Yakin mereka bukan orang sindikat, aku mulai sedikit berani. Aku balas tanya, mengapa keingintahuanku tentang Gi penting bagi mereka. Setelah diam beberapa saat, sang juru bicara angkat bicara, sambil satu tangannya menunjukkan dompet berisi kartu pengenal. Benar. Aparat.
"Tolong Abang jawab saja pertanyaan saya." Nadanya yang sedingin logam itu sedikit menekan. Aku melirik si penggertak. Ia tak menunjukkan pistolnya kali ini. Walau merasa tak terancam, kupikir tak ada faedahnya kurahasiakan keingintahuanku terhadap Gi. Jadi, kuputuskan untuk menyampaikan apa adanya.
"Saya cuma heran."
"Heran apa?"
"Saya rasa Gi itu tak gila."
Si juru bicara agak terperanjat. Si penggertak menatapku lekat.
"Dari mana Abang tahu?"
"Naluri. Cerita Gi disetrum di Malaysia, itu bual saja. Tak kena di akal. Itu sebab saya nak cari tahu mengapa dia tiba-tiba muncul di Bintan ini dan pura-pura jadi orang gila."
Si juru bicara diam. Tampak ia seperti menimbang-nimbang pikiran. Aku merasa jauh lebih santai, dan terpikir olehku untuk meneguk kopi yang mulai dingin. Aku sudah mulai dapat mereka-reka. Gi pastilah kawan mereka. Petugas yang sedang menyamar. Tapi buat apa? Apa ada hubungan dengan sindikat penyelundup tenaga kerja? Atau ada hubungan dengan beberapa pembunuhan misterius itu?
"Sebaiknya Abang jauhi dia."
Sudah kuduga ia akan berkata begitu. Hanya, kalimat berikutnya membuatku tersentak.