar Perkara Perdata dan Perkara Pidana merupakan suatu upaya hukum yang berbeda, mulai dari dasar hukumnya, tujuannya, subyek kepentingan hukumnya, sifat dan kewenangan hakimnya serta hasil dalam putusannya. Perkara Pidana dikenal dengan istilah adanya tuntutan sanksi kurungan dan denda, sedangkan Perkara Perdata dikenal dengan adanya tuntutan hak dan tidak terdapat sanksi atas kurungan dalam putusannya.

Antara Perkara Perdata dan Perkara Pidana, apabila berjalan bersamaan dengan substansi perkara yang sama maka dapat dilihat dari dasar dan tujuan perkara itu sendiri. Apabila perkara pidana yang mendasari daripada kepemilikan seseorang terhadap suatu benda yang menjadi dasar alat bukti masih diperselisihkan atau menjadi obyek perkara maka tentukan dahulu legalitas kepemilikan sebagai subyek kepemilikan yang sah melalui sengketa perdata, akan tetapi apabila suatu perkara yang dimintakan hak daripada kerugian atau hak kepemilikan yang hilang akibat perbuatan seseorang dalam hal perbuatan kejahatan maka harus dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana kejahatannya dan kemudian dapat dikatakan seseorang telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian atau hilangnya hak seseorang.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Edward W. Cleary. "Mc.Cormick's Handbook of Law of Evidence". St. Paul, Minn, West Publishing, Co. 1972.

 

Enschede. "Bewijzen in het strafrecht". R.M. hemis 1966.

 

 

Prof. Mr. M.M. Djojodiguno, dalam kuliah Perkembangan Ilmu Hukum Umum, oleh Prof. Iman Sudiyat, S.H.

 

 

#UnmaBanten

 

#PacasarjanaunmaBanten

 

#Firmancandra

 

#Basir,S.H.

 

#MagisterhukumUNMABanten

 

#Pandeglang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun