Nama perempuan itu Sonya, komplitnya saya tak tahu. Saya baru mengenalnya beberapa hari. Saya pikir dia datang begitu kejut. Dia juga cantik. Tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua bagi seorang yang matang dan menjadi perempuan yang menarik.Â
Sonya berbibir merekah, rambutnya lurus diwarnai pirang yang berkedip sehingga berkelip indah. Pipinya cekung dan dagunya tirus, saya pikir dia mirip malaikat.Â
Dalam tenggat hari, kami akrab dan seperti hati kami bergantung meskipun diluar kami canggung. Saya kerap mengenangnya jika lonlely, dan dia hanya tersenyum saat kami berdua. Apakah kami kekasih? Sonya tidak memperlihatkan firasat itu meskipun tanda gimik saya seharusnya dia merasakannya sebagai mahluk sensitif.Â
Tapi Sonya abai dengan hal-hal receh begitu, dia sangat straight dan apa adanya, begtu lantang dan terkadang pendiam. Saya sendiri bisa menghitung rasa hatinya bahwa ada yang ditaruh di dalam dadanya, yaitu harapan meskipun mengawang, saya pikir.
Dan sudah kesempatan kedua kali ini, Sonya akhirnya berkenan anjangsana di apartemen saya, saya menjemputnya di tempat kafe dia bekerja di hampir tengah malam. Saya menawarkannya untuk berbicara empat mata saja.
Oke! Saya akan membicarakan satu kali ini! Mulai saya. Mata birunya menatap saya seperti mempertimbangkan sangat.
Ayolah! Kita bisa bicara di tempatmu! Sambung saya.
Tidak, tidak! Tidak di tempat saya! jawabnya sedikit.
Oke! Kita berdua akan ada di apartemen saya! Desak saya. Dia mengangguk perlahan sehingga leher bagian belakang jenjangnya berkilauan.
Aku akan mengunci mobilku! Katanya serentak dia berbalik ke tanah belakang kafe, yang tak lama dia sudah muncul dengan jaket denim yang penuh stiker.