Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gi

15 September 2020   06:00 Diperbarui: 15 September 2020   06:32 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang menyebutnya 'Gi". Ada kudengar 'Gi' itu berasal dari 'Legi', sebuah nama hari dalam kalender Jawa. Kurasa belum lama ia ada di kota kecil kami ini. Sekitar setahun. Orang-orang bilang ia gila. Rambut, jambang, misai, dan janggutnya panjang lagi kusut. Tubuhnya kotor dan bau. Setiap hari ia berkeliaran, tak tentu tujuan. 

Kadang-kadang dia di pasar, pelabuhan, atau melintas di barek-barek. Barek itu artinya kompleks perumahan, tempat pegawai perusahaan tambang tinggal. Kadang-kadang ia memanjat pokok jemang. Entah apa yang ia buat di atas sana. Mungkin sekadar makan buah jemang. Kadang-kadang beberapa hari ia tak nampak, mungkin berdiam di tepi hutan. Kata orang, ada sebuah rumah tua di sana, tempat ia biasa bermalam.

Ada kabar terhembus angin bahwa ia adalah seorang pejuang, mata-mata Republik yang tertangkap di Malaysia semasa konfrontasi. Di sana ia dipenjara, lalu disetrum listrik sehingga gila dan dikirim pulang ke Indonesia. Entah. Susah aku hendak percaya cerita ini. Aku punya alasan masuk akal untuk tak percaya. Tapi, orang-orang sesekali masih menceritakan kisah kepahlawanannya di kedai-kedai kopi. Mungkin karena dianggap berjasa sebagai pahlawan, orang-orang sering memberinya makan.

Seperti tadi kukatakan, aku tak percaya Gi gila karena kena setrum. Konfrontasi Indonesia-Malaysia terjadi awal tahun 60-an, sedangkan sekarang akhir 70-an. Ada jarak waktu sekitar enam belas atau tujuh belas tahun. Ia ada di sini baru sekitar setahun. Belasan tahun sebelumnya dia di mana? Ke daerah mana Malaysia dahulu memulangkannya? Bagaimana cara dia seperti tiba-tiba ada di sini?

Semakin dipikir, semakin aku tak percaya kisah setrum itu. Bahkan aku tak percaya dia gila. Begitulah menurut naluriku sebagai wartawan. Ada beberapa kali aku berpapasan dengannya dan beradu pandang. Sorot matanya tak seperti sorot mata orang gila. Tajam. Fokus. Pasti ia hanya pura-pura gila. Entah untuk maksud apa. Merinding aku tersebabkan oleh pikiranku sendiri. Berdesir darahku tersebab beradunya rasa ingin tahu dan rasa takutku. Tetapi akhirnya rasa ingin tahuku menang. Kutkadkan diri untuk menyelidiki Gi. 

Mulai hari itu kukumpulkan cerita apa pun dan dari siapa pun yang terkait Gi. Entah itu bualan atau cerita sebenarnya, tak kupedulikan dulu. Seperti sudah kukira, orang-orang hampir tak tahu apa-apa tentang Gi. Bahkan tak ada yang tahu siapa yang memulai kisah kepahlawanannya. Yang pasti, dia bukan orang sini. 

Tak ada keluarga atau kerabatnya di sini. Kota kami kecil. Penduduknya tak banyak, sehingga umumnya kami saling kenal satu sama lain. Soal keluarga dan kerabat ini pun sampai kulacak ke Tanjung Pinang dan Tanjung Uban. Kutunjukkan foto Gi, yang kupotret sembunyi-sembunyi, kepada orang-orang di kedua kota itu. Tak ada satu pun yang kenal. Walau tak banyak orang yang berhasil kutanya-tanya, kuat dugaanku Gi berasal dari luar Bintan.

Naluri jurnalistikku menuntunku untuk diam-diam memeriksa rumah tua di tepi hutan tempat Gi biasa bermalam. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di sana. Tapi untuk yang satu ini aku tak berani seorang diri. Aku perlu mencari satu dua orang kawan untuk menemani. Siapa yang kira-kira dapat kuyakinkan dan ada keberanian? Belum lagi niat itu kujalankan, tiba-tiba satu kejadian tak terduga aku alami.

Suatu siang di akhir pekan, tengah aku berjalan, dua orang lelaki yang tak kukenal mendekat.

"Bang Ahmad?" tanya salah seorang asing itu. Sepertinya bukan orang Melayu.

Aku sedikit heran, dia tahu namaku. Tapi, kujawab juga pertanyaannya dengan lugu.

"Iya, saya."

"Boleh kami ajak cakap sedikit?" Jelas, ia bukan orang Melayu. Atau ia sudah lama tak tinggal di tanah Melayu.

Kutatap kedua orang itu bergantian. Rasa was-was mulai merayap. Tapi, segera kubekap.

"Sile, cakaplah.  Apa yang dapat saya bantu?"

"Tak boleh di sini. Kita mesti cari tempat."

Aku menegang. Kuraba adanya bahaya. Aku menaruh syak, kedua orang ini ada maksud tak baik.

"Maaf Encik, saya tak ada waktu. Kalau nak cakap, cakaplah kat sini." Aku menolak, sembari mencari cara bagaimana lepas dari kedua orang ini.

"Abang harus ikut kami." Suara lelaki itu sedingin logam. Sementara, lelaki yang satu lagi, yang sedari tadi tak ada suara, menyingkapkan jaket kulitnya. Sebuah pistol terselip di pinggangnya.

Mereka membawaku masuk ke oto yang telah bersiap tak jauh dari tempat mereka mencegatku. Rupa-rupanya mereka bertiga. Satu orang sebagai pengemudi, satu orang juru bicara, satu lagi si penggertak. Kusebut saja begitu. Si juru bicara mengingatkanku agar aku bersikap wajar selayaknya seseorang berjumpa kawan. Jangan ada gerak-gerik yang mengundang kecurigaan. Mereka ini profesional, batinku.

Di dalam oto si juru bicara duduk di sebelah pengemudi, sedangkan si penggertak di sebelahku, di bangku belakang. Ke mana mereka akan membawaku? Siapa mereka? Ada persoalan apa denganku? 

Adakah hubungannya dengan pekerjaanku sebagai wartawan? Kuingat-ingat, apakah ada kasus atau berita sensitif yang sedang kuangkat? Ya, ada satu. Kasus penyelundupan tenaga kerja gelap ke Malaysia dan kematian misterius beberapa orang anggota sindikat penyelundupan. Salah satu sumberku membisikkan, mungkin ada orang penting yang terlibat dalam kasus ini.

Perdagangan orang merupakan persoalan pelik sekaligus mengerikan di Bintan. Banyak anak usia belasan tahun terpikat bujuk rayu buat bekerja di perkebunan kelapa sawit atau kakao di Malaysia. Janji upah besar menjadi daya jerat yang kuat. Terlebih bagi mereka, para anak nelayan miskin. Mereka berani bertaruh nyawa demi mengubah nasib. Tak sekali dua kapal-kapal motor gelap yang menyelundupkan mereka itu tenggelam karena kelebihan penumpang. Tak sedikit pun mereka jera. Sama saja. Pergi melaut mencari ikan pun boleh tenggelam. 

Kurang lebih sudah satu setengah tahun aku menyelidiki masalah ini. Beberapa tulisan investigatif telah kuangkat di surat kabar tempat aku bekerja. Selain itu, beberapa informasi penting sehubungan dengan sepak terjang sindikat ini kuteruskan ke kepolisian. Beberapa penangkapan telah dilakukan berdasarkan informasi dariku. 

Walaupun demikian, aku berkesimpulan, sukar sungguh menumpas habis sindikat penyelundup ini. Ada banyak jalur tikus menuju Malaysia yang tak mudah disapu oleh kapal patroli. Ada banyak anak remaja yang mudah digoda. Tak cuma dari Bintan, melainkan juga dari pulau-pulau sekitar. Tambahan pula, ada uang besar di bisnis perdagangan orang ini. 

Apa lagi, aku mencium tanda-tanda bahwa kapal-kapal gelap itu juga dipakai untuk lalu lintas obat-obatan terlarang. Semakin besarlah uang yang berputar di sana. Dan uang besar selalu mengundang pengkhianatan. Tak heran jika satu sumberku menyebutkan bahwa ada pejabat yang melindungi sindikat ini. Sejak itu, aku lebih berhati-hati untuk membagi informasi.

Lebih mendebarkan lagi karena sekitar setengah tahun terakhir ini ada beberapa orang yang dicurigai anggota sindikat mati terbunuh. Suatu pagi, seorang yang dikenal sebagai tekong ditemukan mati di Desa Berakit. Uluhatinya terkoyak belati.  Berakit adalah tempat pelabuhan siluman bagi kapal-kapal penyelundup. 

Di pagi yang lain seorang yang dicurigai sebagai pencari tenaga kerja tergeletak tak bernyawa di ujung pasar. Dadanya tertembus peluru dari jarak dekat. Selepas itu, ada beberapa pembunuhan lagi. Kalau tak dikoyak belati, ditembak dari jarak dekat. Memang tak semua korban pembunuhan itu terkait langsung dengan sindikat penyelundup. 

Bahkan salah seorang korban dikenal sebagai aktivis anti perdagangan tenaga kerja. Idan, korban itu, suka berbual di kedai kopi dan sering mengajak orang untuk berani menentang penyelundupan tenaga kerja. Terbunuhnya Idan sungguh membingungkan.

Satu sumberku membisikkan bahwa penembakan itu adalah pekerjaan aparat untuk menyapu bersih sindikat di tanah Bintan. Hukum resmi sudah tak mempan. Maka keadilan cara jalanan harus dilakukan. Aku sangsi. Kalau benar demikian, mengapa Idan turut pula jadi korban? Sang pembisikku hanya memberi jawaban singkat yang mengguncang pikiran, "jalan cerita tak pernah sederhana, kawan."

Ketika kusampaikan desas-desus ini kepada pemimpin redaksi dan kuutarakan niatku untuk menyelidikinya, ia melarangku. "Darah muda, janganlah terlalu bergelora." Begitu ia membagi nasihat.

Siapakah orang-orang yang membawaku ini? Anggota sindikat atau aparat? Aparat yang lurus atau yang khianat? Seketika aku disergap rasa takut. Aku menyangka mereka akan membawaku ke suatu tempat sepi. Tak sepenuhnya salah. Mereka membawaku ke sebuah kedai kopi. Kedai kopi yang sepi. Aku sedikit lega.

Bertiga saja kami ke kedai kopi. Sang pengemudi tetap di dalam oto. Berarti percakapan ini akan tak lama. Di luar persangkaanku, ini bukan soal sindikat. Melainkan soal Gi. Mereka bertanya mengapa aku gencar mencari tahu soal Gi. Dari mana mereka tahu bahwa aku mencari tahu? Pastilah mereka aparat. 

Yakin mereka bukan orang sindikat, aku mulai sedikit berani. Aku balas tanya, mengapa keingintahuanku tentang Gi penting bagi mereka. Setelah diam beberapa saat, sang juru bicara angkat bicara, sambil satu tangannya menunjukkan dompet berisi kartu pengenal. Benar. Aparat.

"Tolong Abang jawab saja pertanyaan saya." Nadanya yang sedingin logam itu sedikit menekan. Aku melirik si penggertak. Ia tak menunjukkan pistolnya kali ini. Walau merasa tak terancam, kupikir tak ada faedahnya kurahasiakan keingintahuanku terhadap Gi. Jadi, kuputuskan untuk menyampaikan apa adanya.

"Saya cuma heran."

"Heran apa?"

"Saya rasa Gi itu tak gila."

Si juru bicara agak terperanjat. Si penggertak menatapku lekat.

"Dari mana Abang tahu?"

"Naluri. Cerita Gi disetrum di Malaysia, itu bual saja. Tak kena di akal. Itu sebab saya nak cari tahu mengapa dia tiba-tiba muncul di Bintan ini dan pura-pura jadi orang gila."

Si juru bicara diam. Tampak ia seperti menimbang-nimbang pikiran. Aku merasa jauh lebih santai, dan terpikir olehku untuk meneguk kopi yang mulai dingin. Aku sudah mulai dapat mereka-reka. Gi pastilah kawan mereka. Petugas yang sedang menyamar. Tapi buat apa? Apa ada hubungan dengan sindikat penyelundup tenaga kerja? Atau ada hubungan dengan beberapa pembunuhan misterius itu?

"Sebaiknya Abang jauhi dia."

Sudah kuduga ia akan berkata begitu. Hanya, kalimat berikutnya membuatku tersentak.

"Daripada Abang celaka. Gi juga celaka."

Mereka berlebihan. Kalau pun berhasil kubongkar rahasia Gi sebagai aparat yang menyamar, tak akan kuberitakan kepada siapa pun. Malah, aku akan membantu agar penyamaran Gi lebih sempurna sehingga tak dapat dilacak oleh seorang wartawan yang ingin tahu semacam aku. Akan kubantu membuat cerita masa lalu Gi yang lebih masuk akal. Tapi, sudahlah.  Tak akan aku selidiki Gi lebih jauh, asalkan mereka mau menjawab dua pertanyaanku.

"Alasan saya menyelidiki Gi hanya karena dua pertanyaan. Bila Encik bantu saya jawab dua pertanyaan itu, akan saya jauhi Gi."

Tanpa menunggu respons keduanya, aku melanjutkan.

"Pertama, benarkah Gi itu petugas yang menyamar? Kedua, penyamarannya itu apakah terkait dengan sindikat penyelundupan tenaga kerja dan pembunuhan-pembunuhan misterius?"

Sang juru bicara, kalau tak salah Suhardi namanya, seperti yang tadi sekilas kubaca pada kartu pengenal, tak segera menjawab. Lagi, ia seperti menimbang-nimbang. Berhati-hati betul tampaknya. Mungkin ia heran, mengapa aku sedemikian berani di hadapan polisi. Aku sendiri hanya mencoba peruntungan. Kalau dijawabnya pertanyaanku, baguslah. Terjawab sudah teka-teki yang menggangguku. Kalau tak dijawabnya, sudahlah. Nanti kupikirkan cara lain.

"Ya, Gi rekan kami. Untuk yang kedua, kami tak bisa menjawab. Rahasia."

Itu artinya, benar kehadiran Gi ada kaitan dengan sindikat dan pembunuhan.

***

Ada yang tak biasa belakangan ini. Aku merasa jadi lebih sering berjumpa Gi. Ia seperti membayangiku. Atau kalau sedang tak ada Gi di sekitarku, aku selalu merasa ada seseorang yang mengikutiku. Aku merasa seperti terus diawasi oleh Gi atau oleh seseorang yang lain. Apa yang mereka takutkan dariku? 

Aku sudah berhenti menyelidiki Gi. Bahkan aku tak lagi gencar menyelidiki sindikat, khususnya terkait pembunuhan. Kalau benar pekerjaan aparat, aku pun menyetujui. Kesal dan geram aku melihat sindikat itu merusak kehidupan anak-anak remaja Bintan. Aku kini tengah sibuk menyelidiki kasus lain, penambangan pasir liar di Bintan Utara. Jadi, mengapa Gi dan kawan-kawan semakin ketat mengawasiku? Atau itu hanya perasaanku?

Suatu hari tengah aku berjalan di pasar, tiba-tiba seseorang menubrukkuTubuhku terhempas ke tanah. Jantungku berdetak keras. Bersamaan dengan itu terdengar suara tembakan. Disusul kemudian suara seseorang yang mengerang sakit. Suara orang yang menubrukku. Gi!

Orang-orang memekik ketakutan. Terdengar langkah orang berlari dan dua tiga kali letusan di udara. Aku merasakan nyeri di kepala sebelah belakang dan sedikit sesak karena tertimpa tubuh Gi. Apa yang terjadi? Seseorang berusaha membunuhku, lalu Gi menyelamatkanku?

Beberapa orang mengangkatku, kemudian melarikanku ke rumah sakit. Aku tak tahu apa yang terjadi pada Gi, tapi belakangan kudengar ia mati. Selama di rumah sakit aku selalu berada dalam penjagaan ketat. "Abang dalam bahaya," kata salah seorang penjaga. Benar. Ada yang hendak membunuhku. Mengapa?

Tak ada luka serius, sehingga satu malam saja aku di rumah sakit. Selesai observasi, aku diperkenankan meninggalkan rumah sakit. Tapi, aku tak boleh pulang. Para penjaga membawaku dengan ambulans menuju ke suatu tempat, kurasa sebuah paviliun. Paviliun yang mewah. Di situlah aku tinggal dan dijaga ketat.

Pikiranku kacau. Takut, rasa tak aman, dan rasa bersalah karena Gi mati untuk melindungiku. Kepada setiap penjaga aku bertanya, apa yang telah terjadi. Tak ada satu pun yang bicara. Semua bungkam. Satu orang saja yang pernah mengatakan kepadaku, "tunggulah beberapa hari lagi."

Beberapa hari kemudian ada kesibukan yang meningkat di paviliun. Ada orang penting yang datang. Seorang Kapolda provinsi sebelah. Seseorang yang telah lama kujauhi, kuhindari, tak kubenci, tak juga kusukai, tapi kuakui kurindui:  Ayah.

Mengapa Ayah di sini? Kuingat lagi pertengkaran hebat kami selepas aku lulus SMA. Ayah berkeras agar aku jadi polisi atau tentara. Aku punya cita-cita lain, jadi wartawan. Lama kami berdebat. Mungkin caraku sebagai anak muda ketika menyanggahnya mengesalkan Ayah, sehingga terlepas amarahnya. Ia mengusirku. 

Kuingat ucapannya yang membuatku membara, tak akan aku sanggup hidup di luar sana tanpa bantuannya. Oi, pantang aku ditantang. Pergi aku dari rumah. Tangis pilu Emak tak sanggup menahanku. Tak pernah kuinjakkan kaki lagi di rumah Ayah dan Emak. Tapi selalu ada waktuku buat menelepon Emak.

Berbelas tahun kuhadapi hidup seorang diri. Selepas kuliah, tak sengaja aku terdampar di Bintan. Ada rasa was-was waktu itu kalau-kalau Ayah ditugaskan di sini. Kalau sampai itu terjadi, maka aku akan angkat kaki ke daerah lain. Sedapat mungkin kuhapus setiap jejak yang menghubungkan aku dengan Ayah. Itu sebab hampir-hampir tak ada yang tahu aku anak seorang pejabat kepolisian. 

Ayah memelukku. Kudiamkan. Kurasakan air matanya jatuh di sekitar bahuku. Kudiamkan. Diucapkannya kata-kata meminta maaf. Kudiamkan. Masih banyak sisa marahku rupanya, walau kutahu dulu itu ia terbawa emosi seketika. Bahkan, bila kupikir-pikir, ada baiknya Ayah dulu menantangku pergi. Aku ditempa oleh keras kehidupan. Aku ditempa untuk menjadi lelaki. Tapi mengapa sekarang Ayah ada di sini? Iakah di balik semua ini?

Selepas urusan rindu-merindu itu Ayah mulai menceritakan semua yang menjadi tanda tanya bagiku.

"Kau sangka kau wartawan hebat?" Ayah memulai dengan nada menyangsikan.

Aku sedikit tersinggung. Masih belum berubah perangainya. Sering menyakitkan kalau berucap. Tapi sudahlah. Sudah tabiat.

"Iya kau hebat."

Hah, apa pula ini? Kali ini dipujinya aku?

"Kau berhasil mengorek sepak terjang sindikat penyelundup tenaga kerja itu."

Iyalah. Memang aku sehebat itu, banggaku dalam hati.

"Tapi kau tak sadar, sudah lama kau jadi sasaran mereka untuk dilenyapkan."

Aku tersengat. Aku memang pernah kuatir. Tapi, tak pernah ada ancaman serius. Kalau surat kaleng, biasalah.

"Kau tak tahu. susah kami menjagamu."

Apa pun yang terjadi di masa lalu, Ayah tetap menganggap keselamatanku adalah tanggung jawabnya. Ketika tahu sepak terjangku membongkar sindikat perdagangan tenaga kerja di Bintan, Ayah berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Riau untuk melindungiku. Ayah bahkan menitipkan salah seorang ajudan terbaiknya untuk mengawasiku. Gi. Selain Gi, ada lagi beberapa polisi yang bergantian menjagaku.

Lima kali mereka berusaha melenyapkanku. Tetapi berkat kewaspadaan Gi dan polisi lain, semua berhasil digagalkan. Satu orang terpaksa ditembak mati karena melawan. Sengaja mayatnya beberapa waktu dibiarkan agar orang menganggapnya sebagai salah satu korban pembunuhan misterius.

"Siapa dia punya nama?" tanya Ayah kepada salah seorang anggota kepolisian.

"Idan, Jendral."

Terperanjat aku ketika nama itu disebutkan. Idan, aktivis anti penyelundupan orang itu, adalah salah seorang anggota sindikat yang hendak membunuhku? Sukar aku hendak percaya.

"Idan? Aku kira dia mati karena balas dendam sindikat kepada polisi?', ucapku dengan nada tak percaya.

"Dendam?"

"Orang-orang sindikat yang mati. Pekerjaan polisi, kan?"

Ayah terbahak.

"Itulah. Kau pikir kau hebat. Kau tak paham betapa peliknya permainan."

Pening kepala aku. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apakah selama ini aku telah terbodohi oleh diriku yang merasa sebagai wartawan hebat?

"Pembunuhan-pembunuhan itu, sindikat yang lakukan." Ucapan Ayah lagi-lagi membuatku heran. Mengapa mereka membunuh anggota mereka sendiri?

"Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui," ucap Ayah janggal.

"Aku tak paham."

"Sebagian yang mati itu, anggota kepolisian yang menyamar. Penyamaran mereka terbongkar."

Kepolisian dan sindikat sama-sama menanam orang. Ada anggota polisi yang disusupkan ke organisasi sindikat. Sementara itu, ada pula orang-orang sindikat di kepolisian dan di tengah-tengah masyarakat. Terbongkarnya penyamaran anggota polisi itu adalah karena informasi dari dalam. Seorang perwira menengah telah lama dicurigai.

Mereka bunuh mata-mata polisi itu, kemudian sengaja mereka hembuskan kabar bahwa pembunuhan itu adalah pekerjaan polisi. Dibuatlah cerita seolah-olah polisi tak sanggup lagi menghadapi sindikat dengan hukum resmi, sehingga mengambil tindakan cara jalanan. Sandiwara mereka berhasil, sehingga kepolisian daerah disoroti dan telah pula dilakukan investigasi internal. Jadi, informasi yang selama ini aku terima itu palsu. Malu hati aku, telah dengan mudah terpedaya.

Tujuan utama mereka hanya satu, membuat polisi disibukkan oleh investigasi internal dan lengah terhadap sindikat. Mereka berencana mendatangkan obat-obatan terlarang dalam jumlah besar, sehingga merasa perlu mengalihkan perhatian polisi. Rencana mereka tercium aparat. Ada peran Gi yang sangat besar atas bocornya rencana jahat ini. Itulah sebab mengapa polisi agak panik ketika aku mulai bertanya-tanya soal Gi. Selama ini rahasia penyamaran Gi terjaga rapat.

Satu lagi informasi dari Gi. Akan ada usaha pembunuhan terhadapku yang lebih berani dan brutal. Itulah sebab penjagaanku kian diperketat. Ayah tak ingin aku terbunuh. Hampir saja mereka berhasil, kalau tak ada Gi. 

Tapi aku curiga. Tak kulihat kesedihan saat Ayah menyebut Gi. Apakah Gi masih hidup?

Ayah memintaku -- memerintahkanku -- untuk tetap tinggal di paviliun itu selama beberapa hari ke depan. Kepolisian sudah ada di tahap akhir untuk mengambil tindakan. Sudah cukup bukti untuk menangkap sang perwira menengah. Letak persembunyian orang nomor satu dalam organisasi sindikat penyelundup telah pula diketahui. Sindikat itu sudah diambang kehancuran. Selepas itu, aku akan aman.

Riau bukan wilayah tugas Ayah. Jadi, setelah memastikan keselamatanku, ia harus segera kembali ke provinsi sebelah. Petang itu juga ia akan berangkat.

Aku menahannya sebentar. Kupaksa ia menjelaskan nasib Gi.

"Ayah macam tak sedih dengan nasib Gi. Apa Gi masih hidup?"

Ayah tersenyum.

"Anggap saja dia dah mati. Kau tak akan pernah menemuinya lagi. Kalau pun berjumpa, kau tak akan mengenalinya.  Tak akan."

Tak jelas sangat apa yang Ayah maksudkan. Tapi dapat kupastikan, Gi masih hidup. Lega sungguh.

"Sampaikan terima kasihku kepada Gi."

Ayah tersenyum lagi.

"Pulanglah. Emak rindu."

Aku memeluk lelaki yang hampir purna tugas itu. Erat. Hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun