Pancasila sebagai nilai dasar atau nilai fundamental mengandung pengertian abstrak, umum, dan universal bagi bangsa Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Apabila dikaji secara mendalam, maka pengertian yang abstrak, umum, dan universal tersebut, sangat ideal dan memungkinkan untuk dijabarkan ke bidang filsafat, hukum, sosial, ekonomi, dan sebagainya.[2] Dengan demikian nilainilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila dapat dijadikan sebagai alat untuk merefleksikan makna hakiki kebebasan hakim dalam konteks penegakan hukum di Indonesia.Â
Â
Hakim harus mampu merefleksikan setiap teks pasal yang terkait dengan fakta kejadian yang ditemukan di persidangan ke dalam putusan hakim yang mengandung nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai konstitusi dasar dalam UUD 1945, sehingga setiap putusan hakim memancarkan pertimbangan nilai filosofis tinggi, konkretnya ditandai oleh karakter putusan yang berKetuhanan, berperikemanusiaan, menjaga persatuan, penuh kebajikan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Filsafat harus masuk membantu pikiran hakim menyusun pertimbangan putusannya, sehingga putusan hakim mengandung nilainilai keadilan filosofis. Putusan hakim yang baik harus mengandung 3 (tiga) pokok pertimbangan meliputi pertimbangan keadilan filosofis, pertimbangan keadilan sosiologis, dan pertimbangan keadilan yuridis.
Â
Akhir-akhir ini banyak putusan, penetapan, dan tindakan hakim atau majelis hakim yang mendapatkan kritik dan reaksi negatif dari masyarakat, yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Mahkamah Agung sendiri berkesimpulan bahwa terjadinya kritik dan reaksi negatif tersebut disebabkan karena kurangnya atau lemahnya kontrol ketua pengadilan[3] atau lemahnya manajemen pengawasan pimpinan pengadilan[4] terhadap pelaksanaan tugas para hakim. Kelemahan kontrol tersebut adalah sebagai akibat adanya kerancuan memahami prinsip kebebasan hakim yang diidentikkan dengan kebebasan lembaga peradilan.Â
Â
Berkaitan dengan prinsip kebebasan hakim tersebut, sebagian hakim telah memahami kebebasan hakim yang melekat pada dirinya sebagai kebebasan absolut, sehingga dengan dalil prinsip kebebasan hakim tersebut, sebagian oknum hakim dapat melegalkan segala tindakannya dan pimpinan pengadilan tidak cukup memiliki referensi argumentasi untuk meluruskan pendirian anak buahnya yang memaknai kebebasan hakim secara keliru tersebut.
Â
Â
BAB II
Â