Ah! Sonya! Apakah ini milikmu? Â Saya mengangkat kain lembut itu.
Sonya memperhatikan dengan seksama, mata perempuan itu menyipit dibarengi dahinya berkerut, wajahnya berubah putih lalu berkata tegas.
Bukan! Aku pikir itu milik seekor kucing!
Kemudian dia separuh berlari menjangkau perabot yang dibawanya semalam, memakai sepatu kainnya dengan segera dan melesakkan segala fashion ke dalam tas kulitnya. Tanpa menoleh dia berlari ke pintu, melesat keluar dan membanting daun pintu berbunyi. Braakk!
Saya membeku sebelum menyadari ingatan di kepala, sementara saya menatap tangan saya yang masih menggenggam kuat dua daleman.Â
Sebelum saya sadar dan sekilat saya bergerak mengejarnya keluar lorong apartemen mengejar elevator yang ternyata sudah meluncur dengan lampu hitungan lantai yang meluncur cepat. Dan saya urung untuk memburunya, kembali ke ruang saya, lemas, dan merenungi kebodohan.
Dia pergi setelah itu dan saya tidak melihatnya lagi di tempatnya bekerja. Mencari catatan dari kafe tentang tempatnya tinggal. Saya terus pergi ke sana, ternyata dia juga tidak ada di alamatnya.Â
Saya meninggalkannya catatan menempel di pintunya dengan harapan tersisa. Namun ketika sehari kemudian saya kembali, catatannya masih tergantung di sana tanpa pernah tersentuh.
Hari kedua, sepulang kantor kesusateraan, saya membawakan buku puisi, berharap dia sudah hadir kembali, ternyata nihil. Sayapun meninggalkan buku puisi terhebat saya di kursi ayunnya di depan pintunya. Dan saya enggak pulang lagi, saya sengaja memarkir mobil saya di naungan tersembunyi, sehingga saya bisa mengamati leluasa berandanya.Â
Lagi tak saya dapat sama sekali rimbanya . Perempuan Sonya, seperti lenyap tak berbekas. Saya pulang sehabis berhari menunggu di rumput hijau rumahnya, tanpa rasa tujuan pulang kemana? Â
Saya hanya terus berjalan, mencari secuil harap, mengendarai jalan-jalan bebas hambatan sampai gang-gang slum, berharap menjumpai mobil brengseknya yang yang daun pintunya tergantung di setengah engselnya.Â