Tiba di rumah saya membuka pintu, mendapati sinar ruang keluarga yang sejuk redup, saya melepas trucker jacket saya dan melongok kamar kedua anak saya yang sudah terlelap,
Saya membasuh wajah dan gosok gigi lalu membuka pintu kamar tidur kami, dan saya menatap istri saya telah lelap terpejam.
Saya tidak mendekatinya, senyap mengambil duduk di tepi tubuhnya dan memandang wajahnya yang masih tergaris lelah seharian mencuci, memasak, mengasuh bocil kami.Â
Dan saya memandang pinggulnya, mengingat lagu yang dibawakan Isabela di kafe barusan. Pinggul istri saya yang muda dulu begitu ramping, kini merupa pinggul yang besar. Saya menumpukan lengan saya di atasnya, pinggul ini pinggul yang perkasa yang telah melahirkan anak-anak saya. Saya menggumam.
Pinggul yang ajaib yang pernah saya kenal, pinggul yang penuh mantra untuk memutar seorang pria seperti gasing. Saya menerawang
Ada apa? Tiba-tiba istri saya terjaga di redup matanya. Saya menggeleng mengusap pinggulnya.
Kenapa? Tanya istri saya matanya masih berkabut kantuk.
Mulai saat ini saya akan menghormatinya!
Apa?
Pinggulmu!