Singkat cerita, para darah muda yang idealis ini sepakat untuk mencalonkan Tino Tajupat. Satu kelompok kecil diutus untuk membujuk sang pengusaha muda agar mau menjadi calon perdana menteri.Â
Tino Tajupat menolak. Ia merasa cukup cerdas untuk tak berkubang di dunia politik yang baginya busuk dan culas. Akan tetapi, tim pembujuk itu adalah anak-anak muda yang gigih, yang darahnya mudah menggelegak setiap kali merasa tanah air memanggil mereka. Dengan berbagai macam cara mereka berhasil meluluhkan hati Tino Tajupat. Demi negeri ini, pikirnya.
"Tapi saya tak mau politik yang kotor."
"Tidak. Kami pun anti politik kotor."
"Tak ada mahar!"
"Tak ada mahar."
"Saya tak mau keluar uang banyak untuk biaya kampanye."
"Kami akan cari sendiri."
"Saya pun tak bisa luangkan banyak waktu untuk kampanye. Ada bisnis yang harus saya urus."
"Abang tenang saja. Kami yang urus. Ini zaman digital. Kita akan banyak main di platform digital. Tak akan makan banyak waktu Abang."
Para anak muda ini bergerak cepat. Waktu mereka tak lagi banyak. Semua jaringan yang mereka punya segera digerakkan. Mereka berbagi tugas. Ada yang mengurus semua persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon independent.Â