Di satu larut yang belum putih, saya terjaga oleh suara cuitan lembut yang patah-patah.Â
Saya tak hendak beranjak dari ranjang sebab udara begitu beku. Tapi dari balik selimut tebal saya, suara cuitan tak juga padam, bahkan semakin menyayat.
Nyanyian siapakah terngiang begitu sembilu?Â
Saya keluar kamar dan menyusur ruang tengah, lalu meraih pintu beranda, ketika suara terdengar lebih tajam, saya menjumpai seekor burung mungil terkapar merintihkan lagu derita.
Ah, mahluk kecil yang malang! Kasihan!Â
Saya mengangkatnya lembut dan membawanya masuk. Meletakkan unggas cilik itu di kursi kapuk dan saya mengisi jar dengan air hangat.
Di bawah benderang lampu, saya menghapus luka-luka yang menyayat di kedua sayapnya, sementara paruh si imut ini masih sedikit berdecit mungkin sakit.Â
Mata nekernya terlihat berputar, dan dia memandang mata saya, seperti berterima kasih telah menyelamatkannya.
Sehabis lukanya resik, saya menempelkan tensoplas supaya tidak infeksi dan menghangatkan tubuh halusnya dengan serbet makan. Membuat rupawan kecil itu merem-melek merasa nyaman.
Saya membelai kepalanya dan dia kembali berkicau samar, namun saya mampu mendengarnya, mahluk cilik ini menyanyikan kicauan yang melankoli, membuat mata saya basah.Â
Meskipun saya tak bisa bahasa burung, tetapi dari irama lagunya saya memahami makna kesedihan kicau lagunya.
Oh, burung itu begitu kurus dan menyedihkan! Saya mengatakan di telinganya, dia berhenti berlagu duka seakan mengerti ucapan saya, meskipun keterbatasan bahasa, kami menyadari bahwa ada dunia komunikasi yang lebih luas di luar bahasa.
Selanjutnya kami berkomunikasi lebih intens dan saling bercerita tentang hati yang terdalam, dia mencuit pedih dan saya merasakannya hingga ke hati yang membuat saya bercucuran mata.
Setelah saling curhat burung kecil tertidur lelap dengan paruhnya menyunggingkan senyum. Sayapun ikut terlelap di sebelahnya.
***
Keika matahari menyentuh horison, saya terbangun oleh kicau paginya yang lembut, tampak luka sayap burung itu sudah mengering dan saya melepas plesternya.
 Dia tampak mundar-mandir dan mematuk-matuk, saya memberinya sepiring nasi dia makan dengan lahap.
Sesaat kemudian saya berpamitan untuk pergi bekerja, wajah kecilnya sedikit murung dan dia menyanyikan kembali lagu yang menyayat kalbu. Saya tak tega dan segera meninggalkannya.
Ketika sore mendarat di atmosfer, saya bergegas pulang kerna ingin segera bersua dengan burung kecil.Â
Tiba di rumah saya melihat dia melamun dan bersenandung, melagukan lagu yang melankoli tentang kehilangan pasangannya.
Sudahlah! Kau harus merelakannya! Bisik saya, dan dia berhenti berkicau lara, sembari bersender di lengan saya.
Untuk menghilangkan kedukaan patah hatinya, saya membawanya berjalan-jalan ke sebuah mall dengan berharap sedikit melupakan kenangan pahitnya.
Kami berjalan melewati pedestrian dan tiba di sebuah mall, sebuah mall yang penuh kenangan bagi saya sendiri. Saya melangkah tersendat dengan rasa ragu, namun burung kecil di pundak saya berkicau lamat, dia menguatkan hati saya.
Tiba di teras kafe penuh kenangan, saya mengambil kursi dengan sedikit gugup, lalu memesan kapi dan roti panggang untuk sahabat mungilku.Â
Dia berkitaran di meja sembari menatap wajah saya yang masjgul. Mahluk bocil itu kembali berkicau merdu, dan saya mengerti dia mencoba menghibur hati saya yang pernah hancur di tempat ini.
Ya, benar! Saya pernah luka di sini! Desah saya. Si burung naik ke tangan saya dan menyanyi satu lagu. Saya lalu menjelaskn, Mungkin saya kurang bisa menyatakan perasaan saya yang terdalam ketika itu! Kata saya.
Burung kecil mematuk lembut tangan saya menyanyikan lagi lagu yang paling menusuk hati yang keluar dari hatinya yang terdalam.
Selanjutnya kami berdua terdiam, melepaskan sore yang jatuh di depan kafe kenangan.Â
Hingga tiba seorang wanita cantik, melangkah masuk dengan anggun. Perempuan itu berjalan bersama seorang lelaki ganteng.Â
Saya berusaha menyembunyikan wajah saya, namun wanita indah itu berhenti di meja saya, sementara lelakinya mengambil meja lain.
Maaf Dre! Aku pikir kita sudah berakhir dan kau tak perlu lagi di sini, jika itu masih melukaimu! Ucapnya tenang, lalu dia berlalu ke meja lelaki barunya.
Saya menatap punggung wanita itu dan masih merasa luka yang panjang karena pernah ditinggalkannya.Â
Tapi, entahlah, mungkin perempuan itu kurang bisa merasakan hati saya, atau saya yang kurang bisa mengungkapkan rasa betapa cinta dan luka saya kepadanya hingga saat ini.
Saya menatap burung kecil di tangan saya, menggesekkan lehernya, mencoba menghibur hati saya yang sedang luka parah.
Lalu dia berjalan ke tengah meja, dan menyanyikan satu lagu yang paling indah menyayat hati.Â
Suaranya lembut mengalun memenuhi ruangan kafe, merdu dan pedih buat semua yang mendengarnya. Sekejap pun udara kafe menjadi hening tanpa gemerisik, hanya kicau lagu burung bocil yang sendu memilukan, diakhiri suara unggas indah itu fading away.
Suasana kafe pun beku beberapa detik, namun saya tidak menyadari, bahwa mantan wanita saya menghampiri saya dan tiba-tiba dia merubuhkan tubuhnya mendekap saya erat.
Maafkan aku Dre! Aku baru tahu betapa rasa cinta hatimu yang terdalam kepadaku, setelah mendengar nyanyian hati burung kecil itu! Ratapnya berlinang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H