Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesalahan Saya Padanya

22 November 2021   16:32 Diperbarui: 29 November 2021   14:41 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dari pixabay.com

Nama perempuan itu Sonya, komplitnya saya tak tahu. Saya baru mengenalnya beberapa hari. Saya pikir dia datang begitu kejut. Dia juga cantik. Tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua bagi seorang yang matang dan menjadi perempuan yang menarik. 

Sonya berbibir merekah, rambutnya lurus diwarnai pirang yang berkedip sehingga berkelip indah. Pipinya cekung dan dagunya tirus, saya pikir dia mirip malaikat. 

Dalam tenggat hari, kami akrab dan seperti hati kami bergantung meskipun diluar kami canggung. Saya kerap mengenangnya jika lonlely, dan dia hanya tersenyum saat kami berdua. Apakah kami kekasih? Sonya tidak memperlihatkan firasat itu meskipun tanda gimik saya seharusnya dia merasakannya sebagai mahluk sensitif. 

Tapi Sonya abai dengan hal-hal receh begitu, dia sangat straight dan apa adanya, begtu lantang dan terkadang pendiam. Saya sendiri bisa menghitung rasa hatinya bahwa ada yang ditaruh di dalam dadanya, yaitu harapan meskipun mengawang, saya pikir.

Dan sudah kesempatan kedua kali ini, Sonya akhirnya berkenan anjangsana di apartemen saya, saya menjemputnya di tempat kafe dia bekerja di hampir tengah malam. Saya menawarkannya untuk berbicara empat mata saja.

Oke! Saya akan membicarakan satu kali ini! Mulai saya. Mata birunya menatap saya seperti mempertimbangkan sangat.

Ayolah! Kita bisa bicara di tempatmu! Sambung saya.

Tidak, tidak! Tidak di tempat saya! jawabnya sedikit.

Oke! Kita berdua akan ada di apartemen saya! Desak saya. Dia mengangguk perlahan sehingga leher bagian belakang jenjangnya berkilauan.

Aku akan mengunci mobilku! Katanya serentak dia berbalik ke tanah belakang kafe, yang tak lama dia sudah muncul dengan jaket denim yang penuh stiker.

Kamu cantik! kata saya terpesona, namun dia dingin, mengambil gagang penutup pintu mobil saya dan membantingnya rapat. Lalu saya menyalakan lampu dan ngegas cukup dalam untuk membawanya ke impian.

Kala selanjutnya pagi merambat cepat, saya masih dikemas kasur besar saya, terjaga dengan tubuh sendiri. Perlahan saya melempar tubuh dan menjejak lantai karpet kamar. 

Berjingkat keluar, saya menciumi aroma toast menyengat hidung, diseling bau kopi harum. Dan Sonya terlihat sregep sedang mengolah breakfast. Meja makan yang biasanya penuh kaleng dan botol yang berbau aromatik, kini terlihat putih bersih.

Morning Sonya! Saya menyapa paginya. Dia berpaling, rambutnya digelung ke atas separuh berantakan sehingga ayunya alami. Ada sebersit senyum di bibir pucat warna, lalu kami berdua makan pagi. Makan roti panggang dan sele kacang, kopi dan telur. 

Kami memakannya dengan sedikit sunyi, hanya mata kami. Dan Sonya membiarkan lengannya yang halus saya sentuh bersama bayang pagi yang teduh.

Ini hari yang penting dan saya terlupa untuk mengatakan rencana saya, dan wanita itupun terlihat tidak tertarik menanyakannya.

Beri kesempatan aku mandi Charles! Katanya ketika mentari bersiap melepaskan pagi. Dan saya tergopoh melongok peturasan yang kebiasaan jorok. Tapi tidak kali ini, kamar shower itu tampak bersih, membuat saya salah lagak seraya menyilakannya ke air.

Sebentar suara air pancur terdengar gremesek sementara saya merokok di ruang tamu, membuka lemari untuk mencari salin buat bersiap ke kantor. Dan ketika saya merogoh bagian atas lemari, saya merasakan kain lembut, lalu mengeluarkannya ternyata sepasang underwear ungu. Sayapun menyampirkannya saja di kursi.

Sonya pun menyembul dari ruang basah itu, terlihat dengan salinnya yang nyaman, baunya semerbak sabun dan sampo yang asing, barangkali dia telah menyiapkannya sendiri.

Sonya! Kau tak perlu tergesa, aku akan bersiap ke kantor sastra! Jelasku padanya.

It's okay! Jawabnya pelan, sambil mengibaskan rambut basah bulenya. Tapi saya teringat hal baru saja yang saya temukan dan menunjukkan padanya sepasang underwear ungu.

Ah! Sonya! Apakah ini milikmu?  Saya mengangkat kain lembut itu.

Sonya memperhatikan dengan seksama, mata perempuan itu menyipit dibarengi dahinya berkerut, wajahnya berubah putih lalu berkata tegas.

Bukan! Aku pikir itu milik seekor kucing!

Kemudian dia separuh berlari menjangkau perabot yang dibawanya semalam, memakai sepatu kainnya dengan segera dan melesakkan segala fashion ke dalam tas kulitnya. Tanpa menoleh dia berlari ke pintu, melesat keluar dan membanting daun pintu berbunyi. Braakk!

Saya membeku sebelum menyadari ingatan di kepala, sementara saya menatap tangan saya yang masih menggenggam kuat dua daleman. 

Sebelum saya sadar dan sekilat saya bergerak mengejarnya keluar lorong apartemen mengejar elevator yang ternyata sudah meluncur dengan lampu hitungan lantai yang meluncur cepat. Dan saya urung untuk memburunya, kembali ke ruang saya, lemas, dan merenungi kebodohan.

Dia pergi setelah itu dan saya tidak melihatnya lagi di tempatnya bekerja. Mencari catatan dari kafe tentang tempatnya tinggal. Saya terus pergi ke sana, ternyata dia juga tidak ada di alamatnya. 

Saya meninggalkannya catatan menempel di pintunya dengan harapan tersisa. Namun ketika sehari kemudian saya kembali, catatannya masih tergantung di sana tanpa pernah tersentuh.

Hari kedua, sepulang kantor kesusateraan, saya membawakan buku puisi, berharap dia sudah hadir kembali, ternyata nihil. Sayapun meninggalkan buku puisi terhebat saya di kursi ayunnya di depan pintunya. Dan saya enggak pulang lagi, saya sengaja memarkir mobil saya di naungan tersembunyi, sehingga saya bisa mengamati leluasa berandanya. 

Lagi tak saya dapat sama sekali rimbanya . Perempuan Sonya, seperti lenyap tak berbekas. Saya pulang sehabis berhari menunggu di rumput hijau rumahnya, tanpa rasa tujuan pulang kemana?  

Saya hanya terus berjalan, mencari secuil harap, mengendarai jalan-jalan bebas hambatan sampai gang-gang slum, berharap menjumpai mobil brengseknya yang yang daun pintunya tergantung di setengah engselnya. 

Mobil perempuan pekerja yang berwarna pudar dan penyok di beberapa bagian seperti seng krupuk, tapi tak ada Sonya dan mobil yang terlalu menderita akibat bertubi tendangannya.

Tanpa terasa berminggu di bawah panas dan hujan saya berkendara di jalan-jalan, dengan hati hanya satu mili dari tangisan. Remasan malu terasa begitu sentimentil, yang ketika sehabis hujan menjadi pelangi warna cinta saya yang terlihat sampai langit.
Yaitu, cinta seorang lelaki tua yang bingung mengemudi di tengah hujan, bertanya-tanya akan kemanakah nasib baik pergi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun