Berdasarkan varietasnya, ada beberapa varietas tanaman lada yang umum diusahakan di Indonesia, misalnya lada lokal bangka, petaling I, petaling II, malonan I, lampung daun kecil, lampung daun lebar, chunuk, natar I, natar II, bengkayang, ciinten, dan lanjak. Berdasarkan sharing para petani lada di berbagai grup di media sosial, bisa ditarik simpulan bahwa macam varietas lada yang ditanam tidaklah terlalu penting karena rerata produksi dan tehnik perawatannya nyaris sama saja. Â
Yang lebih penting adalah bagaimana merawat tanaman lada itu dengan sebaik-baiknya karena pertanaman lada termasuk kepada pertanian intensif. Tanaman lada tidak bisa dibiarkan begitu saja setelah ditanam. Perawatan berkala, termasuk pemupukan, adalah hal yang bersifat wajib adanya. Janganlah jika sudah dikatakan bahwa lada varietas Y tahan terhadap penyakit X, lalu tidak dilakukan antisipasi terhadap pencegahan penyakit X itu. Di lapangan, sering kali teori tak seindah kenyataan.
Berdasarkan produknya, biji lada ada dua jenis, yakni lada hitam (black pepper) dan lada putih (white pepper). Lada putih dan lada hitam tadi asalnya adalah dari pohon yang sama, hanya saja, cara pengolahan buah hasil panenan yang kemudian membedakannya. Adapun lada putih dibuat dengan cara sebagai berikut:
Buah yang dipanen adalah buah yang sudah matang dan cukup tua. Ini ditandai dengan sudah kuning atau merahnya sepertiga bulir lada yang ada dalam satu tandan/tangkai buah. Umumnya buah lada untuk membuat lada putih ini sudah berumur tujuh bulan sampai delapan bulan dihitung sejak pertama kali keluar bunganya. Buah lada dimasukkan ke dalam karung goni, lalu direndam dalam air bersih selama 4-6 hari, tergantung kekerasan kulit buah lada. Setelah kulit buah lada melunak, lada lalu dibagi dua dalam karung goni. Karung diinjak-injak dan dibalik-balik agar kulit buah lada terlepas dari bijinya. Sebagian petani sudah menggunakan mesin pengupas untuk hal ini.Â
Proses selanjutnya adalah menjemur biji lada yang sudah terkelupas dari kulitnya tadi. Penjemuran biasanya berlangsung selama dua sampai tiga hari, tergantung panasnya terik matahari. Lada lalu ditampi untuk memisahkan kulit dan tangkai dari bijinya. Sebagian petani sudah menggunakan mesin pengipas untuk hal ini. Biji lada kemudian disimpan di tempat yang sejuk serta kering untuk dijual jika harga sudah membaik. Puncak harga lada di Indonesia biasanya ada pada bulan puasa sampai menjelang Hari Raya Idul Fitri. Selisih harganya bisa terpaut sangat jauh. Karena itu, biasanya petani menyimpan dulu lada putihnya sebelum dijual bila panen tidak bertepatan dengan saat membaiknya harga. Â
Penyimpanan bisa dilakukan sampai dengan tiga tahun dengan penjemuran ulang setiap enam bulan. Penyusutan selama penyimpanan nyaris tidak ada karena biji lada kering bersifat higroskopis alias suka menyerap uap air yang ada di udara. Beberapa teman petani lada mengatakan bahwa bobot lada putihnya malah bertambah setelah disimpan sekian lama.
Buah lada dipanen selagi masih belum tua, antara umur lima sampai enam bulan. Cirinya adalah bulir buah sudah bernas berisi, biji sudah mulai mengeras tapi belum ada yang menguning atau memerah. Buah hasil panenan langsung dijemur sambil dibuang tangkainya. Bila sudah kering, lada hitam langsung dijual atau disimpan dulu menunggu harga membaik. Harga lada hitam lebih murah dibanding harga lada putih.
Ada pun lada perdu dan lada panjat, kami uraikan perbedaannya sebagai berikut:
Lada panjat adalah jenis lada yang pertanamannya paling umum diusahakan di Indonesia dan di dunia. Bibitnya berasal dari stek (potongan batang) sulur panjat, dengan ciri setiap buku ruasnya memiliki akar lekat atau calon akar lekat. Â