Perdagangan orang merupakan persoalan pelik sekaligus mengerikan di Bintan. Banyak anak usia belasan tahun terpikat bujuk rayu buat bekerja di perkebunan kelapa sawit atau kakao di Malaysia. Janji upah besar menjadi daya jerat yang kuat. Terlebih bagi mereka, para anak nelayan miskin. Mereka berani bertaruh nyawa demi mengubah nasib. Tak sekali dua kapal-kapal motor gelap yang menyelundupkan mereka itu tenggelam karena kelebihan penumpang. Tak sedikit pun mereka jera. Sama saja. Pergi melaut mencari ikan pun boleh tenggelam.Â
Kurang lebih sudah satu setengah tahun aku menyelidiki masalah ini. Beberapa tulisan investigatif telah kuangkat di surat kabar tempat aku bekerja. Selain itu, beberapa informasi penting sehubungan dengan sepak terjang sindikat ini kuteruskan ke kepolisian. Beberapa penangkapan telah dilakukan berdasarkan informasi dariku.Â
Walaupun demikian, aku berkesimpulan, sukar sungguh menumpas habis sindikat penyelundup ini. Ada banyak jalur tikus menuju Malaysia yang tak mudah disapu oleh kapal patroli. Ada banyak anak remaja yang mudah digoda. Tak cuma dari Bintan, melainkan juga dari pulau-pulau sekitar. Tambahan pula, ada uang besar di bisnis perdagangan orang ini.Â
Apa lagi, aku mencium tanda-tanda bahwa kapal-kapal gelap itu juga dipakai untuk lalu lintas obat-obatan terlarang. Semakin besarlah uang yang berputar di sana. Dan uang besar selalu mengundang pengkhianatan. Tak heran jika satu sumberku menyebutkan bahwa ada pejabat yang melindungi sindikat ini. Sejak itu, aku lebih berhati-hati untuk membagi informasi.
Lebih mendebarkan lagi karena sekitar setengah tahun terakhir ini ada beberapa orang yang dicurigai anggota sindikat mati terbunuh. Suatu pagi, seorang yang dikenal sebagai tekong ditemukan mati di Desa Berakit. Uluhatinya terkoyak belati. Â Berakit adalah tempat pelabuhan siluman bagi kapal-kapal penyelundup.Â
Di pagi yang lain seorang yang dicurigai sebagai pencari tenaga kerja tergeletak tak bernyawa di ujung pasar. Dadanya tertembus peluru dari jarak dekat. Selepas itu, ada beberapa pembunuhan lagi. Kalau tak dikoyak belati, ditembak dari jarak dekat. Memang tak semua korban pembunuhan itu terkait langsung dengan sindikat penyelundup.Â
Bahkan salah seorang korban dikenal sebagai aktivis anti perdagangan tenaga kerja. Idan, korban itu, suka berbual di kedai kopi dan sering mengajak orang untuk berani menentang penyelundupan tenaga kerja. Terbunuhnya Idan sungguh membingungkan.
Satu sumberku membisikkan bahwa penembakan itu adalah pekerjaan aparat untuk menyapu bersih sindikat di tanah Bintan. Hukum resmi sudah tak mempan. Maka keadilan cara jalanan harus dilakukan. Aku sangsi. Kalau benar demikian, mengapa Idan turut pula jadi korban? Sang pembisikku hanya memberi jawaban singkat yang mengguncang pikiran, "jalan cerita tak pernah sederhana, kawan."
Ketika kusampaikan desas-desus ini kepada pemimpin redaksi dan kuutarakan niatku untuk menyelidikinya, ia melarangku. "Darah muda, janganlah terlalu bergelora." Begitu ia membagi nasihat.
Siapakah orang-orang yang membawaku ini? Anggota sindikat atau aparat? Aparat yang lurus atau yang khianat? Seketika aku disergap rasa takut. Aku menyangka mereka akan membawaku ke suatu tempat sepi. Tak sepenuhnya salah. Mereka membawaku ke sebuah kedai kopi. Kedai kopi yang sepi. Aku sedikit lega.
Bertiga saja kami ke kedai kopi. Sang pengemudi tetap di dalam oto. Berarti percakapan ini akan tak lama. Di luar persangkaanku, ini bukan soal sindikat. Melainkan soal Gi. Mereka bertanya mengapa aku gencar mencari tahu soal Gi. Dari mana mereka tahu bahwa aku mencari tahu? Pastilah mereka aparat.Â