Penulis menceritakan kepada adik, bahwa umumnya wejangan atau nasehat luhur itu diberikan oleh para pendeta, kepada para kesatriya Pandawa. Para pendeta memberikan wejangannya, bahwa kesatriya itu hendaklah dapat melaksanakan Dwi Hasto, yang berarti 2 (Dwi)Â laku, dan memiliki 8 (Hasto) sifat dari isinya alam semesta atau jagad raya ciptaan Allah ini.Â
Dwi atau dua. Dari kata dua ini dapat mengingatkan kita, akan 2 keadaan berpasangan secara harmonis atas ciptaan Allah. Ada siang, ada malam. Ada laki -- laki, ada perempuan. Ada benar dan ada salah. Ada baik, ada buruk. Ada lembut, ada kasar. Ada batiniyah, ada lahiriyah. Ada nyata, ada gaib. Ada habluminallah, ada habluminannas, dan sebagainya, silahkan dikembangkan sendiri.
Dalam kisah begawan Dwi Hasto ini, kesatriya hendaklah selalu ingat dan melaksanakan, habluminallah dan habluminannas secara seimbang. Artinya, dalam pengamalan atau dalam pelaksanaan dari keduanya, jangan sampai kita beranggapan bahwa habluminallah lebih utama dari pada habluminannas, atau sebaliknya beranggapan bahwa habluminannas lebih utama dari habluminallah.
Kita sebagai manusia diciptakan di atas dunia ini, tentunya harus ingat ( Jawa = eling ) bahwa sesungguhnya ada yang menciptakan kita. Kita sebagai manusia hidup di atas dunia ini, tentunya harus ingat bahwa sesungguhnya ada yang menghidupkan kita. Siapa dia? Tidak lain Dia adalah Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kita dapat hidup di atas dunia ini karena diberi dzat hidup berupa Ruh Suci, yang merupakan sebagian dan bagian yang tidak terpisahkan dari Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci. Oleh karena itu, sesungguhnya kita atau manusia pada umumnya memiliki sifat -- sifat kesucian, atau sifat -- sifat ke-Illahian, layaknya sifat -- sifat Yang Maha Suci.
Kita harus dapat memelihara sifat -- sifat tersebut dengan benar dan baik, melalui agama yang kita anut, apapun agamanya. Karena apapun agama yang dianut seseorang meski berbeda nama, tetapi hakekatnya adalah sama, yaitu sama - sama untuk membangun manusia, agar menjadi insan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, sesuai syarat rukun agamanya masing -- masing.Â
Agar dapat memelihara sifat -- sifat kesucian atau sifat -- sifat ke-Illahian tersebut, kita wajib  membangun hubungan kita sebagai makhluk yang diciptakan, dengan Dia yang menciptakan. Membangun hubungan vertikal ini, umumnya dikenal dengan Habluminallah.
Dengan terbangunnya kita menjadi orang yang memiliki akhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, tidak akan ada artinya apa -- apa bila kita tidak dapat memberikan manfaat kepada pihak lain.Â
Oleh karena itu kita pun wajib berupaya memberikan manfaat kepada pihak lain, melalui tingkah laku, perbuatan dan tutur kata kita sehari -- hari, dengan selalu mengedepankan sifat pengasih dan penyayang kepada sesama. Bukan hanya kasih sayang kepada sesama manusia, tetapi juga kasih sayang kepada sesama makhluk ciptaan Allah. Membangun hubungan baik kepada pihak lain atau membangun hibungan horizontal ini, umumnya dikenal dengan Habluminannas.
Tetapi kita harus selalu ingat ( Jawa =Â eling ) bahwa hukum Allah atau hukum alam ini, cercipta dalam keadaan seimbang. Jadi pelaksanaan keduanya wajib seiring sejalan, tidak ada yang satu lebih utama dari yang lain. Karena kalau menganggap Habluminallah lebih utama dari yang lain, ini akan menggiring kita menjadi orang yang egois. Dan yang hanya mementingkan diri sendiri, yaitu hanya terfokus memelihara kemuliaan akhlak dan budi pekerti luhur kita saja, melalui agama yang kita anut apapun agamanya, Â tidak memperdulikan kepentingan pihak lain.
Sebaliknya bila kita menganggap Habluminannas lebih utama dari yang lain, ini akan menggiring kita menjadi orang yang takabur dan sombong. Karena hanya mementingkan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan lahiriyahnya saja berupa: sandang, pangan dan papan belaka. Dan yang tidak menutup kemungkinan akan dilupakan memelihara kemuliaan akhlak, dan budi pekerti luhur, oleh nafsu kita sendiri yang nyata -- nyata berkiprah atas kendali oleh iblis, setan dan sebangsanya.