Sepulang kerja ini saya pergi ke pusat kota mencari hiburan di down town, keramaiannya sudah tercium dari jarak sekilometer. Orang-orang berjalan berbaju rona warna, hari ini adalah ujung minggu sehingga pusat kota lebih ramai dari weekday.
Aku memarkir di tepi sebuah kafe yang lebar, ada kolam air muncratnya yang berwarna lampu gemerlap, berpasangan dan berkasihan orang menikmati turunnya malam yang perlahan.
Bau masakan, wangi soda dan semerbak etanol, menyeruak dari pintu dan jendela. Orang-orang berbicara dan makan steik dengan kentang goreng berbalut kulit kerecek, piringnya berminyak bau zaitun dan margarin.
Tampak lumayan ramai, lalu saya mengambil duduk menyudut, diantara bayangan lampu sekunder, sehingga saya bisa melihat terang di tengah kafe.
Panggung penampil musik sedikit bergeser dari tengah, sehingga membentuk fokus yang menghisap. Musik kalem tanpa vokal menyentuh para penikmat kafe, menambah keintiman dan brotherhood.
Saya memesan pastelo, jika di pinggiran disebut pastel, dan minuman jeruk limau dalam kemasan botol gelas, juga beberapa chips kejo, jika di Bandung kejo itu sangu.
Menikmati musik mengalun dan snack yang maknyus, sangat menghibur saya. Hingga separuh jam berjalan pemusik berhenti dari nadanya.
Dari lampu yang diremang,muncul sosok penyanyi wanita berbaju biru, dan membuka intro dengan kata kata, Biru di hatiku, biru di jiwaku, seperti lagu Kami Biru dari antem Persib. Wajah penyanyi itu memikat, cantik nian, dengan make up wajah yang tajam dan indah.
Rambutnya bergerai menggairahkan, dengan gerak tubuhnya yang energik. Dia menyanyi dengan suara alto yang kenceng dan nadanya pas, lagunya lagu berat, dan panggung juga bergoncang semangat.
Namanya Isabela, orang-orang berteriak senang memuja, pelagu Isabela kembali bernyanyi tubuhnya yang besar mulai menggerakkan pinggulnya yang besar pula.Â