"Ye, aku tahu."
Ceritalah apa sebab? Engkau sakit hati dan benci perempuan ke?"
"Payahlah nak cakap."
Walau Heri baik sangat, tak akan Jamal ceritakan kepadanya tentang hasrat meludah itu. Membagi rahasia dengannya macam membungkus tulang dengan daun talas. Bisa satu Kijang tahu semua. Hendak diletakkan di mana muka Jamal?
Tak boleh terus begini. Toko kian sepi. Walau tak pernah menyinggung teruknya penjualan, Jamal tahu Heri kecewa. Mungkin juga dia kesal atau marah. Tapi, itulah Heri. Tak sekalipun ia nampak cemberut. Selalu cerah dan banyak tawa. Hidup ini baginya macam kapuk yang diterbangkan angin. Ringan, sampai tiba masa terempas ke tanah. Entah di tanah sebelah mana.
Jamal tak boleh lagi ada di toko. Bahkan ia rasa, ia tak boleh tinggal dekat-dekat sini. Kalau masih di sini, tak mungkin ia tak jumpa perempuan. Pilihan yang paling mungkin ialah tinggal di kebun warisan ayahnya di Wacopek. Sekali-sekali ia bisa minta tolong Heri membawakanku beras. Kalaupun tidak, nantilah dipikirkan.
"Engkau ni apelah? Nak mengasingkan diri pula?" tanya Heri heran saat Jamal menyampaikan maksudnya.
"Jangan banyak tanyalah. Bantu saja aku!"
Nada suara Jamal yang agak meninggi, seperti biasa, tak membuat sahabat terbaiknya itu bermuka masam.
"Iyelah...iyelah."
***