"Kamu absurd!"
Aku menarik napas agak dalam, sebab aku akan bicara panjang sesudah ini.
"Ra, khayalanmu itu kan juga absurd. Tapi aku hargai. Kagum, malah. Kamu memberikan contoh baik. Tidak cuma kesetiaan, tetapi juga kegigihan."
Aku menarik napas agak dalam sekali lagi. Rara menghindar dari tatapanku.
"Sekarang, aku juga ingin melakukan seperti apa yang sudah kamu contohkan. Aku ingin setia dengan khayalanku, dengan janjiku. Aku harap kamu mengerti."
Rara pasti memerlukan waktu. Jadi, kubiarkan keheningan mengitari kami. Duh, Rara. Andai dia tahu betapa remuk hatiku telah membuatnya tersiksa begitu. Sungguh, kalaupun nanti aku pergi mencari perempuan masa kecil itu, aku pergi dengan tak sepenuh hati.
"Ya, Bang. Aku ngerti. Ikhlas."
Suara pelannya menyayatku. Perih. Mungkin aku telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupku.
"Sebelum kamu pergi, aku ingin memberimu sesuatu."
Tak menunggu jawabanku Rara masuk ke rumah, lalu kembali tak lama kemudian. Di tangannya ada sebuah amplop berwarna jingga.
Ia menarik napas agak dalam. Kurasa ia akan gantian bicara panjang.