Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia yang Menerobos Hujan

7 Oktober 2020   20:45 Diperbarui: 7 Oktober 2020   20:49 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ialah lelaki dari masa silam

Kepadanya kutitipkan cakrawala

Tetapi waktu menjadikannya tiada

Aku menarik napas dalam. Puisi ini sederhana, tapi menikam. Pasti Rara yang menulisnya. Pasti. Menerobos hujan, kembang ilalang, dan kupu-kupu adalah tanda yang jelas. Aku harus menemuinya. Tapi untuk apa? Lanjutan kisah seperti apa yang kubayangkan? Katakanlah puisi itu pesan untukku. Ya, Rara tahu pasti bahwa sedari dulu aku mengikuti setiap puisi yang dimuat di koran lokal itu. Katakanlah puisi itu isyarat cinta Rara untukku. Lalu apa? Aku tak mencintainya. Tidakkah perjumpaan itu nanti malah membuatnya punya harapan baru, harapan baru yang berujung pada sia-sia dan luka? Tidakkah lebih baik biarkan saja waktu memburamkan yang lalu sehingga gelap sempurna suatu ketika?

Atau, tidakkah aku mempertimbangkan satu hal? Rara telah kuabaikan satu kali di masa sekolah menengah dulu. Baru kusadari sekarang, tidak sekali dua Rara mengetuk pelan-pelan pintu hatiku. Ketika ia mengisahkan asal muasal namanya, sempat ia bilang,

"Kamu anak sulung, kan. Aku panggil kamu Abang, ya?"

Aku ketawa tanpa suara dan kukatakan kepadanya bahwa jika ia nyaman memanggilku Abang, maka silakan saja.

"Biar sama-sama merah," lanjutnya.

Tawaku semakin lebar. Masih tanpa suara. Tapi ia tak pernah memanggilku Abang jika ada teman yang lain. Hanya saat kami berdua. Dan kesempatan itu, sangatlah jarang.

Tidakkah sepatutnya untuk sekali ini aku tak mengabaikannya? Apa salahnya satu kali ini aku memberikan perhatian, menganggapnya ada? Pernah kubaca satu buku yang mengungkapkan perihnya diabaikan. Lebih baik dibenci daripada dianggap tak ada.

Tidakkah tergetar sedikit hatiku? Berbilang tahun telah lalu, Rara masih setia dengan khayalannya yang dulu, khayalan yang kuanggap sebuah canda sambil lalu. Tidakkah aku menyadari bahwa 'menerobos hujan' itu adalah satu metafora bagi keteguhan hati? Kebanyakan orang memilih berdiam, menanti hujan reda, untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Seseorang yang menerobos hujan adalah ia yang punya tekad kuat, punya cinta yang besar. Dikarenakan cinta, seorang ayah tak akan berhenti menanti hujan reda untuk menjemput anaknya yang seorang diri di ujung sana. Tidakkah kini aku mengerti bahwa melalui puisi itu Rara dengan halus hendak mengatakan kepadaku bahwa dialah sang penerobos hujan itu? Ditekadkannya untuk terus berjalan membawa asa yang silam sekalipun jalan hidup buram diguyur hujan yang lebat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun