Sesungguhnya Jamal ingin menguji, hasratnya untuk meludahi wajah perempuan sudah hilang ataukah belum. Sudah setahun lebih berlalu. Selama menyendiri di kebun ia banyak merenung. Kenangannya pada Soraya menghangat.Â
Benarlah kata orang tua, bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Ia kini sudah rela, Soraya bukanlah jodohnya. Ia kenangkan perbuatannya yang keterlaluan, meminang anak dara orang hanya karena hendak membalaskan sakit hati. Untung tak satu pun menerima. Hasrat meludah wajah perempuan itu, mungkin teguran dari Tuhan atas perbuatan bodohnya itu.Â
Tapi mungkin ini cara Tuhan agar ia memperhatikan kebun peninggalan ayahnya. Emaknya meninggal semasa ia berusia sepuluh tahun. Selepas itu sekitar sepuluh tahun ia tinggal berdua saja dengan ayahnya. Mereka sangat dekat. Sebelum meninggal, ayahnya berpesan agar ia merawat kebun. Pesan yang tak ia jalankan, sebab kebun selalu membangkitkan laranya ditinggalkan ayah.
"Kate nak ke kedai kopi."
Jamal tersentak.
"Iye..iye..."
Perasaan Jamal berdebar-debar. Bagaimana bila nanti ia berjumpa dengan perempuan? Tapi sepertinya hasrat janggal itu sudah pergi. Mak Ramlah, perempuan pertama yang tak sengaja mereka jumpai, tak membuat Jamal ingin meludah. Di dekat kedai kopi, mereka berjumpa dengan Aminah, anak dara dari Kebun Nanas. Tak juga Jamal hendak meludah. Jamal tersenyum dalam hati.
Di dalam kedai kopi Jamal disambut oleh beberapa kawan lama. Kedatangannya yang tak disangka-sangka membuat gaduh suasana. Mereka berbual sana-sini, tertawa gelak, melepas rindu.Â
Tiba-tiba tak sengaja Jamal melihat seorang anak dara sedang membeli prata di bagian depan kedai kopi. Seorang gadis yang cantik hitam manis, entah siapa. Jamal tak kenal. Tapi wajahnya sekilas macam wajah Soraya. Seketika Jamal merasa tak nyaman. Menggelegak dalam dadanya hasrat untuk meludahi wajah anak dara itu.
Heri menangkap perubahan pada Jamal yang sangat tiba-tiba.
"Engkau kenape, Mal?"