Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Perdana Menteri

11 September 2020   16:57 Diperbarui: 11 September 2020   16:55 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tino Tajupat. Nama yang aneh. Ia Perdana Menteri baru Negara Angin Tenggara yang terpilih melalui pemilihan umum paling brutal, aneh dan sekaligus lucu. Ia adalah calon yang sekonyong-konyong diajukan menjelang batas akhir pendaftaran. Ia sama sekali tak diunggulkan. 

Ia bahkan mungkin sekadar lelucon. Tak satu lembaga surveipun yang memperhitungkannya. Dalam setiap jajak pendapat tak sampai satu persen pemilih yang berniat memilihnya. Gila!

Dua pesaingnya adalah orang-orang kuat di negeri itu. Masing-masing memiliki massa yang besar dan fanatik. Kedua kubu selalu saring serang. Aib masing-masing calon diungkapkan, ditiup-tiup agar merebak ke mana-mana. Udara politik menjadi bau pesing dibuatnya. Entah benar entah tidak isu yang dihembuskan, orang tak peduli. 

Yang penting pihak seberang harus dijatuhkan, diinjak, dihinakan. Akan tetapi, masing-masing kubupun punya tim yang ahli memoles calon mereka. Masing-masing calon dicitrakan sebagai sosok heroik, sederhana, peduli, giat bekerja, patriotik, visioner, dan lain-lain. Apapun yang dihinakan oleh pihak seberang ditanggapi sebagai kabar bohong. 

Sebagian isu dipilih untuk dijadikan ancaman kepada pihak yang menyerang berupa tuntutan ke pengadilan. Tak satupun yang maju ke pengadilan. Sebagian isu yang dinilai berharga justru direkayasa menjadi keunggulan calon yang diserang. 

Misal, sang calon berkata kasar, maka ia dibela sebagai orang yang tegas. Jika sang calon lambat mengambil sikap atas satu perkara yang sedang ramai, maka ia dikatakan oleh pendukungnya sebagai orang yang penuh pertimbangan.

Sedemikian hebatnya perseteruan kedua kubu membuat rakyat kebanyakan merasa perlu untuk ambil bagian. Mereka merasa perlu menentukan identitas. Pihak sini atau pihak sana. 

Dengan pengetahuan seadanya mereka maju berperang di berbagai media sosial dan percakapan sehari-hari. Bagi sebahagian mereka, ini adalah misi mulia menyelamatkan negeri. Kalau sampai pihak seberang yang menang, maka petaka bagi negeri.

Dalam situasi genting begitu ada sekelompok anak muda yang risau dan rutin menyelenggarakan diskusi. Apa yang dapat mereka lakukan? Untuk menyadarkan kedua kubu agar lebih menggunakan akal sehat dirasa percuma. Tiba-tiba ada yang mengusulkan untuk mengajukan calon alternatif. Calon ketiga. Tapi siapa? 

Calon itu mestilah terkesan tak condong ke mana-mana. Hanya, tokoh yang tak condong itu tampaknya sudah tak ada. Semua telah terbelah menjadi pihak sini dan pihak sana. Entah usul dari mana, muncullah nama Tino Tajupat.

Ia seorang pengusaha muda yang sedang naik daun.  Belum begitu dikenal, tapi sudah mulai diidolakan oleh anak-anak muda. Ia belum populer, sama sekali tak terlibat politik, dan tak pernah mengucapkan sesuatu yang beraroma politik kepada publik.

Singkat cerita, para darah muda yang idealis ini sepakat untuk mencalonkan Tino Tajupat. Satu kelompok kecil diutus untuk membujuk sang pengusaha muda agar mau menjadi calon perdana menteri. 

Tino Tajupat menolak. Ia merasa cukup cerdas untuk tak berkubang di dunia politik yang baginya busuk dan culas. Akan tetapi, tim pembujuk itu adalah anak-anak muda yang gigih, yang darahnya mudah menggelegak setiap kali merasa tanah air memanggil mereka. Dengan berbagai macam cara mereka berhasil meluluhkan hati Tino Tajupat. Demi negeri ini, pikirnya.

"Tapi saya tak mau politik yang kotor."

"Tidak. Kami pun anti politik kotor."

"Tak ada mahar!"

"Tak ada mahar."

"Saya tak mau keluar uang banyak untuk biaya kampanye."

"Kami akan cari sendiri."

"Saya pun tak bisa luangkan banyak waktu untuk kampanye. Ada bisnis yang harus saya urus."

"Abang tenang saja. Kami yang urus. Ini zaman digital. Kita akan banyak main di platform digital. Tak akan makan banyak waktu Abang."

Para anak muda ini bergerak cepat. Waktu mereka tak lagi banyak. Semua jaringan yang mereka punya segera digerakkan. Mereka berbagi tugas. Ada yang mengurus semua persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon independent. 

Ada yang mulai membangun citra Tino Tajupat di publik. Ada yang menggalang dana. Entah masyarakat mulai bosan dengan kerasnya perseteruan kubu dua kandidat kuat, entah karena sebab lain, dana sangat mudah dikumpulkan. 

Melalui konten kampanye yang kreatif nama Tino Tajupat semakin luas dikenal. Tapi waktu memang tak banyak. Meski semakin dikenal, jajak pendapat menunjukkan bahwa sang calon alternatif dadakan ini tak akan menang.

Di sisi lain, perseteruan dua kubu kuat semakin runcing, sangar dan tambah brutal. Suami bercerai dengan istri karena berbeda pilihan. Sahabat lama memutuskan hubungan karena saling berseberangan. Adik bermusuhan dengan kakak karena berbeda kubu. Anak dianggap durhaka karena berpihak ke calon yang tak disukai bapak.

Boleh jadi ketegangan yang menguras emosi dan energi ini membuat orang sedikit demi sedikit merasa lelah dan ingin menyudahi. Boleh jadi, karena gencarnya kampanye hitam dari kedua kubu kuat ini membuat pendukung masing-masing kubu termakan keraguan terhadap calonnya sendiri. Jangan-jangan betul yang ditudingkan oleh pihak seberang. 

Apa lagi, para anak muda penggagas calon alternatif itu piawai betul memoles Tino Tajupat dengan cara yang elegan, tak berlebihan. Mereka menggunakan cara berbeda untuk mendekati calon pemilih dari berbagai segmen usia. 

Ditambah pula, dua kubu kuat tak punya selera untuk mengungkit-ungkit keburukan calon alternatif yang anak bawang ini. Boleh jadi karena bauran semua itu Tino Tajupat menjadi semacam hembusan angin sejuk dan segar di musim kemarau yang kering. Angin yang diharapkan membawa mendung untuk kemudian jatuh sebagai hujan.

Maka yang terjadi kemudian adalah kejutan besar. Tino Tajupat menang mutlak dengan angka pemilih hampir 60%. Edan. Para pengelola lembaga survei geleng-geleng kepala. 

Dan masyarakat, ternyata, banyak yang bersorak girang. Harapan mereka akan negeri yang baru, yang lebih berpihak kepada rakyat, yang membawa mereka semakin dekat dengan kemakmuran naik menembus langit-langit rumah dan menari-nari di angkasa.

***

Tino Tajupat, namaku. Singkatan dari Tiga November Tahun Tujuh Empat. Tanggal kelahiranku. Aku Perdana Menteri baru Negara Angin Tenggara. Perdana Menteri termuda sepanjang sejarah negeri ini. 

Hampir dua bulan aku dilantik dan rakyat masih lena dalam euforia. Sementara, aku mulai gelisah. Aku merasa telah terperangkap dalam jerat yang seperti mustahil untuk lepas darinya.

Sebagai calon independen, semestinya aku leluasa untuk memilih menteri. Aku tak berutang apa-apa kepada satupun partai politik. Tapi, kenyataannya tidak. Aku merasa seperti ada kekuatan besar yang tak kasat mata yang mengendalikanku. 

Apa lagi, aku masih sangatlah hijau di dunia politik. Aku tak banyak tahu tentang rekam jejak para calon menteri. Semula aku berharap para anak muda pengusungku dapat membantuku memberikan masukan. Tetapi sejak aku terpilih, tampaknya akses mereka kepadaku dibatasi oleh protokoler yang entah memang begitu atau sengaja diada-adakan.

Beberapa hari lalu aku dipaksa untuk menghadiri suatu pertemuan rahasia yang membuatku terkejut, lalu terhempas tak berdaya. 

Dalam pertemuan itu hadir kedua calon kuat yang kukalahkan dalam pemilihan tempo hari. Mereka tampak sangat akrab. Padahal, aku sendiri merasakan betapa kerasnya perseteruan mereka saat pemilihan. Ada apa sebenarnya ini gerangan?

"Selamat, Saudara Tino Tajupat yang terhormat atas terpilihnya Anda sebagai perdana menteri. Akan tetapi, harap Saudara mengerti kamilah yang menentukan merah, hijau, biru, kuning negeri ini," ucap salah seorang dari mereka.

Aku terhenyak. Berani betul mereka. Ada rasa marah yang mungkin dapat mereka tangkap dari air mukaku. Mereka tersenyum sinis.

"Anda ini terlalu lugu," ujar seorang yang lain.

"Anda kira, Anda ini siapa? Dan anak-anak muda itu....sama lugunya dengan Anda. Mereka pikir, mereka hebat dapat dengan mudah mengumpulkan banyak uang masyarakat untuk kampanye Anda. Uang masyarakat dari mana? Uang kami semua itu!"

Aku tersentak. Secara detail mereka ungkapkan aliran dana yang sampai ke timku, anak-anak muda itu. Mereka punya semua dokumen lengkap. Semua dana itu berasal dari sumber yang sama: dari saku beberapa pengusaha papan atas negeri Angin Tenggara, lewat berbagai jalur yang berbelit.

Mereka menceritakan pula bahwa ide calon alternatif itu berasal dari mereka juga. Perseteruan kedua kubu semakin tajam dan berpotensi membahayakan. 

Maka, perlu dicarikan jalan lain yang lebih tenang. Aku tak tahu apakah benar begitu atau mereka berdusta. Tapi, semua yang mereka katakan, masuk akal. Aku pun sempat menyimpan rasa heran mengapa popularitasku cukup cepat melesat.

"Jangan anggap kami orang jahat," ucap salah seorang tokoh kuat mantan lawanku.

"Kami ini patriot. Kami menginginkan kestabilan bagi negeri ini."

"Saya dan beliau," ia menunjuk seteru politiknya, "berbeda pandangan politik."

"Kami bukan teman, apa lagi sahabat. Tapi kali ini kami harus bekerja sama demi ketenangan berbangsa. Itu saja." Pening sungguh kepalaku.

Hari ini aku mengambil sedikit waktu untuk menyendiri di ruang kerjaku. Aku berusaha ngobrol santai dengan hatiku. Satu tanganku memegang selembar kertas dengan gemetar. Selembar kertas berisikan nama-nama menteri yang akan segera kuumumkan. Apa yang akan kulakukan setelah ini? Apa kunikmati saja permainan ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun