Untuk memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau intervensi dari pihak manapun, yang dikenal dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun.Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang bersifat obyektif dan imparsial. Maksud dari sifat putusan yang obyektif adalah dalam proses pemberian putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang benar atau berpandangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan mengacu pada ukuran atau kriteria obyektif yang berlaku umum, sedangkan maksud dari putusan yang bersifat imparsial adalah putusan yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah satu pihak menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa. Disamping itu keputusan yang diberikan tersebut secara langsung memberikan kepastian hukum dalam masyarakat. Jadi dapat disimpulkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, harus menjamin terlaksananya peradilan yang jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum dalam masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.
Â
Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan. Tujuan putusan pengadilan sejatinya :
Â
- Harus melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat vs tergugat; terdakwa vs penuntut umum), dan tidak ada lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat menegaskan suatu putusan pengadilan;
- Â
- Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang tertunda itu merupakan ketidakadilan;
- Â
- Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan pengadilan tersebut;
- Â
- Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat;
- Â
- Harus ada fairness, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.[23]Â
Â
Dasar hukum tentang prinsip kebebasan hakim adalah Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan". Dalam interpretasi historis, dapat diketahui bahwa pasal tersebut oleh pembuatnya dimaksudkan bahwa lembaga peradilan bebas dari intervensi lembaga eksekutif atau lembaga dan perorangan. Prinsip yang terkandung didalamnya adalah bahwa kemerdekaan, kebebasan, atau kemandirian adalah bersifat kelembagaan, yaitu lembaga peradilan.
Â
Mengenai prinsip kebebasan hakim sebagaimana dimaksudkan Pasal 32 ayat (5) Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), tidak dijelaskan lebih lanjut secara rinci oleh undang-undang tersebut, oleh karena itu semangat makna Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 harus dikembangkan dalam memahami maksud kebebasan hakim dalam Pasal 32 ayat (5) Undang-undang No. 14 tahun 1945 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1945 tentang Mahkamah Agung), bahwa kebebasan hakim harus dalam kerangka prinsip kebebasan lembaga peradilan.Karena hakim adalah sub sistem dari lembaga peradilan, sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan hakim haruslah selalu berada di dalam koridor kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa "Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemadirian peradilan".
Â
Kekuasaan Kehakiman sendiri diartikan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia, bukan keadilan subyektif menurut pengertian atau kehendak hakim semata. Namun, dalam pelaksanaannya kebebasan dan kemandirian yang diberikan kepada kekuasaan kehakiman (hakim) tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan dalam menjalankan kemandiriannya hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi, serta peraturan perundang-undangan yang mengatur kemerdekaan tersebut. Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim itu bebas dalam atau untuk mengadili sesuai dengan hati nuraninya/keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Hakim bebas memeriksa, membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan hati nuraninya. Disamping itu juga bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisial. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD1945. Tetapi di dalam praktik ketentuan itu tidak jarang dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, telepon sakti, suap dan sebagainya. Hoentink mengatakan bahwa, hakim tidak boleh mengadili melulu menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia terikat kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat. Scholten mengatakan bahwa, hakim terikat pada sistem hukum yang telah terbentuk dan berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiap-tiap putusannya hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan norma-norma hukum yang tidak tertulis.[24]Â
Â