Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makanan Tan Kasat Mata

13 Januari 2021   10:31 Diperbarui: 13 Januari 2021   10:57 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia terdiri dari 2 unsur besar yaitu  unsur nyata (lahiriyah), dan unsur gaib ( batiniyah ) sudah barang tentu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bak 2 sisi mata uang. Berkaitan dengan hal tersebut maka untuk memahami perintah dan petunjuk Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, hendaklah dikaji maknanya dari 2 sisi tadi. Kemudian pengamalannya atau pewujud-nyataannya hendaklah tercermin didalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kata sehari -- hari. Kecuali itu hendaklah dua sisi tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat, dan utuh dari kedua sisi tersebut, artinya kedua sisi tersebut tidak berjalan sendiri - sendiri.

Dalam melakoni hidup, dan kehidupan di atas dunia ini manusia hendaklah pandai dalam memilih asupan yang akan dikonsumsi, agar memperoleh kesehatan prima. Mengingat manusia terdiri dari 2 unsur besar, maka unsur lahiriyah membutuhkan asupan berupa makanan kasat mata, yang artinya jenis makanan yang kelihatan atau makanan yang dapat dilihat oleh mata. Sedangkan unsur batiniyah atau unsur gaib juga membutuhkan asupan, sudah barang tentu asupannya berbeda dengan asupan bagi lahiriyah, yaitu berupa makanan tan kasat mata artinya makanan yang tidak dapat dilihat oleh mata, atau makanan yang tidak kelihatan.

Untuk memahami apa yang dimaksud asupan, berupa makanan kasat mata, dan makanan tan kasat mata mari kita simak uraian selanjutnya melalui roso pangroso kita, sebagai berikut. Surat Abasa ayat 24. maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.

Sudahkah perintah dan petunjuk Allah ini dilaksanakan dengan benar dan tepat? Bagaimana cara melaksanakan? Mari kita mengaji bersama.     Manusia dapat bertahan hidup di atas dunia ini, karena mendapat asupan berupa makanan, baik berasal dari hewan maupun dari hasil tanam tumbuh. Agar manusia mempunyai tubuh yang sehat, hendaklah diberi asupan yang akrab disebut dengan 4 sehat, 5 sempurna. 

Artinya asupan yang berupa makanan tadi hendaklah memenuhi persyaratan tertentu. Yaitu makanan harus cukup karbohidrat, cukup protein, cukup sayuran, cukup buah-buahan, serta akan lebih sempurna lagi kesehatan tubuh kita, bila dilengkapi dengan unsur kelima yaitu minum susu. Dengan demikian seseorang akan mendapat kesehatan prima, sehingga mampu beraktivitas sehari - hari secara optimal.

Kalau dilihat dari uraian tersebut, sudah jelas bahwa makanan tersebut adalah jenis makanan yang termasuk makanan kasat mata. Artinya makanan yang dapat dilihat oleh mata atau kelihatan, karena memang makanan jenis ini untuk memenuhi kebutuhan unsur manusia yang kasat mata berupa lahiriyah atau tubuh manusia, ya wadag manusia ini.

Tetapi kalau hanya jenis makanan kasat mata ini yang diberikan, berarti orang tadi belum dapat berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Mengapa dikatakan belum dapat berlaku adil terhadap dirinya sendiri? Karena yang diberi asupan baru unsur lahiriyahnya saja, agar menjadi sehat dan bugar. Padahal manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur nyata dan unsur gaib. 

Lalu batiniyah atau unsur gaib yang disebut Sang Suci, diberi asupan apa selama ini? Dan bagaimana cara untuk memberi asupan berupa makanan yang sehat dan menyehatkan bagi Sang Suci? Asupan bagi Sang Suci berupa makanan tan kasat mata, tidak  lain adalah melaksanakan segala perintah dan petunjuk Allah dengan benar dan tepat. Sebagaimana diingatkan dalam firman Allah, diantaranya surat Abasa  ayat 23. sekali -- kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.  

Bagaimana caranya? Mari mulai saat ini, dibiasakan atau dibudayakan agar kita tetap dalam keadaan sadar dan selalu ingat (Jawa = eling) secara terus menerus tanpa terputus (mendirikan shalat). Agar setiap perbuatan yang sesungguhnya tertuju untuk kepentingan sang wadag, sekaligus juga ditujukan untuk kepentingan Sang Suci.

Samakah jenis makanan bagi sang wadag, dengan makanan bagi Sang Suci? Sudah barang tentu, jenis makanannya berbeda. Kalau sang wadag, jenis makanannya berupa makanan kasat mata artinya makanan yang dapat dilihat oleh mata, atau kelihatan seperti: sate, gule, hotdog, tongseng, hamburger, getuk, tiwul, rawon, opor, rendang dan lain sebagainya; Sedangkan makanan bagi Sang Suci, jenis makanannya berupa makanan tan kasat mata artinya makanan yang tidak dapat dilihat oleh mata, atau tidak kelihatan berupa segala perintah dan petunjuk Allah. 

Salah satu contoh. Sebagai penganut Islam, tentunya sudah tidak asing lagi dengan kata wudhu. Bahkan sudah terbiasa melakukan atau mempraktekkannya, saat mau melaksanakan sembayang. Dengan urutan, membaca Bismillahirrahmanirrahim, membasuh kedua tangan hingga pergelangan, berkumur, membasuh kedua lubang hidung; Berniat kemudian membasuh muka, membasuh kedua tangan hingga siku, membasuh jidat ( dahi ), membasuh kedua telinga, dan membasuh kedua kaki hingga mata kaki.

Ditinjau dari sisi lahiriyah dengan kegiatan tersebut, bila ada pengotor - pengotor nyata yang melekat  pada  organ  tubuh yang dibasuh  tadi dapat dihilangkan atau dihapuskan. Maka bersihlah keadaan organ tubuh yang dibasuh tadi. Tetapi apakah dengan pembasuhan layaknya berwudhu tersebut, Sang Suci secara otomatis juga sudah menjadi bersih?  Belum! 

Bila pemaknaan berwudhu baru disatu sisi saja, istilah Jawa mengatakan wis bener ning durung pener. Artinya perbuatan tadi sudah benar, tetapi belum tepat. Untuk lebih baiknya, istilah Jawa tadi seharusnya berbunyi wis bener tur pener. Artinya perbuatan tadi, sudah benar dan tepat. Ditandai dengan pengamalan atau pewujud - nyataan dua sisi tadi secara seimbang, dalam satu kesatuan tingkah laku, perbuatan, dan tutur kata sehari - hari.

Dalam berwudhu, hendaklah dibiasakan atau dibudayakan. Nyata mengucap Bismillahirrahmanirrahim, gaib diniatkan dalam hati akan mengamalkan atau mewujud -- nyatakan sifat pengasih dan penyayang dalam setiap tingkah laku, perbuatan, dan tutur kata sehari - hari.     

Nyata membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan untuk membersihkan pengotor nyata yang ada pada organ tadi, gaib diniatkan dalam hati akan memelihara kesucian diri dari mengambil sesuatu yang bukan hak dan kewajibannya.                                            

Nyata berkumur untuk membersihkan pengotor nyata yang ada di dalam mulut, gaib diniatkan dalam hati akan memelihara kesucian mulut dari perkataan -- perkataan yang dapat menyakiti hati orang lain. Dan hanya akan menggunakannya untuk berucap atau bertutur kata dengan kata - kata yang baik, sehingga dapat melegakan dan menyejukkan hati orang atau pihak lain; Syukur bila setiap kata yang terlontar dari mulut kita, sekaligus merupakan do'a bagi lawan bicaranya.                                                                   

Nyata membasuh lubang hidung untuk membersihkan pengotor nyata yang ada di dalam organ tadi, gaib diniatkan dalam hati akan memelihara kesucian diri, dari perbuatan mengendus -- endus aib atau kejelekan orang lain.                                                              

Nyata mengucapkan niat berwudhu, gaib diniatkan dalam hati bahwa pembasuhan atau pembersihan                                                                                                organ tubuh dari pengotor -- pengotor nyata maupun tidak nyata,  dilakukan dengan niat iklas semata - mata hanya karena Allah. Dan diwujud - nyatakan kedalam tingkah laku, perbuatan, dan tutur kata sehari -- hari.                        

Nyata membersihkan muka untuk menghilangkan pengotor yang ada di muka, gaib diniatkan dalam hati akan memelihara kesucian muka. Bertegur sapa kepada orang lain dengan roman muka yang teduh, manis, dan menyenangkan siapapun, apapun, derajad, pangkat, agama, dan status sosial ekonomi lawan bicaranya.

Nyata membasuh kedua tangan hingga siku untuk menghilangkan pengotor nyata pada organ tubuh tadi, gaib diniatkan dalam hati akan memelihara kesucian diri. Dengan mencari karunia Allah baik berupa harta benda maupun jabatan atau kekuasaan, dan lain - lain dengan tidak menghalalkan segala cara dalam mendapatkannya (sikut sana, sikut sini). Istilah jaman now, halal haram sikat.

Nyata membasuh jidat ( kepala ) untuk membersihkan pengotor nyata, gaib diniatkan dalam hati akan memelihara kesucian otak. Dengan menggunakannya untuk memikirkan hal -- hal positip yang bermanfaat bagi masyarakat banyak, bukan semata-mata hanya untuk kemanfaatan diri sendiri, keluarga, dan atau golongannya.

Nyata membasuh kedua telinga untuk menghilangkan pengotor nyata, gaib diniatkan dalam hati akan memelihara kesucian telinga. Dengan tidak digunakan untuk mencuri dengar perkataan orang lain, dan atau mendengarkan kata - kata yang tidak baik. Tetapi sebaliknya telinga akan dipergunakan untuk mendengarkan jerit tangis si miskin, yang selama ini belum pernah memperoleh keberuntungan.

Nyata membasuh kedua kaki untuk menghilangkan pengotor nyata, gaib diniatkan dalam hati akan memelihara kesucian diri. Dengan tidak untuk melangkah menuju perbuatan yang merugikan diri sendiri, dan atau orang lain. Apa-apa yang telah diikrarkan atau diniatkan baik yang terucap maupun dalam hati, hendaklah diwujud-nyatakan atau diamalkan atau diaktualisasikan dalam keseharian kita, dilandasi rasa iklas, sabar lahir dan batin. 

Saat mau pergi meninggalkan rumah katanya sudah berwudhu, tetapi tangan masih terasa gatal, kalau melihat milik orang lain. Mulut masih terasa gatal: kalau tidak membicarakan aib orang lain, kalau tidak mengumpat orang lain, kalau tidak mencela dan menghujat orang lain, kalau tidak menilai orang lain, kalau tidak menyalahkan orang lain, dan seterusnya.                                                                                   

Untuk selanjutnya silahkan dikembangkan sendiri pemaknaannya, sesuai dengan daya tangkap dan daya nalar masing -- masing atas sinyal sinyal yang diperintahkan dan ditunjukkan Allah. Baik berupa ayat - ayat Allah yang tertulis, maupun ayat -- ayat Allah yang tidak tertulis berupa jagad raya seisinya termasuk diri manusia.

Yang paling penting untuk diingat, sesungguhnya apa -- apa yang diikrarkan atau apa -- apa yang diniatkan tadi adalah perang suci atau jihad. Dan amat berat menghadapinya, karena apa -- apa yang diikrarkan atau diniatkan atau dijanjikan tadi, tidak lain adalah sesuatu yang amat tidak disukai iblis, setan, dan sebangsanya. Surat Al Hijr ayat 39. Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik ( perbuatan maksiat ) dimuka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. 

Tinggal, kuat siapa. Tetapi yaitu  sudah biasa bila ada info atau kabar baru seperti ini, dan lebih-lebih yang menyampaikan orang kebanyakan saja, pasti langsung dibantah karena memang demikianlah adanya manusia, suka membantah. Surat Al Kahfi ayat 54. Dan sesungguhnya Kami  telah  mengulang  -  ulangi bagi manusia dalam Al Qur'an ini bermacam - macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.  

Kebanyakan orang mungkin akan mengatakan, ah itu kan hanya reka -- rekanya penulis saja! Sejak dulu atau sejak nenek moyang, kalau berwudhu ya hanya begitu itu. Namanya orang berpendapat, tentunya ya dihormati dan dihargai pendapatnya itu. Namun disisi lain, mari ditelusuri melalui hati nurani atau roso pangroso. Dengan mengedepankan bisa merasa, kejujuran, dan menurunkan gengsi atas hal-hal berikut kalau kita memang ingin memperbaiki kualitas diri kita sendiri.                                                    

Suatu kejadian ringan yang dapat membatalkan wudhu, misal buang angin. Kalau akan sembayang tiba -- tiba tanpa sengaja buang angin, tentunya wajib mengulang kembali berwudhu, sesuai dengan tata cara berwudhu bukan? Mari dinalar. Logikanya kalau hanya sekedar membersihkan pengotor nyata yang ada atau yang melekat pada organ tubuh, dan yang dibasuh sesuai tata cara berwudhu, hal ini tentunya tidak logis, mengapa? Karena justru organ tubuh tempat lewatnya angin, malah tidak dibasuh. Yang justru kemungkinan, ada pengotor nyatanya. Tetapi kenyataannya, tidak dibasuh tempat lewatnya angin.

Kecuali hal tersebut. Bila setelah berwudhu kemudian terkantuk sejenak sebelum melaksanakan sembayang, hukumnya wajib mengulang wudhu kalau akan melakukan sembayang. Apakah dengan terkantuk sejenak,  lalu  secara  spontan  banyak kotoran bertumpuk di organ -- organ tubuh yang harus dibasuh layaknya tata cara berwudhu? Tidak. Mengulang berwudhu, hakekatnya untuk mengingatkan kembali terhadap apa -- apa yang telah kita ikrarkan, atau kita niatkan, atau kita janjikan sebelumnya.

Hal ini sesungguhnya merupakan suatu pembiasaan  agar kita selalu dalam keadaan sadar, dan ingat ( eling ) secara  terus  menerus  tanpa  terputus (mendirikan shalat). Terhadap apa -- apa yang telah kita ikrarkan, atau telah kita niatkan atau telah kita janjikan sebelumnya. Karena selama terkantuk meskipun hanya berlangsung sekejab, bisa jadi dapat melupakan atau bahkan dapat menghilangkan apa - apa yang telah kita ikrarkan, atau kita niatkan atau kita janjikan itu.

Hal ini juga mengingatkan kita, bahwa perbuatan apapun yang telah kita ikrarkan atau telah kita niatkan atau telah kita janjikan, untuk menggapainya atau untuk meraihnya tidak dapat dilakukan hanya dengan bermalas-malasan saja, tetapi harus diraih dengan perbuatan nyata, dan pikiran terfokus kepada satu sasaran yang dituju. Insya-Allah berhasil.                                    

Dengan demikian, sesungguhnya penganut Islam sudah dibiasakan berlatih untuk melakukan atau melaksa-nakan atau mengamalkan apa -- apa yang telah diikrarkan atau diniatkan atau dijanjikan, bila yang bersangkutan dapat memahami makna yang tersirat didalamnya. Atau dengan kata lain, secara tidak sadar penganut Islam telah dipaksa untuk berbuat sesuai dengan apa - apa yang telah diikrarkan, atau telah diniatkan, atau telah dijanjikan. Singkatnya kata umat Islam diharapkan agar dapat secara spontan, mewujud-nyatakan satunya kata dengan perbuatan.                                        

Demikian juga tentunya agar dipahami makna kegiatan - kegiatan lain seperti sembayang, puasa, haji yang sesungguhnya ritual ini membangun hubungan vertikal antara kita manusia yang diciptakan, dengan Allah Swt. yang menciptakan, yang umumnya dikenal dengan sebutan hablumminallah. Bila sudah dapat memahami makna yang terkandung didalamnya, mudah--mudahan kegiatan ritual tersebut tidak hanya sekedar memper-oleh kesia -- siaan belaka.

Pada umumnya penganut Islam kalau mengerjakan ritual ini ( hablumminallah ), yang terpikir hanyalah mendapat pahala sebagai bekal masuk surga. Benarkah pendapat tersebut? Tampaknya pendapat tersebut perlu diluruskan, agar umat tidak semakin dalam terjerumus ke lembah sesat. Justru pahala yang diperoleh dari ritual hablumminallah ini tidak dapat sebagai bekal masuk surga, karena pahala dari ritual hablumminallah ini langsung diterimakan langsung kepada yang bersangkutan agar dapat meningkat kualitas dirinya menjadi insan yang berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur.

Misal. Saat melakukan sembayang, seseorang telah mengucap Allahhuakbar (Allah Maha Besar). Lalu melakukan gerakan rukuk. Melakukan sujud dengan posisi tubuh duduk membungkuk, hingga dahi menyentuh lantai dengan mengucap Allah Maha Tinggi. Ini merupakan pengakuan seseorang, bahwa dirinya amat kecil dibandingkan dengan Allah Swt. Tuhan Yang Maha Segalanya.  Setelah sembayang ucapan, gerakan rukuk, dan sujud memang sudah tidak dilakukan oleh sang wadag ( lahiriyah ). Tetapi gaib tetap wajib melakukan rukuk, dan sujud sampai akhir khayat. Dengan demikian manakala telah sampai janjinya malaikat yang diutus Allah akan mewafatkan seseorang, kapanpun dan dimanapun keberadaan seseorang tadi hakekatnya wafat dalam keadaan rukuk, dan sujud.

Kesabaran, kejujuran dan keiklasan seseorang, diuji saat melaksanakan ibadah haji. Karena pada saat ritual tersebut pisik/wadag seseorang sudah pasti, akan menerima berbagai macam cobaan dalam melaksanakannya. Selama melaksanakan ritual haji, hendaklah  seseorang dapat menerima kenyataan tersebut dengan sabar dan iklas lahir dan batin apapun yang terjadi pada pisiknya.

Demikian pula kejujuran diuji diritual haji ini. Diwajibkan mengelilingi Ka'bah 7 kali dalam keadaan berwudhu. Andaikan seseorang baru mengelilingi Ka'bah 1 kali lalu keluar, dan mengatakan kepada orang lain, bahwa dia sudah mengelilingi sebanyak 7 kali. Siapa yang tahu, kalau seseorang itu sebenarnya tidak genap 7 kali. Demikian pula selama mengelilingi Ka'bah buang angin seharusnya keluar, dan berwudhu tetapi diteruskan saja tawafnya. Siapa yang mengetahui kalau seseorang itu buang angin.

Namun kesemuanya dipatuhi, mengelilingi Ka'bah ya sampai 7 kali, buang angin ya lalu keluar untuk berwudhu kemudian melanjutkan tawafnya. Kesemua ini tidak lain adalah untuk melatih atau menggembleng kesabaran, kejujuran, dan keikhlasan atas diri kita sendiri. Ritual haji usai, memang wadag sudah tidak melaksanakan rangkaian ritual berhaji tadi; Tetapi gaib tetap wajib melaksanakan dengan mengedepankan rasa iklas, sabar, dan jujur terhadap apapun yang terjadi pada dirinya, sampai akhir hanyat. Dengan demikian manakala telah sampai janjinya malaikat yang diutus Allah akan mewafatkan seseorang kapanpun, dan dimanapun berada seseorang tadi hakekatnya wafat dalam kondisi berhaji.

Pengendalian diri seseorang juga dilatih melalui ritual puasa. Selama bulan Ramadan penganut Islam wajib melaksanakan puasa, hakekatnya untuk membangun diri agar dapat mengendalikan diri dari pengaruh buruk yang berseliweran dilingkungannya. Selama bulan Ramadan lahiriyah wajib menahan haus dan lapar di siang hari, sedangkan batiniyah wajib menahan nafsu dengan: tidak menjelek -- jelekkan pihak lain, tidak berbohong, tidak menggunjing pihak lain, tidak mengkafirkan pihak lain, tidak berpikir negatip dalam menyikapi keadaan, dan seterusnya silahkan dikembangkan sendiri.

Usai ritual puasa di bulan Ramadan, puasa lahiriyah sudah tidak wajib dilaksanakan, namun puasa batiniyah tetap dilaksanakan sampai akhir hayat. Artinya meskipun kuwajiban puasa dibulan Ramadan sudah usai, tetapi batiniyah tetap dipuasakan dengan: tidak menjelek -- jelekkan pihak lain, tidak berbohong, tidak menggunjing pihak lain, tidak mengkafirkan pihak lain,  tidak berpikir negatip dalam menyikapi keadaan, dan seterusnya sampai akhir hayat. Dengan demikian manakala telah sampai janjinya malaikat yang diutus Allah akan mewafatkan seseorang kapanpun, dan dimanapun berada seseorang tadi hakekatnya wafat dalam kondisi berpuasa.  

Hendaklah ritual sembayang, puasa, haji dikondisikan atau dianalogikan atau dialur pikirkan layaknya kawah candradimukanya bagi penganut Islam. Untuk melatih, menggembleng, atau menempa diri agar terbentuk insan yang berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur. Atas hasil karya, atau hasil kerja, atau hasil perbuatan, atau hasil darmabakti insan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur inilah, mudah - mudahan disediakan ganjaran, atau hadiah, atau gift, atau pahala baginya, layaknya sang Gatotkaca yang lalu diwisuda menjadi ratunya para dewa itu.

Jadi ganjaran, atau hadiah, gift, atau pahala itu tempat memperolehnya bukan di dalam kawah candradimuka, atau bukan saat dalam melaksanakan kegiatan ritual: sembayang, puasa, dan haji itu. Tempat memperolehnya, ya dimana manusia atau insan tersebut mengamalkan atau mewujud -- nyatakan hasil penggemblengan dirinya melalui rangkaian kegiatan ritual tersebut. Yaitu di tempat yang bersangkutan melakukan perbuatan nyata, atau karya nyata, atau kerja nyata, atau tindakan nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baru Allah akan memberikan hadiah, atau gift, atau ganjaran, atau pahalanya.

Jadi pahala yang dapat digunakan sebagai bekal menuju ke surga itu insya-Allah, akan diberikan Allah kepada seseorang yang melaksanakan perbuatan atau yang membangun hubungan horizontal, artinya membangun hubungan kepada sesama. Hubungan kepada sesama disini, bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi kepada sesama makhluk ciptaan Allah atau umumnya dikenal dengan sebutan habluminanas.  

Sesungguhnya tiap -- tiap manusia terikat dengan apa yang telah diperbuat atau dikerjakannya, dan bukan terikat dengan apa yang telah dibacanya, dan atau dihafalkannya, dan atau dilagukannya, lebih -- lebih dalam bahasa yang tidak dipahami. Surat Ath Thuur ayat 21. Dan orang -- orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu  mereka  dengan  mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap -- tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.                                          

Sudah barang tentu, perbuatan dimaksud adalah perbuatan sesuai dengan perintah dan petunjuk Allah. Baik yang terdapat dalam ayat - ayat Allah yang tertulis ( Al Qur'an ), maupun ayat - ayat Allah yang tidak tertulis ( jagad raya seisinya ) yang telah diyakini dan diposisikan sebagai pedoman hidupnya. Sedangkan bagi saudara-saudaraku yang non muslim, silahkan menggunakan firman yang sesuai.

Apabila setiap orang telah dapat mewujud -- nyatakan segala perintah dan petunjuk Allah melalui satunya kata dengan perbuatan, alangkah bahagianya hidup ini, karena banyak orang yang termasuk dalam kelompok Al Hijr ayat 40. kecuali hamba - hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka  ( kelompok orang -- orang mukhlis, Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah Swt.). Atau dengan kata lain, kita tidak termasuk ke dalam kelompok surat Ash Shaff ayat 3, yaitu kelompok orang -- orang yang dibenci Allah, karena hanya membaca, menghafal, dan melagukan perintah dan petunjuk Allah ( Al Qur'an ) lebih -- lebih dalam bahasa yang tidak dimengerti, tetapi tidak mengerjakan apa yang dilakukannya tersebut.

Surat Ash Shaff ayat 2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Ayat 3. Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa - apa yang tidak kamu kerjakan.

Disini tampaknya ada sesuatu, yang luput dari penalaran atau pengajian selama ini. Mestinya setiap ritual yang dilakukan, dipahami makna yang terkandung didalamnya. Sehingga setiap ritual yang dilakukan, dimaknakan sebagai wahana atau sebagai tempat penggemblengan diri. Agar terbentuk manusia atau insan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. 

Akhirnya kembali kepada diri kita masing-masing, apakah mau meneruskan kebiasaan selama ini  atau mau berhijrah untuk memperbaiki diri sesuai perintah dan petunjuk-Nya. Pewujud-nyataan atau pengamalan perintah dan petunjuk Allah hakekatnya adalah merupakan upaya nyata dalam memelihara kesucian diri, kesucian jiwa dan kesucian hati. Atau dengan kata lain, asupan berupa makanan tan kasat mata ditujukan untuk memelihara Sang Suci agar tidak tercemar kesuciannya. Sehingga lancar kembalinya kesisi Yang Maha Suci, pada saatnya nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun