PENDAHULUAN
Awal tahun 2019, Indonesia menjadi salah satu diantara banyak negara di dunia yang terpapar COVID-19 atau Coronavirus Disease 2019. Virus COVID-19 berawal dari kota di China yang bernama Wuhan, yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tidak membutuhkan waktu yang lama, penyebaran virus ini mematikan sektor-sektor di suatu negara. Sektor dalam ekonomi, pendidikan, sosial, politik, dan bahkan kegiatan-kegiatan keagamaan pun mengalami dampak yang sangat signifikan.Â
Banyak perusahaan-perusahaan besar gulung tikar, meningkatnya pengangguran, stigma negatif yang menyebar seiring arus informasi yang luar biasa cepat, sekolah-sekolah ditutup dan kegiatan politik pun seakan berhenti sejenak karena pemerintah disibukkan oleh COVID-19. Data terbaru per 6 Juli 2021, kasus di Indonesia telah mencapai positif 2.417.788 orang, sembuh 1.994.573, dan meninggal 63.760. Data tersebut menunjukkan bahwa dampak yang disebabkan oleh COVID-19 sangatlah besar terhadap keberlangsungan hidup manusia.Â
Peristiwa ini memaksa manusia untuk bertahan sekaligus berjuang untuk melanjutkan hidup dengan gaya hidup yang tentu berbeda dari sebelumnya. Menjaga jarak, memakai masker, menghindari kerumunan dan mencuci tangan menjadi salah satu yang harus dilaksanakan sebagai konsekuensi agar bisa bertahan sekaligus berjuang. Program tersebut, disosialisasikan secara terus-menerus oleh berbagai pemangku kepentingan sebagai salah satu upaya memutus rantai penyebaran COVID-19 secara efektif.Â
Â
SOCIAL CAPITAL "GOTONG ROYONG"
Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 270,2 juta jiwa atau 3,49% dari total populasi dunia. Hasil ini berdasarkan pada data sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik periode 2020 [https://sensus.bps.go.id/main/index/sp2020]. Indonesia berada di peringkat keempat negara berpenduduk terbanyak di dunia setelah Tiongkok (1,42 miliar jiwa), India (1,37 miliar jiwa), dan Amerika Serikat (328 juta jiwa). Hal ini menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara yang paling cepat penyebaran COVID-19 di antara negara-negara ASEAN. Pola hidup juga menjadi salah satu penyebab terjadinya lonjakan kasus COVID-19 yang cukup signifikan di setiap harinya.
Istilah "Lockdown" menjadi salah satu yang cukup familiar di kalangan masyarakat selama wabah COVID-19 sejak awal tahun 2019. Penerapan lock down diselenggarakan di berbagai provinsi di Indonesia secara bertahap, meskipun pada praktiknya penerapan lockdown seolah-olah dilakukan dengan setengah hati.Â
Penerapan lockdown "setengah hati" ini bukan tanpa sebab, melainkan dikarenakan pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan 100% penduduknya selama masa pandemi.Â
Belum lagi kasus korupsi dana bansos menjadi suatu guncangan yang semakin memperburuk keadaan. Dalam keadaan ini, tentu reaktualisasi social capital sangat urgen untuk segera dilakukan mengingat wabah COVID-19 tidak serta merta hanya bisa diobati dengan obat generik, namun juga perlu adanya ikatan sosial yang kuat untuk saling memantik imunitas fisik dan psikis.
Program #DiRumahAja terus menerus digaungkan oleh pemerintah bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan. Program ini diharapkan mampu memutus rantai penyebaran virus. #DiRumahAja berdampak pada meningkatnya penggunaan gadget dengan berselancar di media sosial. Hal ini berdasarkan statistika yang dilakukan oleh official databoks periode 2019/2020.
Berdasarkan data tersebut, masyarakat Indonesia menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengakses media sosial meningkat dari tahun 2019 ke 2020. Media sosial WhatsApp, rerata digunakan selama 25,9 jam per bulan oleh setiap pengguna di tahun 2019, naik menjadi 30,8 jam per bulan pada pada tahun 2020, begitu pun penggunaan media sosial lainnya. Fenomena ini bisa berdampak positif atau bahkan negatif. Realitasnya masyarakat Indonesia dalam menyaring informasi yang beredar media sosial cenderung memiliki tingkat literasi yang cukup buruk. Sehingga mengakibatkan banyak beredar berita hoax terkait COVID-19. Tentu hal ini menyebabkan masyarakat mudah terprovokasi sebelum mencari tahu kebenarannya.
Peredaran arus informasi yang sangat cepat menjadi sangat sulit untuk dikendalikan. Stigma negatif dalam hubungan sosial pun muncul seiring dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di sekitarnya. Stigma negatif dalam konteks kesehatan adalah hubungan negatif yang terjadi antara seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri dan penyakit tertentu.
[https://pharmacious.farmasi.ugm.ac.id/juara-1-lomba-esai-pharmacious-2020/].
Hal tersebut memberikan peluang bagi perpecahan ikatan sosial yang selama ini dibangun melalui norma-norma sebagai social capital masyarakat Indonesia. Seseorang yang memiliki gejala COVID-19 terpaksa menyembunyikan penyakitnya karena khawatir dijauhi tetangga atau teman dekat. Orang-orang pun begitu mudah menjauhi orang lainnya hanya karena informasi yang tersebar di media sosial. Apabila keadaan ini terus berlanjut, tentu akan lebih berdampak negatif bagi kesehatan mental dibandingkan COVID-19.Â
Social Capital dalam masyarakat Indonesia menjadi salah satu problem solver dalam menghadapi stigma negatif seseorang atau kelompok. Reaktualisasi Social Capital saat ini merupakan saat yang tepat untuk menghadapi dampak yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Masing-masing wilayah harus berusaha berjuang secara mandiri melalui berbagai sumber daya yang tersedia. Nampaknya penerapan Social Capital menjadi obat yang mujarab terutama bagi ketahanan penderita COVID-19.
 Salah satu social capital yang terus digerakkan secara masif yakni semangat gotong royong antar individu untuk membangun kembali hubungan yang harmonis dalam masyarakat. Penerapan tersebut hampir semakin nyata terlihat jelas saat gelombang besar COVID-19 di tahun 2021.
Para penderita virus ini tidak lagi sungkan mengatakan penyakitnya secara sukarela karena percaya orang lain di sekitarnya akan mendukung proses penyembuhannya. Penulis sangat merasakan sebagai salah satu yang terdampak virus ini. Di saat seseorang di sekitar mengetahui penyakit yang dialami penulis, maka dengan spontan hampir seluruh anggota mengetahuinya dan saat itu juga memberikan dukungan secara mental secara silih berganti. Tidak berhenti sampai disitu, warga sekitar melalui lembaga non formal membentuk tim penyembuhan COVID-19. Lembaga ini mendukung secara penuh melalui swadaya masyarakat berupa makanan pokok, obat-obatan, dan operasional lainnya seperti mobil ambulance.Â
Para ahli di bidang masing-masing pun secara sukarela berbagi informasi yang akurat serta tips yang kredibel penanganan COVID-19. Warga masyarakat dengan antusias mengisi jadwal pemberian logistik bagi penderita. Inilah bagaimana social capital gotong royong menjadi salah satu penyembuh paling efektif bagi para penderita COVID-19. Suasana masyarakat yang harmonis melalui nilai gotong-royong merupakan modal besar bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan. Tidak dipungkiri, sejarah mencatat dengan tinta emas bahwa hanya dengan persatuan dan kesatuan, Indonesia bisa bertahan sampai detik ini.
Â
KESIMPULAN
Wabah pandemi yang terjadi mulai awal tahun 2019 menjadi salah satu pembelajaran yang sangat penting bagi perubahan pola hidup masyarakat di Indonesia bahkan di dunia. Program-program yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui berbagai pihak berdampak positif sekaligus negatif bagi seseorang atau kelompok. Arus informasi yang beredar melalui berbagai media sosial nyatanya berpengaruh pada stigma negatif antar individu atau kelompok. Stigma tersebut justru menjadi virus yang lebih berbahaya daripada COVID-19.Â
Stigma negatif hanya bisa dihilangkan melalui social capital yang sejatinya sudah lama dimiliki oleh masyarakat Indonesia, yaitu gotong royong. Gotong royong menjadi salah satu obat yang paling efektif bagi penderita COVID-19. Alih-alih merasa khawatir, penderita COVID-19 semakin percaya diri akan kesembuhannya karena energi yang tersebar di lingkungannya sangat positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H