"Ha..ha..ha...pelit. Kaya kok cuma nyumbang sepuluh ribu...!"
"Bapak kita yang nggak kaya aja paling nggak nyumbang seratus ribu!"
"Udah pelit, gak tahu malu lagi. Nyumbang sepuluh ribu aja pakai diumumin!"
Hanif tak tahan. Di sepanjang jalan ia menahan tangis. Begitu tiba di rumah, tangisnya pecah. Ibunya kaget dan panik.
"Hanif, kenapa? Kamu jatuh?"
Hanif menggeleng. Tangisnya mengeras.
"Kenapa, sayang?" Sang Ibu memeluknya
Dalam pelukan ibunya Hanif berusaha menghentikan tangis. Dadanya naik turun dengan cepat. Ia masih sulit berkata-kata.
Setelah reda, Hanif mulai bercerita. Dengan ucapan yang patah-patah ia bercerita tentang infak sepuluh ribu rupiah atas nama ayah. Tadi pagi ia menemui pengurus masjid untuk menginfakkan uang sepuluh ribu rupiah, yang ia sisihkan dari uang jajan. Ia minta agar infak itu diumumkan atas nama ayahnya, Ir. H. Abdul Manan. Hanif sangat ingin nama ayahnya disebutkan sebagai penyumbang renovasi masjid.
Mendengar cerita Hanif, perasaan sang ibu tak karuan. Ada perasaan geli, bangga, sedih, dan geram. Nampaknya rasa geram adalah yang paling utama. Tega betul anak-anak itu mengejek Hanif. Bagaimanapun, ia tak boleh menampakkan kegeraman itu.
"Oh, itu, sudah. Nggak apa-apa," ucap sang ibu lembut.