Program #DiRumahAja terus menerus digaungkan oleh pemerintah bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan. Program ini diharapkan mampu memutus rantai penyebaran virus. #DiRumahAja berdampak pada meningkatnya penggunaan gadget dengan berselancar di media sosial. Hal ini berdasarkan statistika yang dilakukan oleh official databoks periode 2019/2020.
Berdasarkan data tersebut, masyarakat Indonesia menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengakses media sosial meningkat dari tahun 2019 ke 2020. Media sosial WhatsApp, rerata digunakan selama 25,9 jam per bulan oleh setiap pengguna di tahun 2019, naik menjadi 30,8 jam per bulan pada pada tahun 2020, begitu pun penggunaan media sosial lainnya. Fenomena ini bisa berdampak positif atau bahkan negatif. Realitasnya masyarakat Indonesia dalam menyaring informasi yang beredar media sosial cenderung memiliki tingkat literasi yang cukup buruk. Sehingga mengakibatkan banyak beredar berita hoax terkait COVID-19. Tentu hal ini menyebabkan masyarakat mudah terprovokasi sebelum mencari tahu kebenarannya.
Peredaran arus informasi yang sangat cepat menjadi sangat sulit untuk dikendalikan. Stigma negatif dalam hubungan sosial pun muncul seiring dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di sekitarnya. Stigma negatif dalam konteks kesehatan adalah hubungan negatif yang terjadi antara seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri dan penyakit tertentu.
[https://pharmacious.farmasi.ugm.ac.id/juara-1-lomba-esai-pharmacious-2020/].
Hal tersebut memberikan peluang bagi perpecahan ikatan sosial yang selama ini dibangun melalui norma-norma sebagai social capital masyarakat Indonesia. Seseorang yang memiliki gejala COVID-19 terpaksa menyembunyikan penyakitnya karena khawatir dijauhi tetangga atau teman dekat. Orang-orang pun begitu mudah menjauhi orang lainnya hanya karena informasi yang tersebar di media sosial. Apabila keadaan ini terus berlanjut, tentu akan lebih berdampak negatif bagi kesehatan mental dibandingkan COVID-19.Â
Social Capital dalam masyarakat Indonesia menjadi salah satu problem solver dalam menghadapi stigma negatif seseorang atau kelompok. Reaktualisasi Social Capital saat ini merupakan saat yang tepat untuk menghadapi dampak yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Masing-masing wilayah harus berusaha berjuang secara mandiri melalui berbagai sumber daya yang tersedia. Nampaknya penerapan Social Capital menjadi obat yang mujarab terutama bagi ketahanan penderita COVID-19.
 Salah satu social capital yang terus digerakkan secara masif yakni semangat gotong royong antar individu untuk membangun kembali hubungan yang harmonis dalam masyarakat. Penerapan tersebut hampir semakin nyata terlihat jelas saat gelombang besar COVID-19 di tahun 2021.
Para penderita virus ini tidak lagi sungkan mengatakan penyakitnya secara sukarela karena percaya orang lain di sekitarnya akan mendukung proses penyembuhannya. Penulis sangat merasakan sebagai salah satu yang terdampak virus ini. Di saat seseorang di sekitar mengetahui penyakit yang dialami penulis, maka dengan spontan hampir seluruh anggota mengetahuinya dan saat itu juga memberikan dukungan secara mental secara silih berganti. Tidak berhenti sampai disitu, warga sekitar melalui lembaga non formal membentuk tim penyembuhan COVID-19. Lembaga ini mendukung secara penuh melalui swadaya masyarakat berupa makanan pokok, obat-obatan, dan operasional lainnya seperti mobil ambulance.Â
Para ahli di bidang masing-masing pun secara sukarela berbagi informasi yang akurat serta tips yang kredibel penanganan COVID-19. Warga masyarakat dengan antusias mengisi jadwal pemberian logistik bagi penderita. Inilah bagaimana social capital gotong royong menjadi salah satu penyembuh paling efektif bagi para penderita COVID-19. Suasana masyarakat yang harmonis melalui nilai gotong-royong merupakan modal besar bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan. Tidak dipungkiri, sejarah mencatat dengan tinta emas bahwa hanya dengan persatuan dan kesatuan, Indonesia bisa bertahan sampai detik ini.
Â