Mohon tunggu...
Bang Syaiha
Bang Syaiha Mohon Tunggu... Guru | Penulis | Blogger | Writer | Trainer -

www.bangsyaiha.com | https://www.facebook.com/bangsyaiha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beginilah Seharusnya Pendidikan Terbaik Itu!

24 Mei 2016   08:46 Diperbarui: 24 Mei 2016   16:00 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam Al Quran dikatakan: “Kalian adalah umat terbaik yang diturunkan kepada manusia, kalian menyeru mereka untuk berbuat amal sholih dengan cara yang ma’ruf, dan mencegah orang-orang berbuat kemungkaran..”

Duh, indah sekali, bukan? Sampaikan ajakan berbuat baik dengan cara yang lembut dan hikmah. Nggak boleh memaksa apalagi sampai melakukan pembunuhan dan terorisme.

Bukannya simpatik, yang ada malah semakin menjauh dan antipati.

Saya bukan ahli agama, bukan lulusan pesantren. Tapi karena tiba-tiba saja yang melintas di kepala saya adalah tentang ayat di atas, maka mari kita bedah pelan-pelan sesuai apa yang saya pahami.

Terbuka kesempatan buat siapa saja untuk memberikan komentar, kritik dan saran, juga masukan. Monggo sampaikan saja di kolom komentar.

Mari kita mulai..

Pertama, ayat Al Quran diturunkan kepada nabi Muhammad untuk keperluan umat melalui malaikat Jibril. Petunjuk itu (Al Quran) diberikan untuk orang-orang semasa Rasulullah hidup dan memang akan selalu relevan untuk dipakai kapanpun.

Tidak terbatas ruang dan waktu.

Maka jika kita mau jujur, tentu saja ayat di atas ditujukan untuk: nabi Muhammad dan para sahabatnya di masa beliau masih hidup. Sebut saja Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

Mereka adalah orang-orang terbaik (umat terbaik) yang sudah di jamin masuk ke dalam surga. Sebuah tempat yang dirindukan banyak orang.

Siapa lagi yang jauh lebih baik dari mereka? Orang-orang yang berislam dengan taruhan harta dan jiwa! Orang-orang yang bahkan rela meninggalkan kampung halaman demi tetap kuatnya iman di dalam dada.

Maka merekalah umat paling baik di dunia. Nggak ada yang lain.

Ayat di atas juga menjadi penyemangat buat kita, bahwa bisa saja kita menjadi seperti mereka, menjadi umat terbaik asalkan memenuhi syarat-syaratnya.

Kedua, yang jadi pertanyaan berikutnya adalah: “Bagaimana caranya mereka menjadi umat terbaik?”

Tentu jawaban paling tepat adalah dengan mengikuti semua ajaran Islam secara sempurna. Tidak setengah-setengah, tidak mengambil yang enak lalu meninggalkan yang berat. Tidak.

Mereka tetap menggenggam ajaran Islam dengan penuh kesadaran dan kemampuan. Mereka saling berlomba dalam kebaikan dan malu jika sampai ketinggalan.

Ajaran Islam itu luas, meliputi segala aspek kehidupan. Ia tidak hanya aktivitas di tempat ibadah saja.

Tapi di lingkungan, di rumah-rumah, dan kehidupan sosial lainnya. Maka tidak heran jika Rasulullah bilang, “Orang yang paling baik diantara kamu adalah mereka yang paling baik akhlaknya (kepada siapapun).”

Ketiga, ini poin pentingnya, lalu bagaimana caranya Rasulullah membina mereka menjadi sedemikian hebat? Bagaimana pendidikan yang disampaikan Rasulullah?

Nah, jawaban dari pertanyaan ini akan menjadi sangat krusial jika kita melihat betapa buruknya pendidikan yang ada di negeri kita. Sebenarnya, jika kita mau mencontoh bagaimana Rasulullah merancang kurikulum pendidikannya, maka permasalahan pendidikan pasti bisa diatasi dengan gemilang.

Dan menurut saya yang bukan ahli agama ini, beginilah pendidikan ala Rasulullah itu:

Pilihlah Guru yang Paling Baik Akhlaknya

Dulu, ada yang bilang bahwa keberhasilan pendidikan adalah kurikulumnya. Anggapan ini dipegang cukup lama. Banyak sekolah yang memasukkan ini dan itu, sesuatu yang hebat untuk dipelajari dan dipahami.

Mereka kekeuh sekali bilang, “Sekolah yang bisa menelurkan orang-orang hebat adalah sekolah yang pelajarannya keren-keren. Kurikulumnya impor dan sebagainya.”

Ternyata mereka salah. Sekolah dengan kurikulum terbaik sekalipun tidak bisa menghasilkan generasi yang diharapkan. Mereka mungkin saja pintar dan mengerti banyak hal. Tapi kehidupan mereka kering, suka merusak lingkungan, dan senang mengambil hak orang banyak.

Sebaik apapun kurikulumnya, kalau guru yang mengajar nggak kompeten, maka hasilnya nol besar.

Maka anggapan pun berubah, bahwa yang paling penting dalam sebuah sistem pendidikan adalah gurunya.

Anggapan ini juga dipegang cukup lama. Jika ingin menghasilkan lulusan yang bisa diandalkan, maka guru yang mengajar harus keren akademiknya. Harus orang-orang yang ber-IQ dewa.

Tapi, setelah sekian lama diyakini, anggapan ini juga kurang tepat.

Anak-anak yang dihasilkan dari sistem pendidikan begini adalah mereka yang luar biasa pintar tapi tidak bersosial. Hampir sama dengan hasil pendidikan yang awal: lulusannya suka berbuat tidak sesuai harapan. Korupsi, maling uang negara, dan menyengsarakan rakyat.

Manusia yang dihasilkan banyak yang tidak bermoral. Kurang adab dan tata kramanya. Jadilah anak-anak cerdas isi kepalanya, tapi cacat hatinya.

Maka anggapan di atas diperbaiki menjadi: “Bahwa yang terpenting dalam sistem pendidikan adalah akhlak gurunya!”

Guru yang berakhlak baik tapi memiliki kecerdasan biasa saja, jauh lebih utama daripada guru yang cerdas bukan main tapi bejat.

Benar, bukan?

Tapi tentu saja, jika memungkinkan pilihlah kombinasi keduanya. Guru yang super cerdas dan akhlaknya mulia. Ini sempurna dan hebat sekali. Siswa yang dihasilkan dari didikan orang-orang ini, sebagian besar (jika tidak ingin bilang semua) pasti terjamin kualitasnya.

Cerdas dan beragama.

Pilihlah Guru Karena Panggilan Jiwa, Bukan Karena Gaji Semata

Keikhlasan adalah kunci dari setiap aktivitas. Apalagi bagi seorang guru. Dia yang mengajar dengan ikhlas dan tulus, akan jauh sekali bedanya. Siswa di kelas, secara tidak langsung juga pasti merasakan..

...mana guru yang tulus menyampaikan materi pelajaran dengan mana guru yang hanya menggugurkan kewajiban saja.

Dan kita semua sepakat, bukan? Bahwa untuk menghasilkan lulusan terbaik, maka guru yang mengajar adalah mereka yang memiliki panggilan jiwa ke arah sana. Bukan orang-orang yang terpaksa.

Karena hal itulah, maka bagi saya, memilih guru itu bukan karena ia lulusan pendidikan dan bergelar S.Pd saja. Jauh lebih penting adalah, pilihlah mereka yang memang benar-benar ingin mengabdi dan berbagi.

Pilihlah mereka yang memang terpanggil jiwanya untuk ikut membantu memperbaiki bangsa dan negara.

Orang-orang seperti ini akan mengajar anak-anak kita dengan kesungguhan. Tidak main-main dan selalu menyenangkan.

Buat Kurikulum Sebagai Kebutuhan

Jika kita bertanya ke anak-anak kita, “Apakah hal paling berat dan tidak kalian sukai di sekolah?”

Maka barangkali, jawaban mereka begini: “Kami tidak suka sekolah karena pelajarannya banyak. Susah dan membingungkan.”

Belum lagi ketika mereka menemukan sebuah fakta bahwa ternyata, pelajaran yang banyak itu, nanti, sebagian besar tidak mereka gunakan dalam kehidupan dan dunia kerja.

Seharusnya, ini menurut saya, kurikulum itu tidak dibuat di nasional. Tapi serahkan kepada dinas pendidikan masing-masing daerah. Biarkan setiap propinsi merancang sesuai kebutuhan dan kekhasan wilayah mereka.

Sejak SMA sederajat, sekolah seharusnya sudah dijuruskan sesuai minat. Tidak hanya IPA dan IPS saja. Itu terlalu umum!

Tapi seharusnya ada jurusan: peternakan, perkebunan, pertanian, kerajinan dan kesenian, administrasi dan perkantoran, perikanan dan kelautan, biologi, Matematika, Fisika, bisnis dan keuangan, serta banyak lagi.

Saya membayangkan, pasti luar biasa jika setiap daerah punya sistem pendidikan masing-masing. Punya keunggulana masing-masing. Misalnya: kalau mau belajar tentang peternakan sapi dan seluk beluknya, silakan ke Boyolali.

Jika ingin bersekolah dan mendalami ilmu perkebunan silakan ke Sumatera atau Kalimantan. Mau mengerti tentang pertanian silakan ke Jawa Barat.  

Guru-guru yang mengajar disana adalah guru-guru terbaik: ilmu dan akhlaknya. Sehingga moral dan sikap anak-anak akan bisa dikendalikan demi kesejahteraan hidup Indonesia.

Benar, bahwa semua jurusan itu ada di kuliah. Tapi bagi saya belum cukup. Akan lebih powerful jika sistem kuliah itu dimulai sejak SMA. Mereka dibagi sesuai keinginan dan minatnya.

Ajarkan Ilmu Secara Bertahap

Kembali ke ayat di awal tulisan ini: “Kalian adalah umat terbaik...”

Jika kita mau berpikir sejenak, bagaimana Rasulullah bisa menghasilkan orang-orang hebat seperti para sahabat? Jawabannya adalah:

...Rasulullah mengajarkan ilmunya sedikit demi sedikit. Pelan-pelan.

Buktinya ayat Al Quran diturunkan tidak sekaligus. Tapi diberikan sesuai kebutuhan. Ketika di masyarakat ada problematika yang mengganggu dan butuh solusi, barulah diberikan ayat Al Quran. Menjawab apa yang sedang menjadi permasalahan.

Ini juga mengajarkan kepada kita, bahwa mendidik anak-anak haruslah sesuai kebutuhan zaman. Sesuai apa yang sedang diperlukan.

Kita harus bisa menghasilkan generasi yang mampu bertahan di tengah hiruk pikuknya permasalahan, maka buatlah mereka tangguh. Berikan apa-apa yang memang mereka butuhkan saja dan jangan berlebihan.

Sekarang jaman digital, maka seharusnya pelajaran IT ada dan malah diperbanyak. Eh, pemerintah malah menghilangkan. Memasukkan pelajaran IT di setiap mapel yang lain.

Duh!

Beri Teladan yang Tepat

Untuk poin ini, sepertinya kita semua sudah paham. Bahwa teladan adalah kunci utama keberhasilan sebuah pendidikan.

Akhlak dan kebaikan Rasulullah tidak perlu dipertanyakan. Lihat saja, beliau sampai rela menyuapi seorang pengemis tua Yahudi di pinggiran pasar. Padahal, tuh pengemis saban hari menghina dan mencaci maki beliau.

Bayangkan begini..

Ada seorang pengemis yang kelaparan dan buta. Melihatnya kita iba. Lalu, kita berbaik hati dan memberinya makan. Eh, pas lagi makan malah ia menghina-hina kita dengan hinaan yang mengerikan.

Kita dibilang orang gila, tukang fitnah, suka mengganggu, dan sebagainya. Semua hinaan itu disampaikan dengan sungguh-sungguh. Si pengemis juga adalah orang normal (tidak gila). Sadar-sesadarnya akan apa yang dikatakan.

Jika di posisi demikian, apakah kita bisa bertahan tetap berbuat baik dan memberinya makan setiap hari?

Saya pribadi, sepertinya tidak tahan. Boleh jadi malah saya labrak tuh orang. Dasar nggak tahu diuntung.

Rasulullah adalah guru bagi umatnya kala itu. Ia mengajarkan banyak ilmu dan kebaikan. Dan luar biasanya, semua disampaikan hanya setelah Rasulullah mencontohkan.

Ini bukti keteladan. Penting sekali ada pada seorang guru.

Buat Kelas yang Nyaman

Bagaimana Rasulullah melakukan pendidikan kepada para sahabat ketika itu?

Begini..

Mereka berkumpul di sebuah rumah. Duduk di lantai dan melingkar. Membuka pembelajaran dengan mengingat betapa banyak kenikmatan yang sudah Allah berikan. Dalam kelas itu, Rasulullah sangat santun. Tidak bosan tersenyum dan sering memuji siswanya yang hadir (baca: sahabat Rasulullah).

Ali adalah gerbangnya Ilmu. Tidak ada yang lebih baik selain dia. Abu Bakar adalah orang yang nanti bisa masuk ke dalam surga dari pintu mana saja.  Umar adalah orang paling kuat dan pemberani. Abdullah bin Mas’ud adalah sahabat yang paling mengerti Al Quran.

Semuanya dipuji berdasarkan bakat dan keahlian masing-masing.

Amboi, maka nyaman sekali kelas itu.

Pembelajaran di kelas dibuka dengan membahas ayat-ayat Allah: bisa tentang alam, kehidupan sosial, keluarga dan rumah tangga atau apa saja.

Semua yang dibahas adalah apa-apa yang memang sedang tren dan menjadi pembicaraan masyarakat. Sehingga semua yang hadir akan fokus mengikutinya. Mereka sadar bahwa ilmu yang sedang dibagikan adalah bekal yang baik untuk menjawab tantangan di masyarakat.

Nah, jika semua hal di atas ada di sistem pendidikan kita, maka saya yakin sekali, Indonesia pasti akan kembali disegani.

Pilihkan guru yang tidak hanya pintar, tapi juga baik akhlaknya, pilihlah orang yang memang benar-benar mau mengajar dengan ikhlas, ajarkan pelajaran secara bertahap dan pelan-pelan, ciptakan kelas yang menyenangkan, serta berikan keteladanan.

Demikian.

Disclaimer: Tulisan juga diposting di BLOG PRIBADI penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun