Dulu, ada yang bilang bahwa keberhasilan pendidikan adalah kurikulumnya. Anggapan ini dipegang cukup lama. Banyak sekolah yang memasukkan ini dan itu, sesuatu yang hebat untuk dipelajari dan dipahami.
Mereka kekeuh sekali bilang, “Sekolah yang bisa menelurkan orang-orang hebat adalah sekolah yang pelajarannya keren-keren. Kurikulumnya impor dan sebagainya.”
Ternyata mereka salah. Sekolah dengan kurikulum terbaik sekalipun tidak bisa menghasilkan generasi yang diharapkan. Mereka mungkin saja pintar dan mengerti banyak hal. Tapi kehidupan mereka kering, suka merusak lingkungan, dan senang mengambil hak orang banyak.
Sebaik apapun kurikulumnya, kalau guru yang mengajar nggak kompeten, maka hasilnya nol besar.
Maka anggapan pun berubah, bahwa yang paling penting dalam sebuah sistem pendidikan adalah gurunya.
Anggapan ini juga dipegang cukup lama. Jika ingin menghasilkan lulusan yang bisa diandalkan, maka guru yang mengajar harus keren akademiknya. Harus orang-orang yang ber-IQ dewa.
Tapi, setelah sekian lama diyakini, anggapan ini juga kurang tepat.
Anak-anak yang dihasilkan dari sistem pendidikan begini adalah mereka yang luar biasa pintar tapi tidak bersosial. Hampir sama dengan hasil pendidikan yang awal: lulusannya suka berbuat tidak sesuai harapan. Korupsi, maling uang negara, dan menyengsarakan rakyat.
Manusia yang dihasilkan banyak yang tidak bermoral. Kurang adab dan tata kramanya. Jadilah anak-anak cerdas isi kepalanya, tapi cacat hatinya.
Maka anggapan di atas diperbaiki menjadi: “Bahwa yang terpenting dalam sistem pendidikan adalah akhlak gurunya!”
Guru yang berakhlak baik tapi memiliki kecerdasan biasa saja, jauh lebih utama daripada guru yang cerdas bukan main tapi bejat.