Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menghormati Pinggulmu

27 Mei 2024   22:51 Diperbarui: 27 Mei 2024   23:14 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepulang kerja ini saya pergi ke pusat kota mencari hiburan di down town, keramaiannya sudah tercium dari jarak sekilometer. Orang-orang berjalan berbaju rona warna, hari ini adalah ujung minggu sehingga pusat kota lebih ramai dari weekday.

Aku memarkir di tepi sebuah kafe yang lebar, ada kolam air muncratnya yang berwarna lampu gemerlap, berpasangan dan berkasihan orang menikmati turunnya malam yang perlahan.

Bau masakan, wangi soda dan semerbak etanol, menyeruak dari pintu dan jendela. Orang-orang berbicara dan makan steik dengan kentang goreng berbalut kulit kerecek, piringnya berminyak bau zaitun dan margarin.

Tampak lumayan ramai, lalu saya mengambil duduk menyudut, diantara bayangan lampu sekunder, sehingga saya bisa melihat terang di tengah kafe.

Panggung penampil musik sedikit bergeser dari tengah, sehingga membentuk fokus yang menghisap. Musik kalem tanpa vokal menyentuh para penikmat kafe, menambah keintiman dan brotherhood.

Saya memesan pastelo, jika di pinggiran disebut pastel, dan minuman jeruk limau dalam kemasan botol gelas, juga beberapa chips kejo, jika di Bandung kejo itu sangu.

Menikmati musik mengalun dan snack yang maknyus, sangat menghibur saya. Hingga separuh jam berjalan pemusik berhenti dari nadanya.

Dari lampu yang diremang,muncul sosok penyanyi wanita berbaju biru, dan membuka intro dengan kata kata, Biru di hatiku, biru di jiwaku, seperti lagu Kami Biru dari antem Persib. Wajah penyanyi itu memikat, cantik nian, dengan make up wajah yang tajam dan indah.

Rambutnya bergerai menggairahkan, dengan gerak tubuhnya yang energik. Dia menyanyi dengan suara alto yang kenceng dan nadanya pas, lagunya lagu berat, dan panggung juga bergoncang semangat.

Namanya Isabela, orang-orang berteriak senang memuja, pelagu Isabela kembali bernyanyi tubuhnya yang besar mulai menggerakkan pinggulnya yang besar pula. 

Pemusik tidak ada yang berani mendekat, pinggul Isabela begitu besar dan membutuhkan ruang yang besar untuk bergerak.

Penonton lelaki bersuit-suitan, gembira dan excited. Beberapa penonton ikut bergoyang, Isabela melarang orang-orang mendekatinya.

Pinggulku tidak cocok dengan hal-hal kecil, orang-orang kecil dan tempat-tempat kecil! Begitu syair lagi riangnya, membuat lelaki-lelaki bertubuh kecil minggir terkekeh-kekeh.

Sampai biduan ini jeda akhirnya, untuk mengambil tempo, dia berdiri bagai stand-up.

Hei Isabela, bagaimana dengan pinggulmu? Penonton di depan berteriak jenaka.
Hei shut up! Pinggulku adalah pinggul yang bebas, mereka tidak suka ditahan, pinggul ini tidak pernah diperbudak! Katanya tegar. Orang bertepuk tangan.

Kemana pinggulmu pergi malam ini? Tanya seorang lelaki cunihin.
Hei sok tampan! Pinggulku pergi ketempat yang ingin dia tuju, dia akan melakukan apa yang dia ingin lakukan! Paham lelaki-lelaki? Isabela berkata dengan suara alto berat.

Bravo-bravo!  Penikmat kafe semua hormat dan aplaus. Sebelum Isabela mengakhiri stand up dan menghilang untuk nanti episode kedua.

Saya begitu menikmati pertunjukan Isabela yang menawan dan karakteristik. Meski diantara santapan di meja yang belum tuntas, saya masih merenungi panggung yang kembali berwarna kalem dengan musik lembut instrumentalia.

Masih tergambar show pinggul isabela yang penuh nilai dan gairah. Tiba-tiba saya menjadi kurang berselera menghabiskan steik yang masih setengah teronggok. 

Saya berdiri dan meletakkan duapuluh lima dolar dan meninggalkan meja. Berjalan keluar kafe, padahal malam masih sangat muda, tapi saya begitu berniat untuk pulang.

Saya menghidupka vehicle dan keluar kantung parkir membelah side way ke jalan utama untuk melebihlajukan kendaraan truck saya.

Tiba di rumah saya membuka pintu, mendapati sinar ruang keluarga yang sejuk redup, saya melepas trucker jacket saya dan melongok kamar kedua anak saya yang sudah terlelap,

Saya membasuh wajah dan gosok gigi lalu membuka pintu kamar tidur kami, dan saya menatap istri saya telah lelap terpejam.

Saya tidak mendekatinya, senyap mengambil duduk di tepi tubuhnya dan memandang wajahnya yang masih tergaris lelah seharian mencuci, memasak, mengasuh bocil kami. 

Dan saya memandang pinggulnya, mengingat lagu yang dibawakan Isabela di kafe barusan. Pinggul istri saya yang muda dulu begitu ramping, kini merupa pinggul yang besar. Saya menumpukan lengan saya di atasnya, pinggul ini pinggul yang perkasa yang telah melahirkan anak-anak saya. Saya menggumam.

Pinggul yang ajaib yang pernah saya kenal, pinggul yang penuh mantra untuk memutar seorang pria seperti gasing. Saya menerawang

Ada apa? Tiba-tiba istri saya terjaga di redup matanya. Saya menggeleng mengusap pinggulnya.
Kenapa? Tanya istri saya matanya masih berkabut kantuk.

Mulai saat ini saya akan menghormatinya!
Apa?
Pinggulmu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun