Meskipun saya tak bisa bahasa burung, tetapi dari irama lagunya saya memahami makna kesedihan kicau lagunya.
Oh, burung itu begitu kurus dan menyedihkan! Saya mengatakan di telinganya, dia berhenti berlagu duka seakan mengerti ucapan saya, meskipun keterbatasan bahasa, kami menyadari bahwa ada dunia komunikasi yang lebih luas di luar bahasa.
Selanjutnya kami berkomunikasi lebih intens dan saling bercerita tentang hati yang terdalam, dia mencuit pedih dan saya merasakannya hingga ke hati yang membuat saya bercucuran mata.
Setelah saling curhat burung kecil tertidur lelap dengan paruhnya menyunggingkan senyum. Sayapun ikut terlelap di sebelahnya.
***
Keika matahari menyentuh horison, saya terbangun oleh kicau paginya yang lembut, tampak luka sayap burung itu sudah mengering dan saya melepas plesternya.
 Dia tampak mundar-mandir dan mematuk-matuk, saya memberinya sepiring nasi dia makan dengan lahap.
Sesaat kemudian saya berpamitan untuk pergi bekerja, wajah kecilnya sedikit murung dan dia menyanyikan kembali lagu yang menyayat kalbu. Saya tak tega dan segera meninggalkannya.
Ketika sore mendarat di atmosfer, saya bergegas pulang kerna ingin segera bersua dengan burung kecil.Â
Tiba di rumah saya melihat dia melamun dan bersenandung, melagukan lagu yang melankoli tentang kehilangan pasangannya.
Sudahlah! Kau harus merelakannya! Bisik saya, dan dia berhenti berkicau lara, sembari bersender di lengan saya.
Untuk menghilangkan kedukaan patah hatinya, saya membawanya berjalan-jalan ke sebuah mall dengan berharap sedikit melupakan kenangan pahitnya.
Kami berjalan melewati pedestrian dan tiba di sebuah mall, sebuah mall yang penuh kenangan bagi saya sendiri. Saya melangkah tersendat dengan rasa ragu, namun burung kecil di pundak saya berkicau lamat, dia menguatkan hati saya.