Mohon tunggu...
Basir SH
Basir SH Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Pasca UNMA BANTEN

Saya adalah Mahasiswa Pasca Sarjana pada Perguruan Tinggi Universtitas Matlaul Anwar Banten

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelesaian Perkara Perdata dan Perkara Pidana Dalam Proses yang Bersamaan

31 Mei 2024   23:55 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:10 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Perbedaan dari segi sifat hukum 

Di dalam hukum acara pidana, tujuan hukuman adalah dengan sengaja membebankan nestapa kepada sipelaku.[3] Ada pun di dalam hukum acara perdata tujuan hukuman adalah untuk melindungi subjek hukum lain di luar si pelaku. 

 Menentukan Perkara Perdata atau Perkara Pidana yang didahulukan.

Seringkali yang menjadi persoalan ketika suatu putusan pidana dijatuhkan, ternyata setelah vonis tersebut masalah keperdataan, misalnya terkait objek kepemilikan justru dimenangkan oleh orang yang sudah divonis tersebut. Jika konteksnya adalah perkara pencurian misalnya, maka akan menjadi aneh ketika orang yang diputus melakukan pencurian ternyata dalam perkara perdata dinyatakan sebagai pemilik dari objek yang disengketakan. Namun hal ini tidak serta merta menjadikan putusan pidana batal atau tidak berlaku. Dan jelas jadi merugikan orang yang memiliki benda tersebut, namun dihukum karena mencuri benda miliknya sendiri.

Berangkat dari sengketa yang terjadi di tengah masyarakat tersebut, lantas perkara mana yang seharusnya diputus telebih dahulu? Perkara Perdata Didahulukan Pada dasarnya sudah ada peraturan yang mengatur mengenai perkara yang harus didahulukan apabila terjadinya sengketa perdata dan pidana secara bersamaan. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU NO.1/1950) pada Pasal 131 disebutkan bahwa: "Jika dalam jalan pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-Undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan." Didasari hal tersebut, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956). Disebutkan dalam Pasal 1 Perma No.1/1956 bahwa: "Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu."

Sehingga seharusnya sudah menjadi jelas bahwa dalam terjadinya perkara perdata dan pidana, dapat dilakukan pemutusan terlebih dahulu perkara perdata sebelum memutus perkara pidana. C Djisman Samosir, dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, dalam kesempatannya sebagai ahli dalam sidang praperadilan sengketa Henry Jocosity Gunawan (2017) menyampaikan pendapatnya bahwa perkara pidana seharusnya ditunda terlebih dahulu prosesnya, hingga gugatan perdata yang diperiksa memiliki putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Mahkamah Agung (MA) pun pernah menjatuhkan putusan untuk melakukan penundaan perkara pidana dengan terlebih dahulu menunggu penyelesaian perdata. Sebagaimana tertuang dalam Putusan MA No. 628 K/Pid/1984, dimana dalam putusan tersebut MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan memerintahkan untuk menunggu adanya putusan berkekuatan hukum tetap mengenai status kejelasan kepemilikan tanah (perdata). Hal ini dikarenakan, apabila status keperdataan belum memiliki kejelasan, maka perkara pidana tidak dapat dilanjutkan.

Prejudiciel Geschil

Melihat lebih lanjut dari perkara perdata atau pidana yang didahulukan dengan adanya Prejudiciel Geschil. Dalam sistem pengadilan Indonesia mengenal adanya istilah prejudicel geschil. Menurut Kamus istilah hukum Fockema Andrea, prejudiciel geschil adalah sengketa yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan untuk perkara di belakangnya. Ketentuan akan prejudicial geschil ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1980 (SEMA No.4/1980). Dalam SEMA No.4/1980 menyebutkan 2 (dua) ketentuan dari prejudicial geschil yaitu:

 Question prejudicielle a I' action : mengenai perbuatan-perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam KUHP yang antara lain Pasal 284 KUHP. Dimana dalam kasus tersebut diputus terlebih dahulu ketentuan perdata sebelum dipertimbangkan penuntutan pidana.

  • Question prejudicielle au jugement : menyangkut permasalahan dalam Pasal 81 KUHP. Dimana pasal tersebut hanya sekedar memberi kewenangan bukan kewajiban kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan, menunggu putusan Hakim Perdata mengenai persengketaannya.

Sudah sepatutnya dengan adanya prejudiciel geschil tersebut menjadikan pertimbangan hakim dimana sebaiknya memutus suatu perkara pidana dan perdata yang disengketakan secara bersama. Kasus perdata sudah seharusnya untuk didahulukan daripada pidana. Tentunya hal tersebut dapat bermanfaat apabila terjadinya suatu tuntutan pidana, dan disisi lain adanya sengketa kepemilikan suatu hal dengan pihak dan benda yang sama pada perkara pidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun