*) Ritual: tidak melakukan ziarah kubur/makam tokoh Jawa/Walisongo, tidak ikut hadir dalam grebeg maulud, grebeg sekaten, tidak sama sekali ikut rebutan gunungan
*) Peralatan: tidak memiliki keris, jimat, bawanya Al-Qur'an, tasbih
*) Bacaan: buku-buku karya ulama Timur Tengah (mayoritas), ulama domestik (minoritas)
Tentu saja masih ada beberapa faktor selain yang saya sebutkan di atas. Namun setidaknya itulah faktor-faktor yang bisa saya potret. Sumangga pembaca dan Kompasioner memberikan urun rembug sebagai pengayaan pengetahuan.
+++
Agar memudahkan membaca realitas, maka saya akan mencontohkan diri saya sendiri.
Saya termasuk ke dalam kategori Santri Abangan. Namun sebagaimana dikatakan Pak Dodi Ambardi, saya mengalami santrinisasi (maksudnya mengarah pada Santri Putihan).
*) Agama saya: Islam
*) KTP saya: Islam
*) Nama saya: Jawa, meskipun setelah menikah saya punya nama Timur Tengah, namun hanya saya dan orang-orang tertentu yang tahu nama tersebut. Sednagkan istri saya bernama Jawa campur Timur Tengah. Anak saya yang pertama juga bernama Jawa. Sedangkan anak saya yang kedua bernama Timur Tengah campur Jawa.
Terus terang orangtua dan kakak-kakak saya semuanya bernama Jawa, tidak ada yang bernama Jawa campur Timur Tengah, apalagi Timur Tengah. Saya sejak kecil sudah diperdengarkan musik-musik Jawa seperti gamelan dan wayang, serta kerap menonton wayang. Hal itu terbawa sampai sekarang. Walaupun saya sudah sangat jarang menonton wayang secara live, tetapi masih mendengarkan pentas wayang, baik di televisi maupun radio. Saya pun mengapresiasi nyaris keseluruhan budaya Jawa, seperti tarian, batik, candi, kuliner, dan lain-lain. Bahkan antara Jawa, yang berbudaya adi luhung tersebut, dan Islam dapat disinergikan sehingga menjadi Islam Jawa. Artinya, orang Jawa yang ber-Islam dan orang Islam yang ber-Jawa. Islam dan Jawa bukanlah terpisah, tetapi menyatu menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.