Di satu larut yang belum putih, saya terjaga oleh suara cuitan lembut yang patah-patah.Â
Saya tak hendak beranjak dari ranjang sebab udara begitu beku. Tapi dari balik selimut tebal saya, suara cuitan tak juga padam, bahkan semakin menyayat.
Nyanyian siapakah terngiang begitu sembilu?Â
Saya keluar kamar dan menyusur ruang tengah, lalu meraih pintu beranda, ketika suara terdengar lebih tajam, saya menjumpai seekor burung mungil terkapar merintihkan lagu derita.
Ah, mahluk kecil yang malang! Kasihan!Â
Saya mengangkatnya lembut dan membawanya masuk. Meletakkan unggas cilik itu di kursi kapuk dan saya mengisi jar dengan air hangat.
Di bawah benderang lampu, saya menghapus luka-luka yang menyayat di kedua sayapnya, sementara paruh si imut ini masih sedikit berdecit mungkin sakit.Â
Mata nekernya terlihat berputar, dan dia memandang mata saya, seperti berterima kasih telah menyelamatkannya.
Sehabis lukanya resik, saya menempelkan tensoplas supaya tidak infeksi dan menghangatkan tubuh halusnya dengan serbet makan. Membuat rupawan kecil itu merem-melek merasa nyaman.
Saya membelai kepalanya dan dia kembali berkicau samar, namun saya mampu mendengarnya, mahluk cilik ini menyanyikan kicauan yang melankoli, membuat mata saya basah.Â